Perkembangan
sistem pembayaran di Indonesia dimulai oleh De Javasche Bank, bank milik
pemerintah Hindia Belanda, yang didirikan pada tahun 1828, untuk mendukung
kebijakan ekonomi koloninya di Indonesia. Dalam sistem pembayaran, De Javasche
Bank mempunyai hak khusus sebagai bank sirkulasi yang diizinkan untuk mencetak
dan mengedarkan uang.
Pembayaran
tunai merupakan cara pembayaran yang lazim digunakan pada waktu itu, sedangkan
pembayaran melalui rekening koran baru dikenal sejak 1 Januari 1907. Perjanjian
kliring untuk wilayah Batavia (sekarang Jakarta) pertama kali ditandatangani
pada 15 Februari 1909, diikuti oleh wilayah Semarang dan Surabaya (1909), Medan
(1915), Bandung (1921), dan Makasar (1922). Babak baru sejarah Bank Indonesia
dimulai sejak dikeluarkannya UU No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia
pada 1 Juli 1953, yang menandakan berdirinya Bank Indonesia sebagai bank
sentral Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945. Dalam hal sistem pembayaran,
sejak akhir Desember 1954 mulai dilaksanakan rekening koran dengan menggunakan
cek, bank draft, nota kredit, dan warkat lainnya.
Dengan
keluarnya UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia
menyelenggarakan kliring antarbank yang berada dalam wilayah kliring yang sama.
Bagi kota-kota yang memiliki banyak bank dengan volume kliring tinggi, tetapi
tidak ada kantor Bank Indonesia, kliring diselenggarakan oleh bank milik
pemerintah atau bank pembangunan daerah yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pekalongan adalah kota pertama pelaksanaan kliring oleh pihak ketiga, yaitu BNI
1946, pada tahun 1982. Dengan semakin
berkembangnya kliring, jumlah warkat dan peserta, penyelenggaraan kliring
manual menjadi semakin sulit, terutama di Jakarta dan kota besar lainnya.
Sistem otomasi kliring berbasis warkat secara bertahap diterapkan terbatas
mulai 7 April 1990.
Penerapan
sistem otomasi kliring sepenuhnya dimulai sejak 4 Juni 1990 di Jakarta, disebut
Otomasi Kliring Jakarta (OKJ). Dalam tahapan selanjutnya otomasi kliring
diterapkan di Surabaya (OKS pada 6 Januari 1992) dan di Medan (OKM pada 11
Januari 1994).
Pada
kota-kota di mana jumlah peserta dan warkat kliring masih sedikit, diterapkan
sistem Semiotomasi Kliring Lokal (SOKL). Dalam SOKL warkat kliring masih
dipertukarkan secara manual antar peserta kliring, sedangkan proses pencatatan
transaksi antarbank dilakukan dengan komputer dan disket. SOKL pertama kali
diterapkan di Kantor Bank Indonesia (KBI) Jambi, yang diikuti oleh KBI lainnya.
Pada
tahun 1995 Bank Indonesia mulai menerapkan Sistem otomasi transfer dana
Antarkantor Terintegrasi (SAKTI) yang menyediakan fasilitas untuk transaksi
antar kantor bank berdasarkan rekening bank yang ada di Bank Indonesia,
menggunakan transmisi data elektronik seluruh kantor Bank Indonesia, memakai
saluran VSAT dan fasilitas frame relay.
Peningkatan
pesat aktivitas kliring di Indonesia memerlukan sistem kliring yang lebih
cepat, akurat, dan aman. Pada 18 September 1998, Bank Indonesia meresmikan
Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), di mana transmisi warkat kliring
dilakukan secara online menggunakan komputer dan alat komunikasi elektronik.
Untuk
meminimumkan risiko yang terjadi pada sistem pembayaran, pada 20 Agustus 1999
Bank Indonesia secara resmi menerapkan sistem transfer elektronik antarbank,
disebut Bank Indonesia Layanan Informasi dan Transaksi Elektronik (BI-LINE).
BI-LINE merupakan sistem transfer dana elektronik seketika (real time) dari
bank umum ke masing-masing rekening bank umum di Bank Indonesia, ke bank umum
lain, atau ke rekening pemerintah, melalui Bank Indonesia. Sistem ini
menggantikan penyerahan warkat rekening koran (bilyet giro) Bank Indonesia dari
bank umum ke Bank Indonesia, yang dikembangkan secara terbatas bagi bank umum
di Jakarta, sebagai solusi antara sebelum Bank Indonesia menerapkan sistem
RTGS.
Sejak diterapkannya Bank
Indonesia- Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) pada 17 November 2000 di
Jakarta, penggunaan sistem BI-LINE hanya terbatas untuk lembaga keuangan bukan
bank (LKBB) atau kantor pemerintah tertentu, seperti Direktorat Jenderal Pajak.
BI-RTGS secara bertahap diterapkan pada beberapa KBI, selanjutnya diterapkan
pada semua KBI di seluruh Indonesia. Keberhasilan ini dilanjutkan dengan
menerapkan sistem kliring nasional, yang dapat mempermudah penerapan transaksi
transfer antar bank bernilai kecil.
1 Komentar
Silahkan sertakan komentar anda
BalasHapusBerkomentarlah dengan Sopan dan sesuai Pembahasan