ISU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 11%
(PPN)
Pengertian
Pajak Pertambahan Nilai
Artinya, yang berkewajiban memungut,
menyetor, dan melaporkan PPN adalah para pedagang atau pengecer. Meski
sebenarnya, pihak yang berkewajiban membayar atau dikenakan PPN adalah pembeli
atau konsumen akhir. Maksudnya, pajak tersebut tidak dibayarkan secara
langsung oleh pedagang, melainkan dibayarkan oleh konsumen. Sehingga, dikatakan
tidak langsung karena konsumen tidak membayar secara langsung ke pemerintah.
Regulasi PPN adalah diatur dalam dalam UU
Nomor 6 Tahun 1983. Tarif PPN adalah ditetapkan 10 persen. Belakangan,
pemerintah melakukan revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 dengan UU Harmonisasi
Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021.
Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan
kebijakan serta lebih memperhatikan keadilan masyarakat Indonesia. Dasar hukum
PPN terbaru ada didalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu
Undang-Undang Harga Pokok Produksi No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan.
Menurut Undang-Undang Harga Pokok Produksi
No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tarif Pajak
Pertambahan Nilai yaitu:
·
Sebesar
11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;
·
Sebesar
l2% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari
2025.
Alasan menaikan PPN 11% menurut pemerintah :
- Pemerintah melihat sebagai momentum yang tepat untuk penguatan pondasi pemulihan ekonomi negara.
- Menurut pemerintah, tujuan kebijakan kenaikan PPN adalah untuk optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum
- Pemerintah menetapkan beberapa barang yang bebas PPN.
- Untuk kelompok super kaya, pemerintah menetapkan pajak 35 untuk harta 35%.
- Menurut pemerintah hal tersebut menjadi penguatan ciri gotong royong yang lebih kuat, dan mengajak masyarakat menengah atas untuk berkontribusi lebih besar dan diberikan fasilitas untuk kelompok masyarkat yang menengah kebawah.
Barang dan jasa bebas PPN 11%:
- Barang dan Jasa bebas PPN 11%
- Barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi;
- Jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja;
- Vaksin, buku pelajaran dan kitab suci;
- Air bersih (termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap);
- Listrik (kecuali untuk rumah tangga dengan daya >6600 VA);
- Rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS;
- Jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasional;
- Mesin, hasil kelautan perikanan, ternak, bibit/benih, pakan ternak, pakan ikan, bahan pakan, jangat dan kulit mentah, bahan baku kerajinan perak;
- Minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG) dan panas bumi;
- Emas batangan dan emas granula;
- Senjata/alutsista dan alat foto udara.
Ada beberapa hal kontroversial dari PPN 11%:
- Penurunan Pajak pernghasilan perusahaan dari 25% ke 22%. Sementara pajak pertambahan nilai untuk rakyat di naikan 11%.
- Pemerintah menaikan pajak pertambahan nilai pada waktu yang tidak tepat yaitu disaat daya beli masyarakat masih lemah. Sehingga PPN 11% terkesan memberikan kepada masyakat bahkan akan berimbas pada naiknya hal barang barang lainnya.
- Kenaikan PPN menjadi 11% berpotensi mengerek inflasi mengingat pemberlakuan tarif bersamaan dengan masa ramadan dan menjelang lebaran dan adanya kelangkaan minyak goreng.
- Pajak pertambahan nilai 11% dipaksakan untuk mencukupi dana APBN karna akan digunakan membiayai IKN baru
UU No.7 tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur mengenai kenaikan PPN menjadi 11% di
tahun 2022 dan secara bertahap akan meningkat lagi menjadi 12% di tahun 2024.
Kenaikan ini bukan tanpa alasan. Kenaikan ini bertujuan untuk menjaga momentum
pemulihan ekonomi Indonesia setelah dampak pandemi covid-19.
Kementerian
Keuangan menyatakan bahwa penerimaan pajak ini nanti akan difokuskan untuk
distribusi program sosial seperti bantuan sosial pemerintah, program vaksinasi,
dan lain sebagainya. Kenaikan ini sendiri dinilai tepat mengingat tarif PPN
Indonesia yang masih rendah dibandingkan rata-rata tarif global yang sebesar
15%. Bahkan negara-negara OECD rata-rata mengenakan 19% dan negara BRICS
mengenakan 17% tarif PPN.
Kenaikan
PPN 11% Bagi Penerimaan Negara
Kenaikan
PPN ini sendiri dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemerintah untuk menaikan
penerimaan pajak guna memulihkan perekonomian Indonesia terdampak pandemi
covid-19.
Proyeksi
penerimaan pajak pertambahan nilai di akhir tahun 2022 ini sendiri adalah
sebesar Rp 1.3353,3 triliun berdasarkan pemaparan dari Institute for Development
of Economics and Finance (Indef) dalam sebuah laman berita. Ini dihitung dari
basis pajak atas konsumsi masyarakat yang ditargetkan tumbuh sebesar 6,7% year
on year atau setara Rp 554,38 triliun dari pemaparan pemerintah. Proyeksi
ini sendiri lebih tinggi 8,5% dibandingkan target penerimaan pajak tahun ini
yang hanya sebesar Rp 1.229,58 triliun. Penerimaan ini pada akhirnya akan
didistribusikan ulang pula untuk program-program pemulihan yang akan
mengeksplorasi perekonomian Indonesia, seperti program vaksinasi, insentif
ekonomi, dsb.
Kenaikan
PPN 11% Bagi Daya Beli Masyarakat
Di
satu sisi, beberapa pengamat pajak merasa implementasi kenaikan PPN ini kurang
tepat karena akan berdampak terhadap daya beli masyarakat yang merupakan aspek
penting di masa pandemi. Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF menyatakan
bahwa konsumsi masyarakat belum sepenuhnya menguat. Dikhawatirkan, tarif baru
PPN justru malah akan mendorong inflasi tinggi yang mengindikasikan harga-harga
barang/jasa semakin mahal. Nantinya ini juga akan berdampak terhadap penurunan
pertumbuhan ekonomi di tahun depan dan mendorong shortfall penerimaan
pajak di tahun depan.
0 Komentar
Berkomentarlah dengan Sopan dan sesuai Pembahasan