HAK ASASI MANUSIA DALAM KAITANNYA DALAM KEBEBASAN BERAGAMA
Hak Asasi
Manusia telah menjadi isu penting yang mengglobal disamping masalah demokrasi
dan masalah lingkungan hidup, bahkan telah menjadi tuntutan yang sangat perlu
perhatian yang serius bagi negara untuk menghormati, melindungi, membela dan
menjamin hak asasi warganegara dan penduduk tanpa diskriminasi.
Secara umum hak
asasi manusia (HAM) dapat diartikan sebagai bentuk hak-hak yang dimiliki
seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Hak-hak ini bersumber dari
pemikiran moral manusia dan diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat suatu
individu sebagai seorang manusia. Dengan makna lain, Hak asasi manusia secara kompleks
dapat diartikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri segenap manusia sehingga
mereka diakui keberadaannya tanpa membedakan seks, ras, warna kulit, bahasa,
agama, politik, kewarganegaraan, kekayaan, dan kelahiran.
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan
bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
Sebagai makhluk
social dan bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib
dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama
dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai Hak asasi manusia mengajarkan agar hak-hak
dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. Hak asasi manusia
mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun
dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan
dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.
Kebebasan adalah
kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan kendala (hambatan);
kekuasaan untuk memilih tindakan seseorang, yang seringkali dilihat di dalam
arti kebebasan dasar (fundamental freedom). Sedangkan Kebebasan beragama adalah
suatu kebebasan yang sangat dibutuhkan secara mutlak bagi pemeliharaan dan
perlindungan atas martabat manusia di dalam masyarakat yang terorganisasikan
sebagai satu jenis perlindungan paling minimum yang dapat diterima.
Kebebasan agama
atau keyakinan (freedom of religion or belief) merupakan salah satu bagian
penting dari Hak Asasi Manusia (HAM). Meski hampir tidak ada lagi perdebatan
substantif tentang esensialnya subjek ini. Akan tetai kebebasan agama dan
keyakinan masih menghadapi masalah dan kendala tertentu di berbagai belahan
dunia, termasuk di Indonesia. Karena itu, kebebasan beragama atau berkeyakinan
masih perlu perjuangan secara terus menerus pada berbagai level kehidupan.
Dalam perspektif
Hak Asasi Manusia (HAM) Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dipandang
sebagai hak negatif dan hak positif. Sebagai hak negatif, KBB seseorang tidak dapat
dipaksa oleh pihak manapun. Dalam hak positif, KBB mengandung arti bahwa setiap
orang berhak memilih dan meyakini agama atau keyakinan yang dianutnya, termasuk
memilih untuk tidak beragama dan berkeyakinan.
Dasar hukum yang
menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun
1945 (“UUD 1945”): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.” Pasal 28E
ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga
diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama.
Akan tetapi, hak
asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib
menghormati hak asasi orang lain. Pasal
28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan
hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi,
hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada
pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
Kebebasan
beragama, adalah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa sehingga harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara
maupun masyarakat. Oleh sebab itu prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu
UU yang memayungi kebebasan beragama. UU ini diperlukan untuk memproteksi warga
dari tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis agama sekaligus
juga membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara
dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, dan syari’at agama (code)
pada umumnya. Tujuan lain adalah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak
asasinya sebagai manusia yang bermartabat dalam berpendapat, berkeyakinan dan
beragama, serta potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. UU
semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih operasional.
Salah satu
permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia diantaranya Konflik-disintegrasi
bangsa, penegakan hukum dan HAM. Salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun adalah hak beragama, bahkan setiap orang bebas
memilih agama dan beribadat menurut agamanya. Negara menjamin kemerdekaan
memeluk agama, sedangkan pemerintah berkewajiban melindungi penduduk dalam
melaksanakan ajaran agama dan ibadat, sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta
tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Tugas pemerintah harus
memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan
ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib baik intern
maupun antar umat beragama. Penegakan Hukum dan Hak Kebebasan Beragama. Karena
hak asasi manusia adalah hukum internasional, di mana negara merupakan subyek
hukum yang berkewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia, maka negara dibebani tanggung
jawab terselenggaranya kebebasan beragama bagi warga negara.
Di era
reformasi, arus kebebasan yang semestinya dapat dikelola menjadi kekuatan
konstruktif pembangunan bangsa justru menjadi kontraproduktif dengan melahirkan
sumber ketegangan baru. Kebebasan menjadi bola liar yang bergulir, dan sulit
dibedakan dengan anarkisme. Masyarakat merasa legal untuk melakukan apa saja
atas nama kebebasan. Tidak sedikit, misalnya, kelompok masyarakat yang
tiba-tiba merasa berwenang memerangi kemaksiatan dengan mengunakan cara-cara
kekerasan serta menyerang kelompok agama lain.
Di pihak lain,
aparat negara yang mempunyai otoritas untuk melindungi hak-hak asasi warganya,
tidak mampu melakukan law enforcement. Para aparat ini acapkali bertindak
ragu-ragu serta tidak mampu membedakan antara ketegasan menjalankan
undang-undang dan prilaku yang melanggar HAM. Padahal, tanpa ketertiban dan
aturan hukum yang jelas, tidak akan ada kebebasan dan HAM.
Sementara itu,
dalam konteks legislasi nasional, kewajiban ini juga ditegaskan UUD 1945 di
Pasal 28I ayat 4. Demi mengimplementasikan kewajiban tersebut, selayaknya
negara menempuh langkah-langkah yang efektif di pelbagai bidang, seperti:
hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta bidang lain
seperti termaktub di Pasal 71 jo. Pasal 72 dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
1999. Dilain pihak, jika universalitas agama dipahami dengan baik, hak asasi
manusia (HAM) sama sekali tidak berbenturan dengan agama. HAM sangat menghargai
kemanusian layaknya agama menghormati hak hidup manusia. Pasalnya, tiap agama
juga mengatur interaksi sesama manusia. Saling bantu dalam menghadapi musuh
bersama, membela yang teraniaya, saling menasehati, serta menghormati kebebasan
beragama.
Kebebasan
beragama dalam kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai posisi yang kompleks Dalam
konfigurasi ketatanegaraan, kebebasan beragama mempunyai posisi yang penting
juga. Sebagian besar kegiatan manusia dilindungi oleh pasal-pasal mengenai
kebebasan beragama, kebebasan bereskpresi, dan kebebasan politik. Menurut
Ifdhal Kasim17, kebebasan beragama muncul sebagai HAM yang paling mendasar
dalam instrumen-instrumen politik nasional dan internasional, jauh sebelum
berkembangnya pemikiran mengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil
dan politik. Namun jika dikaitkan kebebasan beragama dalam hal kenegaraan
banyak menemukan persoalan-persoalan yang butuh penyelesaian apalagi
persoalanya dikaitkan dengan HAM.
Perlindungan hak
kebebasan beragama dalam berbagai dokumen tersebut menekankan pada perlindungan
hak asasi manusia, yaitu hak untuk menganut dan tidak menganut agama atau
keyakinan tertentu, hak untuk melaksanakan ibadah atau ritual sesuai keyakinan
dan agama, dan hak untuk menyiarkan atau mengajarkan tanpa mengancam kebebasan
orang lain. Jadi, yang dilindungi adalah manusia, bukan agama, bukan Rasul,
bukan Tuhan sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal tersebut. Kebebasan individu
adalah prisip dasar perlindungan manusia.
Dalam konteks
ini, harus dipastikan bahwa pemaksaan kehendak dan kekerasan apapun alasannya
adalah penghinaan terhadap kebebasan individu dan karena itu harus diberangus
atas dasar hak asasi manusia. Oleh karena itu, harus dicatat bahwa pengutamaan
individu dalam hak asasi manusia bukalah pengutamaan yang egoistik, melainkan
selalu diikuti dengan tuntutan kewajiban-kewajiban sosial. Artinya, pemenuhan
hak asasi manusia selalu mempertimbangkan prasyarat-prasyarat sosial, tidak
boleh diselenggarakan dengan cara-cara kekerasan apa pun alasannya. Kebebasan
individu sealu berujung pada penghormatan kebebasan individu lain. Dalam
konteks perlindungan terhadap hak kebebasan beragama ini, seharusya negara
bersipat netral dan tidak memihak kepada siapa pun dan kepada golongan agama
manapun. Negara harus menjamin penyeleggaraan agama atas alasan sosial, yaitu
sebagai hak individu dan sebagai pilihan bebas individu. Negara tidak menjamin
isi sebuah agama atau keyakinan, Negara hanya menjamin hak manusia untuk
beragama dan berkeyakinan secara bebas dan damai.
Hak kebebasan
beragama tentulah bukan hak mutlak tanpa batas, melainkan dibatasi oleh
kewajiban dan tanggung jawab seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama
manusia, apapun agamanya. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik yang telah diratifikasi pemerintah memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk melakukan pembatasan-pembatasan dalam kehidupan keagamaan.
Akan tetapi, harus diingat bahwa semua bentuk pembatasan atau pengaturan itu
hanya boleh dilakukan dengan undang-undang. Alasan pembatasan tersebut harus
terkait dengan upaya-upaya perlindungan atas lima hal yang akan dijelaskan
nanti. Pembatasan kebebasan beragama hanya diperlukan jika mengarah kepada
pembatasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan ajaran
agama atau keyakinan seseorang yang termasuk kebebasan bertindak (freedom to
act). Jadi, pembatasan tidak mencakup hak kebebasan beragama dan berkeyakinan
dalam pengertian freedom to be.
Sebab, segaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kebebasan untuk
mengimplementasikan ajaran agama atau keyakinan bersifat derogable, boleh
dibatasi, diatur, atau ditangguhkan pelaksanaannya.
Dengan demikian
tujuan utama pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan
orang (kehidupan, integritas, kesehatan mereka) atau kepemilikan mereka. Pembatasan
itu semata-mata dimaksudkan untuk melindungi keselamatan seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan.
Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga
negara, bukan intervensi. Untuk tujuan-tujuan tersebut, negara perlu menetapkan
rambu-rambu agar para pemeluk agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu
ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan
(violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan
penghinaan terhadap pengikut agama lain.
Referensi:
Diskusi Panel: Perkembangan Konsep
Tindak Pidana Terkait Dengan Agama Dalam Pembaharuan KUHP. Aliansi RKUHP, 2007
Al Khanif, Hukum, HAM dan Kebebasan
Beragama (Yogjakarta : Laksbang Grafika, 2016).
https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Pengertian-Umum-Kebebasan-Beragama.pdf
0 Komentar
Berkomentarlah dengan Sopan dan sesuai Pembahasan