Tugas
kelompok
WAWASAN
KEMRITIMAN
‘’EKONOMI
MARITIM INDONESIA DALAM ASPEK
SEJARAH’’
DOSEN:
ELIYANTI MOKODOMPIT, SE, MSi

OLEH
KELOMPOK
10
MUTAWAKKIL B1B1
MUZA
ISLAN B1B1
GUSMATANG B1B
SISCA
MARDIANI B1B1
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN
BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat menyelesaikan skripsi
tentang “Ekonomi Maritim Indonesia Berdasarkan Aspek Sejarah” ini. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad
SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran
agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam
semesta.
Kami sangat bersyukur karena
dapat menyelesaikan skripsi yang menjadi tugas kemaritiman kami dengan judul “Ekonomi
Maritim Indonesia Berdasarkan Aspek Sejarah”. Disamping itu, kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan
skripsi ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah skripsi kami.
Demikian yang dapat kami
sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami
mengharapkan kritik dan saran terhadap skripsi ini agar kedepannya dapat kami
perbaiki. Karena kami sadar, skripsi yang kami buat ini masih banyak terdapat
kekurangannya
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
D. MANFAAT
E. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB II
KAJIAN MATERI
A. PENGERTIAN MARITIM DAN
EKONOMI
C.
SEJARAH MARITIM DI INDONESIA
D. ASPEK ASPEK
KEMARITIMAN
E.
POTENSI MARITIM INDONESIA
F.
CONTOH POTENSI EKONOMI MARTIM DI INDONESIA
BAB III
PEMBAHASAN
A.
KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA MASYARAKAT PESISIR
B. BAGAIMANA KEMISKINAN PADA MSYARAKAT PESISIR
C. KERAJAAN MARITIM DI
INDONESIA
D. EKONOMI MARITIM DI
INDONESIA
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Konsep Negara
Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa.Letak geografis
kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak
70%angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke
wilayah Pasifik,dan sebaliknya, harus melalui perairan kita. Wilayah laut yang
demikian luas dengan 17.500-an pulau-pulau yang mayoritas kecil
memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan,terumbu karang
dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisatabahari, sumber
energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan jugamedia
perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis. Panjang pantai 81.000 km (keduaterpanjang di
dunia setelah Kanada) merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang secara
biologis sangat kaya dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Secarametereologis, perairan nusantara
menyimpan berbagai data metrologi maritim yang amat vitaldalam menentukan tingkat akurasi perkiraan iklim
global. Di perairan kita terdapat gejalaalam yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau Indonesian yaituarus laut besar yang permanen masuk ke perairan
Nusantara dari samudra Pasifik yang mempunyai
pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan pembiakannya dan juga pengaruh
besar pada iklim benua Australia.
Karena memiliki
sejarah kemaritiman dan potensi sumberdaya kemaritiman yang besar maka
muncul lah gagasan pembangunan Benua Maritim Indonesia. BMI adalah bagian dari system
planet bumi yang merupakan satu kesatuan alamiah antara darat, laut, dan udara diatasnya,
tertata secara unik, menampilkan ciri – ciri benua dengan karakteristik yang
khas dari sudut pandang iklim dan cuaca, keadaan airnya,
tatanan kerak bumi, keragaman biota,serta tatanan social budayanya yang
menjadi yuridiksi NKRI yang secara langsung maupun tidak langsung
akan menggugah emosi, perilaku dan sikap
mental dalam menentukan orientasi dan pemanfaatan unsur-unsur
maritim di semua aspek kehidupan. Hal inilah yang kemudian
menarik untuk diketahui tentang bagaimana pembangunan Benua Maritim Indonesia. Oleh
karena itu penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang pertanyaan
tersebut dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat menjadi jawaban dan memberikan pemahaman terkait
pertanyaan yang dikaji.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang melatar belakangi kondisi social ekonomi dan budaya masyarakat pesisir
2. Bagaimana
proses kejayaan maritime di Indonesia pada masa sejarah
3. Bagaimana
perkebangan kerajaan maritime di Indonesia
4. Bagaimana
Perkembangan ekonomi maritime di Indonesia
C. TUJUAN
1. Mengetahui
apa yang melatar belakangi kondisi social ekonomi dan budaya masyrakat pesisir
2. Mengetahui
proses kejayaan maritim di Indonesia pada masa sejarah
3. Mengetahui
kerajaan maritime di Indonesia
4. Mengetahui
perkembangan ekonomi maritime di Indonesia
D. MANFAAT
1. Agar
dapat mengetahui apa yang melatar belakangi kondisi social ekonomi dan budaya
masyrakat pesisir
2. Agar
dapat mengetahui proses kejayaan maritim di Indonesia pada masa sejarah
3. Agar
dapat mengetahui perkembangan kerajaan maritime di Indonesia dan hubungan
dengandunia internasional
4. Agar
dapat mengetahui masalah ekonomi maritime di Indonesia
5. Agar
dapat mengetahui penyebab kemisikinan pada masyrakat pesisir
6. Agar
dapat mengetahui perkembangan ekonomi maritime di Indonesia
E.
SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk
memahami lebih jelas laporan ini, maka materi-materi yang tertera pada Laporan
Skripsi ini dikelompokkan menjadi beberapa sub bab dengan sistematika
penyampaian sebagai berikut :
1. BAB
I PENDAHULUAN
Berisi
tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
2. BAB
II KAJIAN MATERI
Bab
ini berisikan teori yang berupa pengertian dan definisi yang diambil dari
kutipan artikel yang berkaitan dengan penyusunan laporan skripsi serta beberapa
literature review yang berhubungan dengan penelitian.
3. BAB
III PEMBAHASAN
Bab
ini berisi tentang pembahasan – pembahasan yang berada pada rumusan masalah
yang terdapat pada latar belakang.
4. BAB
IV
Bab
ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
KAJIAN MATERI
A.
PENGERTIAN MARITIM DAN EKONOMI
1.
Pengertian Maritim
Maritim
Berasal dari kata maritime (bahasa Inggris) yang berarti navigasi maritim atau
bahari. Maritime adalah segala aktivitas pelayaran dan perdagangan yang
berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga, sehingga dapat
disimpulka bahwa maritim adalah
berkenaan dengan laut, yang berhubungan dengan pelayaran perdagangan laut.
Dilihat dari arti kata secara luas,
kata kelautan mungkin lebih cenderung mengartikan laut sebagai wadah,yaitu
sebagai hamparan air asin yang sangat luas yang menutup permukaan bumi,
hanya melihat fisik Laut Dengan segala kekayaan alam yang terkandung
didalamnya Dengan demikian ,istilah maritim sesungguhnya lebih komprehensif , yaitu tidak hanya melihat laut secara fisik,
wadah dan isi, tetapi !ugamelihat laut dalam konteks geopolitik, terutama
posisi Indonesia dalam persilanganantara dua benua dan dua samudra serta merupakan wilayah laut yang sangat
penting bagi perdagangan dunia.
Pengertian ini sesuai pula dengan Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang mengartikan maritim sebagai
berkenaan dengan laut berhubungan dengan
pelayaran dan perdagangan di laut.
Pengertian
kemaritiman yang selama ini diketahui oleh masyarakat umum adalah menunjukkan
kegiatan di laut yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan,sehingga
kegiatan di laut yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi atau penangkapan ikan
bukan merupakan kemaritiman. Dalam arti lain kemaritiman berarti sempit ruang
lingkupnya, karena berkenaan dengan pelayaran dan perdagangan laut.Sedangkan
pengertian lain dari kemaritiman yang berdasarkan padatermonologi adalah
mencakup ruang/wilayah permukaan laut, pelagik danmesopelagik yang merupakan
daerah subur di mana pada daerah ini terdapat kegiatan seperti pariwisata,
lalulintas, pelayaran dan jasa-jasa kelautan.
2.
Pengertian Ekonomi
Ekonomi
maritime adalah kegiatan ekonomiyang mencakup
transportasi laut, industry
galangan kapal dan perawatannya, pembangunan dan pengoperasian pelabuhan baserta industry dan jasa trekait. Ekonomi
maritim merupakan salah satu jenis perekonomian yang seharusnya digenjot oleh
pemerintah. Dalam upaya untuk meningkatkan petumbuhan ekonomi. Sebagai negara
maritim dengan 70% luas wilayah perairan dibandingkan daratan. Tentunya potensi
ekonomi maritim sangat sangat potensial dipakai dalam pendongkrak perekonomian
indonesia. Apalagi di tengah lesunya beberapa industri ekonomi. Maka pemerintah
harus berupaya lebih keras untuk semakin memperkenalkan ekonomi maritim kepada
mereka yang memang notabene menggantungkan penghasilan dari sektor kelautan
yang masih minim sehingga sebagai penyebab ekonomi indonesia tidak
stabil dan menjadi penyebab ekonomi menurun.
B.
SEJARAH MARITIM DI INDONESIA
Sejarah
mencatat bahwa kejayaan bahari bangsa Indonesia sudah lahir sebelum
kemerdekaan, hal ini dibuktikan dengan adanya temuan-temuan situs prasejarah
maupun sejarah. Peneuman situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan
Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu-perahu layar, menggambar kan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia
merupakan bangsa pelaut, selain itu ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah
antara Suku Aborigin di Australia dengan
di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hubungan dengan
bangsa lain yang tentunya menggunakan kapal-kapal yang laik layar. Kerajaan
Sriwijaya (683 M – 1030 M) memiliki armada laut yang kuat, menguasai jalur
perdagangan laut dan memungut cukai atas penggunaan laut. Pengaruhnya meliputi
Asia Tenggara yang mana hal ini dikuatkan oleh catatan sejarah bahwa terdapat
hubungan yang erat dengan Kerajaan Campa yang terletak di antara Camboja dan
Laos.
Kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah bersama
kerajaan lainnya seperti Kerajaan Tarumanegara telah membangun Candi Borobudur
yang pada relief dindingnya dapat terlihat gambar perahu layar dengan
tiang-tiang layar yang kokoh dan telah menggunakan layar segi empat yang lebar.
Kejayaan Kerajaan Singosari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara telah
memiliki armada kapal dagang yang mampu mengadakan hubungan dagang dengan
kerajaan-kerajaan lintas laut. Perkembangan Kerajaan Singosari dipandang
sebagai ancaman bagi Kerajaan Tiongkok dimana saat itu berkuasa Kaisar Khu
Bilai Khan. Keinginan untuk menaklukkan Kerajaan Singosari dilakukan Khu Bilai
Khan dengan mengirim kekuatan armadanya hingga mendarat di Pulau Jawa. Disaat
Kertanegara harus berhadapan dengan kekuatan armada Khu Bilai Khan, Raden
Wijaya memanfaatkan momentum ini untuk membelot melawan Kertanegara dan
mendirikan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit (1293 M – 1478 M) selanjutnya
berkembang menjadi kerajaan maritim besar yang memiliki pengaruh dan kekuasaan
yang luas meliputi wilayah Nusantara. Dengan kekuatan armada lautnya, Patih
Gajah Mada mampu berperang untuk memperluas wilayah kekuasaan, sekaligus
menanamkan pengaruh, melaksanakan hubungan dagang dan interaksi budaya.
Bukti-bukti sejarah ini tidak bisa dielakkan bahwa kejayaan bahari Bangsa
Indonesia sudah bertumbuh sejak dahulu. Berbagai dokumen tentang kejayaan
bahari Bangsa Indonesia pada masa lalu, namun dalam perjalanannya kemudian
mengalami keredupan. Setidaknya ada dua sebab terjadinya hal ini, yaitu praktek
kebaharian kolonial Belanda pada masa lalu; dan kebijakan pembangunan bahari
pada masa rezim Orde Baru. Pada masa kolonial Belanda, atau sekitar abad ke
-18, masyarakat Indonesia dibatasi berhubungan dengan laut, misalnya larangan
berdagang selain dengan pihak Belanda, padahal sebelumnya telah muncul beberapa
kerajaan bahari nusantara, seperti Bugis-Makassar, Sriwijaya, Tarumanegara, dan
peletak dasar kebaharian Ammana Gappa di Sulawesi Selatan. Akibatnya budaya
bahari bangsa Indonesia memasuki masa suram. Kondisi ini kemudian berlanjut
dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun kembali Indonesia
sebagai bangsa bahari. Akibatnya, dalam era kebangkitan Asia Pasifik, pelayaran
nasional kita kalah bersaing dengan pelayaran asing akibat kurangnya investasi.
Pada era kolonialisme terjadi pengikisan semangat bahari Bangsa Indonesia yang
dilakukan oleh kolonial dengan menggenjot masyarakat indonesia untuk melakukan
aktivitas agraris untuk kepentingan kolonial dalam perdagangan rempah-rempah ke
Eropa.
Mengembalikan semangat bahari itu tidak
mudah, diperlukan upaya yang serius dari semua elemen bangsa. Sudah sepantasnya kita mengoptimalkan Unclos 1982
yang merupakan peluang terbesar negara kepulauan, namun lemahnya perhatian dan
keberpihakan pemerintah di laut maka beberapa kerugian yang ditimbulkannya,
seperti lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 dengan alasan
“ineffective occupation” atau wilayah yang diterlantarkan. Posisi strategis
Indonesia setidaknya memberikan manfaat setidaknya dalam tiga aspek, yaitu;
alur laut kepulauan bagi pelayaran internasional (innocent passage, transit
passage, dan archipelagic sea lane passage) berdasarkan ketentuan IMO; luas
laut territorial yang dilaksanakan sejak Deklarasi Djuanda 1957 sampai dengan
Unclos 1982 yang mempunyai sumberdaya kelautan demikian melimpah; dan sumber
devisa yang luar biasa jika dikelola dengan baik. Minimnya keberpihakan kepada
sektor bahari (maritime policy) salah satunya menyebabkan masih semrawutnya
penataan selat Malaka yang sejatinya menjadi sumber devisa; hal lainnya adalah
pelabuhan dalam negeri belum menjadi international hub port, ZEE yang masih
terlantar, penamaan dan pengembangan pulau-pulau kecil, terutama di wilayah
perbatasan negara tidak kunjung tuntas, serta makin maraknya praktik illegal
fishing, illegal drug traficking, illegal people, dan semakin meningkatnya
penyelundupan di perairan Indonesia. Pembangunan nasional bertujuan untuk
meningakatkan kesejahteraan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan merata.
Seiring dengan tujuan tersebut maka kemampuan pertahanan dan keamanan harus
senantiasa ditingkatkan agar dapat melindungi dan mengamankan hasil pembangunan
yang telah dicapai. Pemanfaatan potensi sumber daya nasional secara berlebihan
dan tak terkendali dapat merusak atau mempercepat berkurangnya sumber daya
nasional. Pesatnya perkembangan teknologi dan tuntutan penyediaan kebutuhan
sumber daya yang semakin besar mengakibatkan laut menjadi sangat penting bagi pembangunan
nasional. Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia
ke arah pendekatan bahari merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak.
Wilayah laut harus dapat dikelola secara profesional dan proporsional serta
senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia di laut. Beberapa
fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan berbasi
D.
ASPEK ASPEK KEMARITIMAN
1. Aspek Sosial Budaya
Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai
masyarakat atau kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan
kepentingan umum (kata sifat). Budaya dari kata Sans atau Bodhya yang
artinya pikiran dan akal budi Budaya ialah segala hal yang dibuat oleh manusia
berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta, rasa dan karsa.
Dapat berupa kesenian, moral, pengetahuan, hukum, kepercayaan, adat istiadat,
& ilmu.
Sosial
Budaya adalah
segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya dalam
kehidupan bermasyarakat Secara sederhana kebuadayaan dapat diartikan sebagai hasil dari cipta,
karsa, dan rasa. Sebenarnya Budaya atau kebudayaan berasal
dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Koentjaraningrat
(2002) mendefinisikan kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil kelakuan
manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar
dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Asalkan sesuatu yang
dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai
budaya.
Taylor dalam bukunya Primitive Culture, memberikan definisi
kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaankebiasaan yang didapat manusia
sebagai anggota masyarakat.
Menurut Herskovits, Budaya sebagai hasil karya manusia
sebagai bagian dari lingkungannya (culture is the human-made part of the
environment). Artinya segala sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan
manusia, baik hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan merupakan proses untuk
terlibat dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial, maka bisa
disebut budaya.
a. Unsur
Kebudayaan
Koentjaraningrat
(2002) membagi budaya menjadi 7 unsur : yakni sistem religi dan upacara
keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan.
Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan.
b. Pengaruh Pada aspek Sosial Budaya
Istilah sosial budaya mencakup dua segi utama kehidupan
bersama manusia yaitu segi sosial dimana manusia demi kelangsungan hidupnya
harus mengadakan kerjasama dengan manusia lainnya. Sementara itu, segi budaya
merupakan keseluruhan tata nilai dan cara hidup yang manifestasinya tampak
dalam tingkah laku dan hasil tingkah laku yang terlembagakan. Pengertian sosial
pada hakekatnya adalah pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat yang
mengandung nilai-nilai kebersamaan, senasib, sepenanggungan dan solidaritas
yang merupakan unsur pemersatu. Adapun hakekat budaya adalah sistem nilai yang
merupakan hasil hubungan manusia dengan cipta, rasa dan karsa yang menumbuhkan
gagasan-gagasan utama serta merupakan kekuatan pendukung penggerak kehidupan.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan seluruh cara hidup suatu masyarakat yang
manifestasinya dalam tingkah laku dan hasil dari tingkah laku yang dipelajari
dari berbagai sumber. Kebudayaan diciptakan oleh faktor organobiologis manusia,
lingkungan alam, lingkungan psikologis dan lingkungan sejarah.
c. Ketahanan Pada Aspek Sosial Budaya
Ketahanan
di bidang sosial budaya diartikan sebagai kondisi dinamik yang berisi keuletan
dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional
didalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan baik yang datang dari d’alam maupun dari luar yang langsung maupun
tidak langsung membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya bangsa dan
negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Wujud
ketahanan sosial budaya nasional tercermin dalam kehidupan sosial budaya bangsa
yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila, yang mengandung
kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan
masyarakat Indonesia. Esensi pengaturan dan penyelenggaran kehidupan sosial
budaya bangsa Indonesia adalah pengembangan kondisi sosial budaya dimana setiap
warga masyarakat dapat merealisasikan pribadi dan segenap potensi manusiawinya
yang dilandasi nilai-nilai Pancasila.
1. Aspek Sosial Ekonomi
a. Sisi Rencana Pembangunan
Nasional, Analisis manfaat proyek ditinjau dari sisi ini dimaksudkan agar
proyek dapat:
·
Memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat.
·
Menggunakan sumber daya lokal.
·
Menghasilkan dan menghemat devisa.
·
Menumbuhkan industri lain.
·
Turut menyediakan kebutuhan konsumen dalam negeri sesuai
dengan kemampuan.
·
Menambah pendapatan nasional.
b. Sisi
Distribusi Nilai Tambah
Yaitu
agar proyek yang akan dibangun memiliki nilai tambah. Nilai tambah hendaknya
dapat dihitung secara kuantitatif. Dalam perhitungan tersebut, agar lebih mudah
dapat diasumsikan bahwa proyek berproduksi dengan kapasitas normal.
Setelah nilai tambah tersebut diketahui besarnya, maka nilai ini selanjutnya
dapat didistribusikan. Hendaknya perhitungan-perhitungan tersebut dilakukan
secara jelas.
c. Sisi
Nilai Investasi Per Tenaga Kerja
Penilaian
berikutnya adalah bahwa proyek mampu meningkatkan kesempatan kerja. Salah satu
cara mengukur proyek padat modal atau padat karya adalah dengan membagi jumlah
investasi (modal tetap + modal kerja) dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat
sehingga didapat nilai investasi per tenaga kerja. Untuk proyek perluasan,
perhitungan nilai investasi merupakan jumlah investasi sebelum dan sesudah
investasi. Sayangnya, modal ini berpatokan pada nilai rupiah tertentu, misalnya
proyek bisnis dengan nilai lebih besar dari X Rupiah adalah padat modal, dan
selain itu berarti padat karya.
Adapun
hambatan pembangunan yang terjadi di Bidang Ekonomi yaitu:
1. Iklim
tropis
Iklim
tropis menyebabkan terjadinya lingkungan kerja yang panas dan lembab sehingga
menurunkan usaha atau gairah kerja manusia, banyak muncul penyakit, serta
membuat pertanian kurang menguntungkan.
2. Produktivitas
rendah
Produktivitas
rendah ini disebabkan oleh kualitas manusia dan sumber alam yang relatif kurang
menguntungkan.
3. Kapital
sedikit
Disebabkan
oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja yang berakibat kepada rendahnya
pendapatan negara, sehingga tabungan sebagai sumber kapital juga rendah.
4. Nilai
perdagangan luar negeri
Ini
disebabkan negara miskin mengandalkan ekspor bahan mentah yang
mempunyai elastisitas permintaan atas perubahan harga yang inelastis.
5. Besarnya
pengangguran
Ini
disebabkan karena banyaknya tenaga kerja yang pindah dari desa ke kota dan kota
tidak mampu menampung tenaga mereka karena kurangnya faktor produksi lain untuk
mengimbanginya sehingga terjadilah pengangguran itu.
6. Besarnya
ketimpangan distribusi pendapatan
Misalnya
keuntungan lebih banyak dimiliki oleh sebagian kecil golongan
tertentu
saja.
7. Tekanan
penduduk yang berat
Hal ini
disebabkan karena antara lain naiknya rata-rata umur manusia dibarengi dengan
masih besarnya persentase kenaikan jumlah penduduk yang makin lama makin
membebani sumber daya lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
8. Penggunaan
tanah yang produktivitas rendah
Hal ini
disebabkan karena sektor pertanian menjadi mata pencaharian utama, di samping
itu juga, kualitas alat-alat produksi, pupuk, teknik pengolahan tanah juga
masih relatif rendah.
3. Aspek Sosial Politik
Politik berasal dari kata politics dan atau policy artinya
berbicara politik akan mengandung makna kekuasaan (pemerintahan) atau juga
kebijaksanaan. Pemahaman itu berlaku di Indonesia dengan tidak memisahkan
antara politics dan policy sehingga kita menganut satu paham yaitu politik.
Hubungan tersebut tercermin dalam fungsi pemerintahan negara sebagai penentu
kebijaksanaan serta aspirasi dan tuntutan masyarakat sebagai tujuan yang ingin
diwujudkan sehingga kebijaksanaan pemerintahan negara itu haruslah serasi dan
selaras dengan keinginan dan aspirasi masyarakat.
Politics
di Indonesia harus dapat dilihat dalam konteks Ketahanan Nasional ini yang
meliputi dua bagian utama yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri.
a. Politik Dalam Negeri
Politik
dalam negeri adalah kehidupan politik dan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 yang mampu menyerap aspirasi dan dapat mendorong partisipasi
masyarakat dalam satu sistem, yang unsur-unsurnya terdiri dari :
·
Struktur Politik
Merupakan
wadah penyaluran pengambilan berupa kepentingan masyarakat dan sekaligus wadah
dalam menjaring/pengkaderan pimpinan nasional.
·
Proses Politik
Merupakan
suatu rangkaian pengambilan keputusan tentang berbagai kepentingan politik
maupun kepentingan umum yang bersifat nasional dan penentuan dalam pemilihan
kepemimpinan, yang puncaknya terselenggara dalam pemilu.
·
Budaya Politik
Merupakan
pencerminan dari aktualisasi hak dan kewajiban rakyat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilaksanakan secara sadar dan
rasional baik melalui pendidikan politik maupun kegiatan-kegiatan politik yang
sesuai dengan disiplin nasional.
·
Komunikasi Politik
Merupakan
suatu hubungan timbal balik antar berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara baik rakyat sebagai sumber aspirasi maupun sumber
pimpinan-pimpinan nasional.
b. Politik Luar Negeri
Politik
luar negeri adalah salah satu sarana pencapaian kepentingan nasional dalam
pergaulan antar bangsa. Politik luar negeri Indonesia berlandaskan pada
Pembukaan UUD 1945 yakni melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial serta anti penjajahan karena
tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Politik
luar negari merupakan proyeksi kepentingan nasional kedalam kehidupan antar
bangsa. Dijiwai oleh falsafah negara Pancasila sebagai tuntutan moral dan
etika, politik luar negeri Indonesia diabadikan kepada kepentingan nasional
terutama untuk pembangunan nasional. Dengan demikian politik luar negeri
merupakan bagian intergral dari strategi nasional dan secara keseluruhan
merupakan salah satu sarana pencapaian tujuan nasional. Politik luar negeri
Indonesia adalah bebas dan aktif. Bebas dalam pengertian bahwa Indonesia tidak
memeihak kepada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa.
Aktif
dalam pengertian tidak bersifat reaktif dan tidak menjadi objek percaturan
internasional, tetapi berperan serta atas dasar cita-cita bangsa yang tercermin
dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. heterogenitas kepentingan bangsa-bangsa
di dunia maka politik luar negeri harus bersifat kenyal dalam arti bersikap
moderat dalam hal yang kurang prinsipil maupun tetap berpegang pada
prinsip-prinsip dasar seperti yang ditentukan dalam Pembukaan UUD 1945.
Dinamika perubahan-perubahan hubungan antar bangsa yang cepat dan tidak menentu
di dunia maka dibutuhkan kelincahan dalam arti kemampuan penyesuaian yang
tinggi dan cepat untuk menanggapi dan menghadapinya demi kepentingan nasional.
d. Ketahanan Pada Aspek Politik
Ketahanan
pada aspek politik diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan politik bangsa
yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, gangguan, ancaman
dan hambatan yang datang dari luar maupun dari dalam negeri yang langsung
maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan hidup politik bangsa dan
negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
1. Ketahanan
Pada Aspek Politik Dalam Negeri
·
Sistem pemerintahan yang berdasarkan hukum, tidak
berdasarkan kekuasaan yang bersifat absolut, kedaulatan ditangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat.
·
Mekanisme politik yang memungkikan adanya perbedaan
pendapat, namun perbedaaan itu tidak menyangkut nilai dasar sehingga tidak
antagonistis yang dapat menjurus pada konflik fisik. Disamping itu harus
dicegah timbulnya diktator mayoritas dan tirani minoritas.
·
Kepemimpinan nasional mampu mengakomodasikan aspirasi
yang hidup dalam masyarakat, dengan tetap dalam lingkup Pancasila, UUD 1945 dan
Wawasan Nusantara.
·
Terjalin komunikasi dua arah antara pemerintah dengan
masyarakat dan antar kelompok/golongan dalam masyarakat dalam rangka mencapai
tujuan nasional dan kepentingan nasional.
2. Ketahanan
Pada Aspek Politik Luar Negeri
Hubungan luar negeri ditujukan untuk lebih meningkatkan
kerjasama internasional di berbagai bidang atas dasar saling menguntungkan, meningkatkan
citra positif Indonesia di luar negeri, memantapkan persatuan bangsa dan
keutuhan NKRI. Politik luar negeri terus dikembangkan menurut prioritas dalam
rangka meningkatkan persahabatan dan kerjasama antar negara berkembang dan atau
dengan negara maju sesuai dengan kemampuan dan demi kepentingan nasional.
Peranan Indonesia dalam membina dan mempererat persahabatan dan kerjasama antar
bangsa yang saling menguntungkan perlu terus diperluas dan ditingkatkan. Citra
positif Indonesia terus ditingkatkan dan diperluas antara lain melalui promosi,
peningkatan diplomasi dan lobi internasional, pertukaran pemuda, pelajar dan
mahasiswa serta kegiatan olah raga. Perkembangan, perubahan dan gejolak
dunia terus diikuti dan dikaji denga seksama agar secara dini dapat
diperkirakan terjadinya dampak negatif yang dapat mempengaruhi stabitlitas
nasional serta menghambat kelancaran pembangunan dan pencapaian tujuan
nasional. Langkah bersama negara berkembang untuk memperkecil ketimpangan
dan ketidakadilan dengan negara industri maju perlu ditingkatkan dengan
melaksanakan perjanjian perdagangan internasioal serta kerjasama dengan
lembaga-lembaga keuangan internasional
.Perjuangan mewujudkan tatanan dunia baru dan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
melalui penggalangan dan pemupukan solidaritas dan kesamaan sikap serta
kerjasama internasional dengan memanfaatkan berbagai forum regional dan global .Peningkatan
kualitas sumberdaya manusia perlu dilaksanakan dengan pembenahan secara
menyeluruh terhadap sistem pendidikan, pelatihan dan penyuluhan calon diplomat
agar dapat menjawab tantangan tugas yang dihada[inya. Disamping itu, perlu ditingkatkan
aspek-aspek kelembagaan dan sarana penunjang lainnya. Perjuangan bangsa
Indoesia di dunia yang menyangkut kepentingan nasionan seperti melindung
kepentingan Indonesia dari kegiatan diplomasi negatif negara lain dan hak-hak
warga negara Indonesi di luar negeri perlu ditingkakan.
E. POTENSI MARITIM INDONESIA
LUAS lautan
dibandingkan luas daratan di dunia mencapai kurang lebih 70 berbanding 30,
sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi negara-negara di dunia yang memiliki
kepentingan laut untuk memajukan maritimnya. Seiring perkembangan lingkungan
strategis, peran laut menjadi signifikan serta dominan dalam mengantar kemajuan
suatu negara.
Alfred Thayer
Mahan, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, dalam bukunya “The
Influence of Sea Power upon History” mengemukakan teori bahwa sea
power merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu
negara, yang mana jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diberdayakan, maka akan
meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Sebaliknya, jika
kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan akan berakibat kerugian bagi suatu
negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut.
Indonesia secara
geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan
lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai
di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang menjadikan Indonesia
menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai
terpanjang di dunia. Kekuatan inilah yang merupakan potensi besar untuk
memajukan perekonomian Indonesia.
Data Food and
Agriculture Organization di 2012, Indonesia pada saat ini menempati peringkat
ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah China dan India. Selain
itu, perairan Indonesia menyimpan 70 persen potensi minyak karena terdapat
kurang lebih 40 cekungan minyak yang berada di perairan Indonesia. Dari angka
ini hanya sekitar 10 persen yang saat ini telah dieksplor dan dimanfaatkan.
Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum merasakan peran signifikan dari
potensi maritim yang dimiliki yang ditandai dengan belum dikelolanya potensi
maritim Indonesia secara maksimal. Dengan beragamnya potensi maritim Indonesia,
antara lain industri bioteknologi kelautan, perairan dalam (deep ocean water),
wisata bahari, energi kelautan, mineral laut, pelayaran, pertahanan, serta
industri maritim, sebenarnya dapat memberikan kontribusi besar bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Dalam UUD 1945
pasal 33 ayat (3) disebutkan, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran
rakyat. Meskipun begitu tidak dapat dipungkiri juga bahwa kekayaan alam
khususnya laut di Indonesia masih banyak yang dikuasai oleh pihak asing, dan
tidak sedikit yang sifatnya ilegal dan mementingkan kepentingan sendiri.
Dalam hal ini,
peran Pemerintah (government will) dibutuhkan untuk bisa menjaga dan
mempertahankan serta mengolah kekayaan dan potensi maritim di Indonesia. Untuk
mengolah sumber daya alam laut ini, diperlukan perbaikan infrastruktur,
peningkatan SDM, modernisasi teknologi dan pendanaan yang berkesinambungan
dalam APBN negara agar bisa memberi keuntungan ekonomi bagi negara dan juga
bagi masyarakat. Sebagaimana halnya teori lain yang dikemukakan oleh Alfred
Thayer Mahan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi untuk membangun kekuatan
maritim, yaitu posisi dan kondisi geografi, luas wilayah, jumlah dan karakter
penduduk, serta yang paling penting adalah karakter pemerintahannya.
Dari sisi
pertahanan, penguasaan laut berarti mampu menjamin penggunaan laut untuk
kepentingan nasional dan mencegah lawan menggunakan potensi laut yang kita
miliki. Pemerintah perlu segera menyelesaikan percepatan batas wilayah laut
agar dapat memberikan memberikan kepastian atas batas wilayah negara dan dapat
mempererat hubungan bilateral antara negara yang berbatasan, serta mendorong
kerja sama kedua negara yang berbatasan di berbagai bidang termasuk dalam
pengelolaan kawasan perbatasan, misal terkait pelayaran, kelautan dan
perikanan.
Selain itu
dengan adanya kepastian batas wilayah laut dapat terpelihara kedaulatan suatu
negara dan penegakkan hukum di wilayah perairan. Seperti yang diketahui,
Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan 10 (sepuluh) negara yaitu dengan
India (Landas Kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)), Thailand (Landas
Kontinen, ZEE), Malaysia (Laut Wilayah, ZEE, Landas Kontinen), Singapura (Laut
Wilayah), Vietnam (Landas Kontinen, ZEE), Filipina (ZEE, Landas Kontinen),
Palau (ZEE, Landas Kontinen), Papua Nugini (ZEE , Landas Kontinen), Timor Leste
(Laut Wilayah, Landas Kontinen, ZEE) dan Australia (ZEE, Landas Kontinen). Dari
sejumlah perbatasan itu, Indonesia telah menyelesaikan sebagian penetapan batas
maritim dengan India (Landas Kontinen), Thailand (Landas Kontinen), Malaysia
(sebagian Laut Wilayah, Landas Kontinen), Singapura (sebagian Laut Wilayah),
Vietnam (Landas Kontinen), Filipina (ZEE), Papua Nugini (ZEE, Landas Kontinen)
dan Australia (ZEE, Landas Kontinen). Berbagai upaya lainnya perlu dilaksanakan
untuk menuju Indonesia sebagai poros maritim dunia, antara lain
penyempurnaan RUU Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung, penyelarasan sistem
pendidikan dan pelatihan kemaritiman, penguasaan kapasitas industri pertahanan
khususnya industri maritim, modernisasi armada perikanan, penguatan armada
pelayaran rakyat dan pelayaran nasional, pemantapan pengelolaan pemanfaatan
laut melalui penataan ruang wilayah laut, peningkatan litbang kemaritiman, dan
diversifikasi sumber energi terbarukan di laut.
Urgensi Pembentukan Kementerian
Maritim
Pada Sidang
Paripurna DPR RI 29 September 2014 lalu, RUU Kelautan telah disahkan menjadi UU
Kelautan. Hal tersebut merupakan langkah maju bangsa Indonesia sekaligus menandai
dimulainya kebangkitan Indonesia sebagai bangsa bahari yang kini tengah
bercita-cita menjadi Negara Maritim. UU Kelautan akan menjadi payung hukum
untuk mengatur pemanfaatan laut Indonesia secara komprehensif dan terintegrasi.
Seiring dengan hal tersebut, Presiden terpilih Joko Widodo, yang baru saja
dilantik secara resmi sebagai Presiden Republik Indonesia, memfokuskan pada
pentingnya peran Maritim Indonesia dengan visi menjadikan Indonesia sebagai
poros maritim dunia. Hal ini merupakan kebijakan strategis, mengingat memang
Indonesia merupakan negara bahari yang dikelilingi oleh lautan. Seluruh alur
pelayaran dunia akan melalui lautan Indonesia sebagai jalur strategis sehingga
harusnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai pendekatan diplomasi dalam
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk mewujudkan Indonesia
sebagai poros maritim dunia, terdapat ide untuk membentuk sebuah kementerian
maritim yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.
Terdapat dua
jenis wacana yang muncul terkait dengan ide pembentukkan kementerian maritim,
yaitu pembentukkan Kementerian Maritim sebagai salah satu Kementerian di bawah
Kabinet Presiden Terpilih Jokowi, dan pembentukkan Kementerian Koordinator
Maritim yang membawahi kementerian-kementerian terkait dengan hal maritim guna
memfokuskan kabinet pada pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Kompleksitas permasalahan serta banyaknya segi yang harus ditangani dalam
pembangunan berbasis maritim menuntut kebijakan lintas sektoral yang efektif.
Saat ini pengelolaan laut Indonesia melibatkan banyak lembaga, yaitu
Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM,Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian
Perindustrian, KementerianPerdagangan, Kementerian Kehutanan, Kementerian
Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, TNI AL, dan
Polri. Dengan begitu banyak lembaga yang berkecimpung di laut sebenarnya dapat
menjadi peluang maupun hambatan dalam pembangunan maritim. Menjadi peluang
apabila semua stakeholder maritim bisa bersinergi dan menjadi
hambatan apabila yang terjadi sebaliknya.
Menanggapi hal
tersebut, ide membentuk Kementerian Maritim sebanarnya dapat menjadi angin
segar untuk mewujudkan cita-cita sebagai poros maritim dunia mengingat saat ini
yang terjadi adalah K/L yang berkecimpung di dunia maritim Indonesia kurang
bersinergi dan terkesan bekerja sendiri-sendiri sehingga tidak efektif dalam
mengoptimalisasi potensi maritim Indonesia. Sebagai contoh, sekarang ini
Indonesia memiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun tidak memiliki hak
untuk melakukan penjagaan wilayah laut karena ada instansi lain yang mengklaim
berhak menjaga wilayah laut. Namun yang terjadi kenyataannya adalah puluhan
ribu nelayan asing masuk dan mencuri ikan di laut Indonesia. Pentingnya
eksistensi Kementerian Maritim ini lebih ditunjukkan pada beban-beban tugasnya
di daerah pesisir. Kementerian Maritim mempunyai tugas untuk bisa
mengintegrasikan persoalan-persoalan maritim serta solusinya dan
menyosialisasikan kepada masyarakat di wilayah pesisir Indonesia sebagai
pelaksana pertama terhadap hal-hal yang terjadi di lautan Indonesia. Perlu
dicermati juga kelemahan dari ide pembentukan Kementerian Maritim, yaitu dari
sisi tugas dan fungsi yang dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan tugas dan
fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait maritim lainnya. Dengan demikian,
wacana pembentukan Kementerian Koordinator Bidang Maritim mulai marak muncul
untuk menghindari terjadinya tumpang tindih tugas dan fungsi ini. Kementerian
Koordinator Maritim itu sangat vital membawahi 18 kementerian yang saling
terkait dengan dunia laut, keamanan, teritorial, serta ekonomi. Secara umum,
Kementerian Koordinator Bidang Maritim tidak hanya akan menangani persoalan
perikanan dan sumber daya maritim, namun juga keamanan, batas wilayah laut, bea
cukai, dan banyak hal lain yang selama ini menjadi tanggung jawab sejumlah
kementerian lain. Namun, dari sisi keuangan negara, pembentukan Kementerian
Koordinator Maritim tentu saja akan menambah beban keuangan negara, mulai dari
infrastruktur dan belanja rutin.
F. CONTOH POTENSI EKONOMI MARTIM DI INDONESIA
Ekonomi maritim
merupakan salah satu jenis perekonomian yang seharusnya digenjot oleh
pemerintah. Dalam upaya untuk meningkatkan petumbuhan ekonomi. Sebagai negara
maritim dengan 70% luas wilayah perairan dibandingkan daratan. Tentunya potensi
ekonomi maritim sangat sangat potensial dipakai dalam pendongkrak perekonomian
indonesia. Apalagi di tengah lesunya beberapa industri ekonomi. Maka pemerintah
harus berupaya lebih keras untuk semakin memperkenalkan ekonomi maritim kepada
mereka yang memang notabene menggantungkan penghasilan dari sektor kelautan
yang masih minim sehingga sebagai penyebab
ekonomi indonesia tidak stabil dan
menjadi penyebab
ekonomi menurun . Cukup
berbangga memang, sebab beberapa tahun belakangan ini sektor kelautan dan
sektor usaha mikro
kecil dan menengah cukup
menyumbang devisa bagi negara. Namun, untuk industri ekonomi maritim, masih
harus cukup banyak dipecut. Sebab, masih ada beberapa potensi dari wilayah
maritim yang malah tidak dikembangkan oleh pemerintah. Selain itu juga,
kurangnya geliat dari pemerintah menyebabkan sektor ini malah dilirik oleh
pengusaha swasta atau asing. Padahal jika pemerintah lebih memprioritaskan
pengelolaan, maka para warga di wilayah tersebut akan dapat turut serta.
Sebenarnya apa sajakah ekonomi maritim tersebut. Berikut 10 contoh ekonomi
maritim yang masih perlu dikembangkan di Indonesia. Simak selengkapnya.
Jasa Kapal
Penyebrangan Antar Pulau atau Negara
Sebagai negara kepulauan tentunya dibutuhkan sarana untuk sampaj ke
pulau lainnya. Salah satu caranya ialah dengan menggunakan jasa kapal
penyebrangan. Dalam hal ini, jasa penyebrangan kapal antar pulau atau antar
negara termasuk kedalam contoh ekonomi maritim. Sebagai bagian dari ekonomi
kemaritiman tentunya usaha jasa penyebrangan ini sangat membantu bagi mereka
yang ingin melakukan perjalanan antar pulau. Di Indonesia sendiri kapal
transportasi yang digunakan harus memiliki izin dari instansi terkait apabila
kapal yang digunakan merupakan kapal penumpang dengan kapasitas besar. Simak
juga penyebab ekonomi lesu , cara mengatur keuangan bulanan dan penyebab ekonomi melemah . Berbeda
halnya dengan kapal-kapal kecil yang hanya melayani penyebrangan domestik.
Misalnya dari Pulau A ke Pulau B yang masih dalam satu wilayah. Mereka tidak
membutuhkan izin resmi dari pemerintah. Jasa kapal penyebrangan beberapa tahun
lalu masih tumbuh sangat subur. Namun, seiring berjalannya waktu geliat ekonomi
maritim dari sektor ini cenderung surut. Apalagi pada wilayah yang telah
dibangun jembatan penghubung antar pulay seperti jembatan Suramadu. Notabene
menghubungkan Surabaya dan Madura. Selain itu, pertimbangan utama untuk
menggunakan transportasi jenis ini ialah keselamatan. Masih terdapat banyak
kecelakaan yang melibatkan kapal penumpang yang melayani penyebrangan antar
pulau. Ini menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat untuk kemudian
menggunakan sarana ini sebagai saranan pilihan transportasi yang tepat. Nah,
tentunya ini menjadi tigas oemerintah dan lembaga terkait yakni PT PELNI yang
tentunya harus selalu berupaya meningkatkan pelayanan dan mengutamakan
keselamatan para penumpang.
1. Industri Reparasi Kapal
industri reparasi kapal juga merupakan salah satu jenis contoh ekonomi
maritim. Industri ini menjadi salah satu industri yang potensial. Sebab kapal
laut tentu sama hal yang dengan mobil.atau mesin lainnya yang bisa saja
mengalami kerusakan. Tentunya tidak sembarang orang atau bengkel yang bisa
memperbaikinya. Dibutubkan ahli dan kemampuan khusus yang memang paham betul
mengenai elemen perkapalan. Pilihan mengapa kemudian banyak orang yang lebih
memiliki mereparasi ketimbang harus membeli baru. Anda bayangkan saja, satu
kapal laut pasti memiliki harga yang fantastis. Maka tentu pilihannya jika ada
kerusakan ya memang harus diperbaiki.
2. Industri Pembuatan Kapal
Industri pembuatan kapal laut juga menjadi contoh ekonomi maritim yang
perlu lebih dikembangkan. Sebab industri ini jika berkembang akan bisa lebih
mudah masuk ke pasar internasional. Apalagi jika mampu bersaing dengan negara
lain yang notabene sudah lama terjun di bidang ini. Pada faktanya negara dengan
industri pembuatan kapal malah lebih banyak negara yang tidak memiliki laut.
Sehingga mereka menjual.produlnya ke negara maritim seperti Indonesia. Jika
kita bisa menembangkan industri ini, maka nelayan kita akan bisa memiliki kapal
penangkap ikan yang lebih canggih tanpa perlu mengekspornya dari luar negeri.
3. Industri Logistik Pengiriman Barang
Lewat Jalur Laut
Seiring dengen semakin majunya teknologi dan informasi. Serta euforia
masyarakat terhadap sistem belanja online. Maka industri logistik atau
pengiriman me jadi ladang usaha yang subur. Para penjual akan lebih memilih
kurir pengiriman barang untuk mengorim paket keluar kota. Karena mereka tidak
mungkin mengantarnya sendiri. Oleh karena itu, industri pengiriman logistik
barang lewat jalur laut menjadi pilihan para kurir. Meskipun membutukan waktu relatif
lama u tul sampai di kota tujuan. Namun jasa iniasih banyak diminati sebab
harganya yang lebih ekonomis.
4. Tol Laut
Tol laut menjadi salah satu konsep yang di gagas oleh presiden Republik
Indonesia Ir. Joko Widodo. Tol lalu merupakan sarana penyebrangan logistik yang
menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia . Dengan adanya
hubungan antara pelabuhan-pelabuhan laut ini, maka dapat diciptakan kelancaran
distribusi barang hingga ke pelosok. Selain hal itu, pemerataan harga Logistik
setiap barang di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga dengan adanya tol laut
maka harga komoditas dan barang-barang diselurub wilayah Indonesia dapat
seragam. Simak juga pengertian ekonomi kerakyatan.
5. Aktivitas Perekonomian Pelabuhan
Pelabuhan merupakan tempat dimana terdapat banyak aktifitas yang terkait
dengan aktivitas transportasi kelautan. Entah itu kapal yang akan menyebrang
atau sandar, kendaraan dan penumpang yang akan melakukan perjalanan dan juga
aktivitas niaga seperti para penjual dan pedagang yang ada diarea pelabuhan,
para porter atau tukang angkut barang. Tentunya semua aktivitas ini mendukung
aktivitas perekonomian kelautan. Oleh sebab itu, aktivitas perekonomian pelabuhan
menjadi salah satu contoh ekonomi maritim.
6. Terminal Peti Kemas
Terminal peti kemas merupakan terminal dimana dilakukan pengumpulan peti
kemas untuk kemudian diangkut ketujuan terminal peti kemas yang lebih besar.
Sudah banyak terminal peti kemas yang berkembang di indonesia. Seperti terminal
peti kemas JICT, Koja, Bojonegoro, Surabaya , Semarang, Trisakti, Pelaran,
Samarinda. Terminal Peti Kemas berkembang sangat pesat selama beberapa tahun
belakangan ini. Ini juga merupakan contoh ekonomi maritim
7. Jasa Pernavigasian Kapal
Jasa pernavigasian merupakan jasa yang mampu menyumbang devisa negara
yang cukup besar. Sebagai contoh, Distrik Navigasi Kelas II Banjarmasin,
Kalimantan Selatan memberikan pemasukan ke kas negara senilai Rp2 miliar per
tahun. Uang tersebut berasal dari jasa Vessel Traffic Services (VTS). Dalam
sehari kapal yang lalu lalang di sepanjang alur pelayaran Sungai Barito
sebanyak 60 sampai 70 kapal. Rata-rata dalam sehari pemasukan yang
diterima sekitar Rp200 juta-Rp250 juta. Seluruhnya masuk dalam Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP). Simak juga faktor penyebab inflasi .
8. Industri Pembuatan Senjata dan Kapal
Perang
Contoh ekonomi maritim yang lain ialah industri pembuatan kapal dan
senjata perang. Industri ini menjadi industri yang cukup besar dan dapat
menyumbang devisa yang besar bagi negara. Tentunya peran serta pemerintah
sangat krusial. Serta tenaga ahli yang mumpuni untuk mendukung industri ini
kian berkembang.
9. Jasa Pergudangan Laut
Jasa pergudangan laut, merupakan salah satu contoh ekonomi maritim yang
juga mampu memberikan kontribusi dalam penyumbang devisa negara. Jasa
pergudangan laut memungkinkan mode transportasi untuk bisa menyimpan barang di
sekitar area pelabuhan. Sehingga tentunya dapat menghemat biaya transportasi
sehingga tidak membebani harga pokok barang.
Itulah 10 contoh
ekonomi maritim yang masih perlu dikembangkan di Indonesia. Tentunya dapat
menjadi potensi dalam mengenjot perekonomian dalam negeri agar kian tumbuh. Semoga
artikel ini dapat bermanfaat.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA MASYARAKAT PESISIR
INDONESIA adalah negeri kelautan.
Namun, masyarakat pesisir masih jauh tertinggal. Warga yang mendiami 8.090 desa
itu diperkirakan berjumlah 16,42 juta jiwa. Komunitas yang ditandai dengan
angka indeks kemiskinan 0,28. Dengan kata lain, sekitar 28 persen populasi
tergolong miskin. Fenomena kemiskinan masyarakat pesisir, sungguh sangat
ironis. Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan yang
besar di kawasan pesisir. Paling tidak, potensi bernilai devisa 82 miliar dolar
AS dari laut bisa diperoleh setiap tahun. Sayang, potensi tersebut tidak dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Alhasil, devisa tidak diraih dan 4 juta nelayan
tetap hidup miskin. Data menunjukkan, lebih dari 60 persen penduduk miskin
berada di wilayah pesisir Nusantara. Sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 90
persen dari 16,2 juta nelayan di kawasan pasisir hidup di bawah garis
kemiskinan. Bangsa-bangsa lain justru yang memanfaatkan potensi tersebut lewat
kegiatan pencurian ikan yang berlangsung hingga saat ini. Krisis yang
berkepanjangan tengah melanda negara kita. Pembangunan yang tidak menjaga keseimbangan lingkungan terjadi
dan meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Alasan tersebut diperparah dengan
ketidakkonsistennya pemerintah dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Akibat dari ketidakacuhan
tersebut baru dapat dirasakan akhir akhir ini, ketika banyak terjadi abrasi
(pengikisan pantai) dan banjir bandang yang melanda berbagai daerah di negara ini.
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis
Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan
garis pantai sepanjang 81.000 Km2. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti
yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface)
antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi
biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya.
Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut
menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung
atau untuk meregulasipemanfaatannya karena secara sektoral memberikan
sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan,
kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan
ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa
ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.
Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di
beberapa daerah, baik di pulau
Jawa, Sumatera,
Sulawesi, maupun Papua telah berulangkali dilakukan (Rimbawan,
1995;
Sumarhani, 1995; Fauziah, 1999). Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang
dipeorleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya cukup besar, tersedia
tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup. abadi dengan manusia sebagai intinya dan partisipasi
merupakan perwujudan optimalnya. Keberdayaan masyarakat merupakan modal utama
masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan ditengah masyarakat
lainnya. Masyarakat pesisir yang sebagian besar merupakan masyarakat nelayan
memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan ini
sdikarenakan keterkaitannya yang erat dengan karakterstik ekonomi wilayah
pesisir, slatar belakang budaya dan ketersediaan sarana dan prasarana
penunjang.
Pada umumnya masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang
berorientasi selaras dengan alam, sehingga teknologi memanfaatkan sumberdaya
alam adalah teknologi adaptif dengan kondisi wilayah pesisir. kehidupan sosial
masyarakat pesisirnya tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat
pesisir lainnya yang ada di Indonesia, misalnya rendahnya pendidikan,
produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usaha,
kurangnya sarana penunjang buruknya mekanisme pasar dan lamanya transfer
teknologi dan komunikasi yang mengakibatkan pendapatan masyarakat pesisi,
khususnya nelayan pengolah menjadi tidak menentu.
Semakin kompleks dan kompetitif, nelayan pengolah dihadapkan
pada tantangan yang semakin besar dalam keterkaitan usaha nelayan dengan
berbagai aspek lingkungan yang mempengaruhinya serta persaingan dalam
pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya yang tersedia. Untuk itu diperlukan usaha
pemberdayaan nelayan pengolah untuk peningkatan kesejahteraan melalui
peningkatan pendapatan. Sumber daya alam masyarakat pesisir mempunyai potensi
yang sangat besar, namun terkadang masyarakat pesisir tidak mampu untuk
mengelolanya. Tidak semua masyarakat pesisir tidak mampu mengelola sumber
daya alam yang ada disekitarnya. Sebagian masyarakat pesisir yang mampu
mengelola sumber daya alamnya terkadang tidak dihargai. Kemiskinan dan
keterbelakangan masyarakat pesisir adalah lagu lama yang tak dapat dielakkan
disepanjang sejarah berdirinya republik Indonesia hingga bergulirnya era
reformasi, rintihan pilu masyarakat pesisir tidak jua kunjung reda. Semestinya
bangsa ini berbangga diri memiliki masyarakat yang rela mencurahkan hidup dan
matinya untuk mengelola sumber daya kemaritiman. Mengingat pembangunan
kemaritiman bagi bangsa ini merupakan modal besar dan peluang lebar untuk
menuju persaingan ekonomi global. Dengan memberdayakan masyarakat pesisir dari
kemiskinan dan keterbelakangan adalah langkah yang sangat mendasar dalam tahap
awal pembangunan kemaritiman.
Namun, pada kenyataannya langkah tersebut belum menunjukkan sinyal yang pasti.
Kurangnya akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarkat pesisir adalah suatu
pertanda bahwa nasib mereka masih berada dalam ketidak jelasan, sehingga
akibatnya sumber daya masyarakat (SDM) yang mereka miliki sangat minim dalam mengelola
kekayaan laut yang melimpah. Bukannya mereka tidak memiliki usaha yang keras
dan keinginan yang gigih dalam memajukan sosial-ekonominya. Tapi, karena
keterbatasan pendidikan, informasi dan teknologi yang membuat mereka harus
menerima apa adanya.
Dari sisnilah pentingnya perhatian berbagai pihak, baik itu konsultan
pemberdayaan, aktivis LSM, peneliti, politisi, dan khususnya para penentu
kebijakan untuk segera menguak nasib buram masyarakat pesisisir. Sebab, di akui
atau pun tidak keterpurukan masyarakat pesisir kurang begitu diwacanakan atau
dimunculkan kepermukaan, entah karena letak giografisnya yang terisolir, atau
karena tertutup oleh permasalahan-permaalahan aktual yang bersifat sementara,
sehingga berbagai pihak melupakan masyarakat yang terpinggirkan; masyarakat
yang telah lama menahan sakit berkepanjangan.
Kepedihan mayarakat pesisir yang diombang-ambing keadaan bangsa yang tidak
menentu, di mana pada kenyataannya mereka adalah korban dari kebusukan pikir
para pemimpin, hingga masyarakat pesisir harus menderita dalam waktu yang
berkepanjangan.. Masyarakat pesisir memiliki keinginan besar untuk terus
mengembangkan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi wilayahnya, namun untuk
mewujudkan keinginan tersebut terdapat berbagai hambatan besar yang diciptakan
dari kesalahan sejarah. Masyarakat pesisir saat ini tidak berposisi sebagai
penerima warisan, melainkan bagaimana mereka mencipta dan memberikan warisan
untuk anak cucu mereka kelak, seperti pembuatan jalan raya, fasilitas ekonomi
perikanan, fasilitas umum-sosial, dan seterusnya.
Realitas banyak terjadi diberbagai wilayah pesisir lainnya.
Kelemahan-kelemahan tersebut biasanya terletak pada terbatasnya sarana dan
prasarana ekonomi, rendahnya kualitas SDM, teknologi penangkapan ikan yang
terbatas kapasitasnya, akses mudal dan pasar produk ekonomi lokal yang
terbatas, tidak adanya kelembagaan sosial-ekomi yang dapat membangun masyarakat
dan belum adanya komitmen pembangunan kawasan pesisir secara terpadu.
Strategi Berangkat dari berbagai kelemahan masyarak pesisir itulah, menekankan
perlu adanya tujuan program pemberdayaan yang lebih menitik-beratkan pada upaya
memperkuat kedudukan dan fungsi kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat pesisir
untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan. Adapun ruang lingkupnya antara
lain,
(1)
memitakan sumber daya pembangunan wilayah yang dapat dijadikan basis data
perencanaan kebijakan pembanguanan dan investai ekonomi,
(2)
meningkatkan kemampuan manajemen organisasi dan kualitas wawasan para
pengurusnya,
(3)
mengembangkan produk unggulan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal,
seperti terasi, VOC ( Virgin Coconut Oil) yang higienis dan benilai jual
tinggi,
(4)
melaksanakan publikasi yang terencana dan tersturktur untuk masyarakat luas,
khususnya para pemangku kepentingan (stakeholders), sebagai sarana menjalin
kerjasama dengan institusi atau lembaga-lembaga lain dalam rangka menggalang
potensi sumber daya kolektif dalam membangun masyarakat pesisir.
Adapun fungsi dan pentingnya kelembagaan sosial-ekonomi
dalam pembangunan masyarakat pesisir adalah, sebagai wadah penampung harapan
dan pengelola aspirasi kepentingan pembangunan warga; menggalang seluruh
potensi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, sehingga kemampuan
kolektif, sumber daya, dan akses masyarakat meningkat; memperkuat solidaritas
dan kohesivitas, sehingga kemampuan gotong royong masyarakat meningkat;
memperbesar nilai tawar (bergaining position) dan; menumbuhkan tanggung jawab
kolektif masyarakat atas pembangunan yang direncanakan.
Wilayah yang didominasi lautan dan
keterhubungan antarpulau. Berarti, pilihan ekonomi nasional harus mencerminkan
karakter negara kelautan dan kepulauan. Jika ingin menyejahterakan dan
mengurangi angka kemiskinan, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
harus ikut terangkat. Pendekatan pembangunan pun harus komprehensif, jangan
hanya memberikan prioritas pada komunitas tertentu. Kebijakan yang hanya
memprioritaskan pembangunan kecukupan pangan, misalnya, tak bakal menyentuh masyarakat
pesisir. Memang, kebijakan sistematis dan berkelanjutan di bidang pangan hingga
meraih predikat swasembada pangan patut ditanggapi positif. Seharusnya
kebijakan yang sama berlaku pula di bidang yang lain, termasuk pada
pemberdayaan masyarakat pesisir. Kenyataan memperlihatkan, sejak Indonesia
merdeka, kantong-kantong kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
belum juga mendapat sentuhan pemerintah hingga perubahan signifikan pun tak
terjadi. Sarana-prasarana informasi yang minim, moda transportasi laut yang tak
memadai menjadi gambaran tentang perhatian pemerintah yang kurang terhadap
masyarakat pesisir.
Begitu pula, pengelolaan
kesejahteraan nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir yang masih buruk.
Sumber daya kelautan menjadi mata pencaharian masyarakat pesisir. Sudah
saatnya, pemerintah memberikan perhatian penuh pada subsektor perikanan.
Industri perikanan yang berkembang bisa menyerap banyak tenaga kerjar.
Hasil ikan juga merupakan komoditas ekspor dengan 100 persen bahan baku
dari dalam negeri.Sifat yang khas itu menyebabkan produk perikanan memiliki
keunggulan komparatif mutlak. Perikanan yang maju bakal meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir.
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di
Indonesia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang
sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang
panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu
diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan,
hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati
misalnya:mineral dan bahan tambang serta pariwisata.. sudah dimanfaatkan untuk
kegiatan pertanian khususnya usaha perkebunan.
Pulau-pulau ini sebagian besar ditutupi oleh air laut.
Fisiografi kepulauan mempengaruhi ekosistem-ekosistem yang terbentuk di kawasan
Kepulauan Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut
tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya
jenis-jenis karang batu dan algae berkapur.
Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang
bermacam-macam, yakni sebagai tempat hidup bagi berbagai biota laut tropis
lainnya sehingga terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat
tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam,
sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata,
selain itu juga dari segi ekologi terumbu karang berfungsi sebagai pelindung
pantai dari hempasan ombak.
Dengan kata lain, investasi pada
subsektor perikanan harus dirangsang lebih keras dengan berbagai kebijakan dan
insentif. Terlebih lagi, Indonesia masuk dalam 25 negara yang paling menarik
sebagai tujuan investasi asing langsung. Daya saingnya terus meningkat. Yang
jelas, produk perikanan tetap diminati, walaupun krisis ekonomi terus
berlanjut. Bila investasi berkembang, daya serap tenaga kerja bakal meningkat
pula. Wajar bila Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan,
Riza Damanik, mengatakan di Jakarta, Senin (6/7), kemiskinan dan pengangguran
dapat diatasi dengan pengenalan lebih dahulu pada karakteristik kewilayahan
Indonesia.
Usaha pemberdayaan, menurut Haque, et.al dalam Nikijuluw
(2000) adalah pembangunan. Menurut mereka pembangunan adalah collective
action yang berdampak pada individual welfare. Dengan kata
lain maka membangun adalah memberdayakan individu dan masyarakat. Memberdayakan
berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang ditingkatkan. Jadi
pemsberdayaan masyarakat
berarti
membangun collective personality of a society.
Kemiskinan yang
merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan
paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu
(1) kemiskinan struktural,
(2) kemiskinan
super-struktural,dan
(3) kemiskinan kultural.
Kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau
Variabel eksternal di luar individu.
Variabel-variabel tersebut adalah struktur sosial ekonomi masyarakat,
ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan
fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya
pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel
ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi
intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini makakemiskinan semakin
berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi,
hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Yang jelas bahwa keadaan
sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau di lingkup nelayan
menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka.
Kemiskinan
super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena
variabelvariabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada
pembangunan nelayan. Variabelvariabel superstruktur tersebut diantaranya
adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan
perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam
proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit
diatasi bilasaja tidak disertai keinginan dan kemauan secara tulus dari
pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena
kompetisi antar sektor, antar daerah, serta antar institusi yang membuat
sehingga adanya ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan
super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah, baik tingkat pusat
maupun daerah, memiliki komitmen khusus dalam bentuk tindakan-tindakan
yang bias bagi kepentingan masyarakat miskin.
Dengan kata
lain affirmative actions, perlu dilaksanakan oleh pemerintahpusat
maupun daerah. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan
karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan
menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk individu
bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak
diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel penyebab
kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya,
kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, sertaketaatan pada
panutan. Kemiskinan secara struktural ini sulit untuk diatasi. Umumnya
pengaruh panutan (patron) baik yang bersifat formal, informal,
maupun asli (indigenous) sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya
pengentasan kemiskinan kultural ini. Penelitian di beberapa
negara Asia yang masyarakatnya terdiri dari beberapa golongan agama
menunjukkan juga bahwa agama serta nilai-nilai kepercayaan masyarakat
memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap status sosial ekonomi
masyarakat dan keluarga. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat
kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan
karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristiksumberdaya serta
teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat
sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Smith (1979)
yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara
Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara
Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekauan aset perikanan(fixity
and rigidity of fishing assets) adalah asalan utama kenapa
nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak
ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut
adalah karena sifat asetperikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk
dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi
kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut
rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset
tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap
melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien
secara ekonomis.
Subade and
Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap
tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity costmereka. Opportunity cost nelayan, menurut
definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain
yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata
lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa
dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bilaopportunity
cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya
meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan
efisien. Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity
cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan
cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan
lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap
bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.
Panayotou
(1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena
kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way
of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan
Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki
kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan
berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan.
Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi
dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya.
B. BAGAIMANA KEMISKINAN PADA MSYARAKAT PESISIR
Kondisi Nelayan Indonesia
Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49
persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi
miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp.
19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak
berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’
sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan
ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari
perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan
memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi
bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar,
kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan.
Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah
pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang
diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,-
per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian
seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal
ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan
dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir
sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut.
Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang
miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin
pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi
tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering
terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan
ikan karang dengan cyanidemasih jauh lebih besar dari pendapatan
mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas,
sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan
masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
a. Analisa
Penyebab Kemiskinan Nelayan
Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat
multi dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang
menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Untuk kita, terlebih dahulu harus
diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan.
Secara umum, kemiskinan masyarakat
pesisir ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat,
antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses
terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang
cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah.
b. Kondisi
Alam
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan
terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang
selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang
selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin
membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan setiap
tahunnya.
2. Tingkat pendidikan nelayan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi
modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil
tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus
dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini
teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami
proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh
bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi
pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional
untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya
tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.
3. Pola kehidupan nelayan
sendiri
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering
dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika
dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh
pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk
memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan
budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin
semakin lemah
4. Pemasaran hasil tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan
(TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan
mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.
5. Program pemerintah yang
tidak memihak nelayan
Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang
merupakan momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama
pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10
liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan
biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100.
Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena
tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya
maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar
sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa
melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan.
Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa
orde baru, masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu,
tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal pelarangan
penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang
pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan sumber
daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan
hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya
terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi
ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak
lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai
segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing.
6. Perbedaan Hukum Antara Si Kaya dan Si Miskin
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang
tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok
dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok
tersebut. Kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari sudut ekonomi saja karena
kemiskinan ternyata berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek sosial
budaya, bahwa persoalan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan budaya. Dari
sudut ini, kita dapat melihat bahwa budaya turut ambil bagian dalam membuat
seseorang menjadi miskin.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab
kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi, yaitu :
§ Dimensi Ekonomi
Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis
kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
§ Dimensi Sosial dan Budaya
Kekurangan jaringan social dan struktur yang mendukung untuk
mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
§ Dimensi Sosial dan Politik
Rendahnya
derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem social politik.Di
dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa
orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi
miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada
dalam kehidupan manusia.
C. KERAJAAN
MARITIM DI INDONESIA
1.
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya pada dasarnya merupakan suatu kerajaan-pantai, sebuah negara
perniagaan dan negara yang berkuasa di laut. Kekuasaannya lebih disebabkan oleh
perdagangan internasional melalui Selat Malaka. Dengan demikian berhubungan
dengan jalur perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropah
yang sejak paling sedikit lima belas abad lamanya, mempunyai arti penting dalam
sejarah. Sriwijaya memang merupakan pusat perdagangan penting yang pertama pada
jalan ini Kemudian diganti oleh tempat tempat atau kota-kota yang lain dan yang
terakhir oleh kota Batavia (sekarang Jakarta) dan Singapura. Menurut berita
Cina, kita dapat menyimpulkan bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat
perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina yang terpenting.
Sriwijaya
adalah kerajaan maritim yang pernah tumbuh menjadi suatu kerajaan maritim
terbesar di Asia Tenggara.Keberadaan Sriwijaya dapat dilacak dari berita
Tionghoa yang menyebutkan bahwa di Sumatra pada abad ke-7 sudah ada beberapa
kerajaan antara lain Tolang-po-hwa ( Tulangbawang di Sumatra Selatan ),
Molo-yeu ( Melayu di Jambi ), Ki-li-p’i-che atau Che-lifo-che ( Criwijaya ).
Berita ini diperkuat oleh seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-tsing
dalam tahun 671 berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya selama
enam bulan, untuk belajar tata bahasa Sansekerta. Kemudian ia singgah di Malaka
selama dua bulan, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke India untuk tinggal
selama sepuluh tahun. Pada tahun 685 ia kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama
empat tahun untuk menterjemahkan berbagai kitab suci Budha dari bahasa
Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. Ini membuktikan bahwa betapa pentingnya
Sriwijaya sebagai pusat untuk mempelajari Mahayana. Dari I-Tsing ini dapat kita
ketahui bahwa Sriwijaya disamping sebagai pusat perdagangan dan pelayaran juga
menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Budha. Seorang guru terkenal yang bernama
Sakyakirti, pendeta yang hendak ke India dianjurkan untuk lebih dahulu belajar
ke Sriwijaya sekitar satu dua tahun.
Menurut
Coedes, dia memandang bahwat ada hubungannya antara perkembangan kerajaan
Sriwijaya dengan ekspansi agama Islam dalam periode permulaan. Sebagai akibat
dari penaklukan oleh bangsa Arab di Timur-Tengah seperti negeri Arab, Suriah,
Mesir dan Mesopotamia, maka jalan laut melalui Asia Selatan menjadi jalan
perdagangan biasa yang menggantikan jalan darat. Kerajaan-kerajaan ini
menjadi pendorong kemajuan lalu-lintas laut di Asia Tenggara yang maha-besar.
Kondisi kemajuan lalu lintas laut ini membuat kerajaan Sriwijaya memperoleh
keuntungan cukup besar. Berdasarkan prasasti kota kapur Sriwijaya adalah sebuah
nama kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusat di Palembang, dekat sungai Musi.
Prasasti yang ditemukan pada umumnya berasal dari abad ke-7 atau ke-8, yaitu
masa awal tumbuhnya Sriwijaya sebagai suatu kekuatan. Dari prasasti itu timbul
kesan bahwa masa itu adalah masa penaklukan di mana tentara Sriwijaya bergerak
di seluruh negeri dalam suatu usaha pasifikasi.Tentang ibukota
Sriwijaya dikatakan bahwa letaknya di tepi air,penduduknya terpencar di luar
kota, atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratapkan alang-alang. Jika sang
raja keluar, ia naik perahu dengan dilindungi payung sutera dan diiringi dengan
orang-orang yang membawa tombak emas. Tentaranya sangat baik dan tangkas dalam
peperangan, baik di darat maupun di air, keberaniannya tidak ada bandingnya.
Adapun I-Tsing berpendapat bahwa Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Di
Daerah ini ditemukan bangunan stupa (di Muara Takus) yang sangat mungkin
berasal dari abad ke-7. Tempat yang menurut pandangan I-Tsing adalah Palembang
karena dipandang penting dalam sejarah terutama sebagai pusat ziarah pemeluk
agama Budha. Di Telaga Batu banyak didapatkan batu-batu yang bertulisan
Siddhayatra atau perjalanan suci yang berhasil, dan dari bukit Seguntang di
sebelah barat Palembang didapatkan sebuah arca Budha dari batu yang besar
sekali dan yang berasal dari sekitar abad ke-6.
Letak
geografis Sriwijaya yang berhasil menguasai daerah strategis merupakan suatu
modal yang baik untuk turut serta dalam perdagangan internasional yang mulai
berkembang antara India dengan daratan Asia Tenggara. Berita Cina menyebutkan
bahwa adat di Kan-t-o-li sama dengan adat di Kamboja dan Campa. Ini berarti
bahwa bagi orang-orang Cina, keadaan di ketiga tempat tadi sama. Besar
kemungkinan dunia perdagangan di Sumatera sejak semula telah terlibat langsung
dengan perdagangan di India. Letak Selat Malaka mengundang perdagangan di
daratan Asia Tenggara untuk meluas ke Selatan. Pada saat negeri Cina terbuka
untuk hasil Asia Tenggara, suatu hal yang baru terjadi setelah perdagangan
dengan India berkembang, yaitu penduduk Sumatera khususnya di pantai
Timur, bukan awam lagi dalam perdagangan Internasional.
c.
Hubungan Perdagangan,
Ekspansi, dan Konflik
Politik
ekspansi untuk mengembangkan sayap dan menaklukkan kerajaan lain di Sumatra
dilakukan Sriwijaya secara intensif pada abad ke-7, yaitu pada tahun 690 M.
Kenyataan ini diperkuat dengan adanya prasasti dari kerajaan Sriwijaya, yang
semuanya ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa Melayu kuno. Prasasti
Kedukan Bukit (dekat Palembang), berangka tahun 680 M menceritakan tentang
kemenangan penaklukkan beberapa daerah dan kemakmuran Sriwijaya. Menurut Boechori,
prasasti ini digunakan untuk memperingati usaha penaklukan daerah sekitar
Palembang oleh Dapunta Hyang dan pendirian ibu kota baru yang kedua di tempat
ini. Dari beberapa prasasti yang ditemukan menunjukkan, Sriwijaya telah
meluaskan daerah kekuasaannya mulai dari daerah Melayu di sekitar Jambi
sekarang sampai di pulau Bangka dan daerah Lampung Selatan dalam tahun 686,
serta usaha menaklukkan pulau Jawa yang menjadi saingannya dalam bidang
Pelayaran dan perdagangan. Penaklukkan Pulau Bangka diduga erat berhubungan
dengan penguasaan perdagangan dan Pelayaran Internasional di Selat Malaka.
Dengan dikuasainya negara-negara di sekitar pulau Bangka, maka Sriwijaya
sepenuhnya dapat menguasai lalu lintasperdagangan dan pelayaran dari
negara-negara Barat ke China. Sebaliknya, perahu-perahu asing terpaksa harus
berlayar melalui Selat Malaka dan Selat Bangka yang dikuasai oleh Sriwijaya.
Keuntungan Sriwijaya dari perahu asing berlimpah-limpah. Kecuali keuntungan
dari penarikan bea-cukai, Sriwijaya masih memperoleh keuntunga lain dari perdagangan.
Dari pernyataan I-Tsing terlihat bahwa kapal asing itu datang di Kedah dan
Melayu pada waktu-waktu tertentu. Mereka tinggal di kedua tempat itu selama beberapa
lamanya sambil menunggu datangnya angin baik, baru melanjutkan perjalanan ke
tempat tujuannya masing-masing. Selama tinggal di Pelabuhan, kapal dagang itu
berkesempatan membongkar dan memuat barang dagangan. Sementara itu dari daerah
Sriwijaya sendiri dihasilkan penyu, gading, emas, perak, kemenyan, kapur barus,
damar, lada, dan lain-lain. Barang dagangan tadi dibeli oleh pedagang asing
atau ditukar dengan porselin, kain katun, dan kain sutera . Kapal-kapal yang
melalui Selat Malaka singgah dulu di pelabuhan untuk mengambil air minum dan
barang perbekalan lainnya. Beberapa pelabuhan di pantai selat ini penting
artinya sebagai pelabuhan perbekalan. Oleh karena itu, Sriwijaya berusaha
memonopoli dan menguasai daerah pesisir di kedua belah pantai Selat Malaka.
Usaha yang dilakukan Sriwijaya adalah menaklukkan beberapa daerah seperti
Jambi, Lampung, Semenanjung Malaka, tanah genting Kra, dan pulau Sailanpun
diduduki oleh Sriwijaya setelah berperang dengan raja Cola (India) dalam abad
ke-11.
Sebelumnya yaitu pada tahun 767
Sriwijaya berhasil menundukkan Tonkin (Indochina, di Hindia Belakang), dan
diperkirakan penguasaan Sriwijaya sampai ke Malagasi. Sebagai kerajaan Maritim,
Sriwijaya menggunakan politik laut yaitu dengan mewajibkan kapal-kapal untuk singgah
di pelabuhannya. Politik Sriwijaya ini dikenal dengan menggunakan model
“paksaan menimbun barang”. Disamping itu raja Sriwijaya juga mempunyai
kapal-kapal sendiri. Dengan demikian harta Benda raja serta kaum
bangsawan berasal dari perdagangan sendiri, bea-bea yang dipungut dari
perdagangan yang melalui kerajaan, dari rampasan hasil peperangan, dan
pembajakan lautPada abad ke-13 posisi Sriwijaya sebagai kerajaan Maritim masih
cukup kuat. Hal ini dibuktikan dengan adanya buku“Chu-fan-chi“ yang ditulis tahun
1225 oleh Chau-ju-kua. Buku itu menceritakan bahwa di Asia Tenggara ada dua
kerajaan yang terkemuka dan kaya, pertama ialah Jawa dan yang kedua ialah
Sriwijaya. Tentang Sriwijaya dikatakan oleh Chou-ju-kua, bahwa Kien-pi ( Kampe
di Sumatra Utara) dengan kekuatan senjata telah melepaskan diri dari Criwijaya,
dan telah pula mengangkat rajanya sendiri, termasuk sebagian dari Jazirah
Malaka. Meskipun demikian Sriwijaya masih merupakan kerajaan yang menguasai
bagian Barat kepulauan Indonesia dan tidak kurang dari lima belas negeri fasal
San-fo-tsi (Sriwijaya). Wilayahnya meliputi Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong
(Trengganau), Ling-ya-ssi-ka (Lengkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an ( ?
), Ji-lu-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai ( ? ), Pa-ta’ (Batak),Tan-ma-ling (Tamralingga,
Ligor), Kia-lo-hi (Grahi di Utara Semenanjung Malaka), Pa-linfon (Palembang), Sin- t’o
(Sunda), La-wu-li (Lamuri, Aceh), Si-lan (Sailan ?), termasuk negara Sunda di
Jawa Barat, Nilakant. Meskipun demikian padapermulaan abad ke-13 Sriwijaya masih
merupakan kekuatan besar. Chau-ju-kua tidak memasukkan Melayu dan Jambi ke
dalam daftarnya.
Dari
daftar ini jelaslah, bahwa Sriwijaya dalam permulaan abad ke-13 masih tetap
menguasai sebagian besar Sumatra, Jazirah Malaka dan bagian barat pulau Jawa (Sunda).Pada
abad ke-13 ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa Sriwijaya masih mengawasi
kedua Selat Malaka dan Sunda. Belum sampai putus pengawasannya, kekuasaan
Sriwijaya telah musnah. Catatan Chou-ju-kua tentang ibu kota Sriwijaya
merupakan semacam tipe kota air penuh anak sungai, penduduk bertempat tinggal
di kapal atau rumah-rumah yang dibangun di atas rakit seperti Mrohaung, kota
tua Arakan, Bangkok sekarang dan banyak kota-kota tua yang lain yang sama
dengan zaman Funan. Tetapi berdasarkan catatan Cina menyebutkan bahwa Palembang
tidak lama menjalankan pengawasan ketat atas daerah-daerah yang ada dibawah
kekuasaannya seperti pernah dilakukan dulu. Kampar di pantai timur Sumatra
telah mengangkat rajanya sendiri dan bahkan Jambi telah mengirim utusannya
sendiri ke Cina. Chou-ju-kua tidak memasukan Jambi ke dalam daftar
daerah-daerah yang ada dibawah kekuasaan San-fot-si. Cukup aneh, Palembang
sendiri termasuk dalam daftar itu. Karena itu timbul masalah apakah pada waktu
itu pusat kekuasaan Sriwijaya bukan lagi di Palembang melainkan di Jambi.Demikian
jelasnya Sriwijaya, sehingga mempunyai kekuasaan yang cukup luas mulai
ke arah Selat Malaka hingga Selat Sunda. Sriwijaya berusaha mempertahankan
hegemoni perdagangan atas Indonesia, dengan mengawasi dan menguasai kedua Selat
itu, yang harus dilalui oleh semua perjalanan laut antara India dan Cina.
Perkembangan
navigasi Arab, dan perdagangan antara India dan Cina, bersama-sama memberikan
arti penting baru bagi selat itu. Di sini, Sriwijaya menjadi pelabuhan yang
wajar bila disinggahi oleh kapal-kapal dari Cina pada musim timur laut. Rupanya
pada waktu inilah, berkembang perdagangan lautan sekaligus dalam mempertahankan
hubungan teraturnya dengan India dan Cina. I-sting mengatakan bahwa berlayar
dari Cina ke Sriwijaya dengan kapal saudagar Persia, maka pelayaran lanjutannya
ke India dengan kapal Raja Sriwijaya. Untuk itu rupanya beralasan hipotesa yang
mengatakan bahwa prasasti tahun 683 dan 686 menunjukan pada babakan penting
tertentu dalam usaha Raja Jayanasa (atau Jayanaga ), menaklukan Melayu dan
mungkin juga Taruma, dan pencipta politik yang membuat Palembang sampai abad
XIII menjadi pusat kekuatan kerajaan maritim di pulau-pulau itu. Banyak utusan
yang dikirim dari Sriwijaya dan Jawa ke Tiongkok, misalnya dalam abad ke-7 dari
Sriwijaya dan dalam abad ke-8 dari Jawa. Utusan-utusan ini membawa
barang-barang yang berharga ke Tiongkok sebagai tanda kebaktian atau upeti.
Kaisar Tiongkok juga sebaliknya memberi barang-barang yang cukup mewah. Selain
itu utusan-utusan dari Indonesia diberi kesempatan berniaga. Kemudian
utusan-utusan tadi diikuti oleh saudagar-saudagar swasta. Penulis sejarah
bangsa Tionghoa mengerti, bahwa penyampaian upeti itu berlangsung karena ada
keuntungan.
Pada
tahun 1443 Gubernur Canton melaporkan, bahwa utusan Indonesia memakan biaya
negara terlalu banyak, sehingga Kaisar Tiongkok memberi toleransi kepada
Sriwijaya untuk menyampaikan upeti cukup satu kali dalam setahun. Kelangsungan
kerajaan Sriwijaya lebih tergantung dari pola perdagangan yang berkembang,
sedangkan pola-pola tertentu tidak sepenuhnya dapat dikuasinya. Terbukti ketika
orang Cina mulai ikut berdagang di kawasan Selatan, peranan Sriwijaya berkurang
sebagai pangkalan utama perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina. Peranan
ini semakin berkurang hingga Cina membawa sendiri keperluan mereka ke
negerinya. Tempat-tempat penghasil barang dagangan yang semula mengumpulkan
barang dagangan mereka ke pelabuhan di daerah kekuasaan Sriwijaya, tidak perlu
lagi berbuat demikian karena para pedagang Cina menyinggahi pelabuhan-pelabuhan
mereka. Pada Abad XII daerah-daerah taklukan Sriwijaya di sepanjang pesisir
selat Malaka, mulai bertindak sebagai negeri yang langsung memberikan upeti
kepada negeri Cina. Kemunduran Sriwijaya juga disebabkan oleh timbulnya
bentrokan dengankerajaan Mataram Jawa Timur pada abad X. Dengan demikian
menjadi jelas bahwa posisi Sriwijaya tidaklah sama kedudukannya di Asia
Tenggara dengan satu dua abad sebelumnya. Kerajaan lain di Indonesia mulai
berusaha memperoleh hegemoni yang berada di tangan Sriwijaya.
Meskipun
demikian pad abad XIII Sriwijaya masih dapat berkembang sebagai pusat
perdagangan dan pelayaran yang besar dan kuat, serta menguasai bagian besar
Sumatera, Semenanjung tanah Melayu, dan sebagian Jawa Barat. Bahkan kerajaan
ini menguasai laut dan mengawasi lalu lintas pelayaran asing diSelat Malaka.
Jika ada kapal melalui Selat Malaka tanpa singgah, lalu diserang dan semua
penumpangnya dibunuh . Kerja sama dengan Cola pada awalnya berjalan dengan
baik. Sebagai contoh Raja Balaputra dari Sriwijaya membangun di Negapatam di
pantai Coromandel, sebuah candi Bhudda yang diberi nama Vihara
Chulamaniwarmadewa. Raja Chola menghadiahkan hasil pajak tahunan sebuah desa
besar untuk memeliharanya. Seperti pemberian Nalanda sebelumnya yang di
Negapatam dibangun untuk melengkapi sebuah tempat bagi saudagar Sriwijaya yang
berdiam dan memuja menurut kepercayaan agama mereka sendiri. Ini membuktikan pentingnya
hubungan dagang antara Palembang dan Pantai Coromandel, yang membawa
perkembangan perdagangan barang kelontong India di Asia Tenggara.Dalam
memberikan hadiah yang berupa uang, raja-raja Negapatam menyatakam bahwa Raja
Sriwijaya itu termasuk keluarga Sailendra. Sayangnya tidak ada sebuah catatan
pun yang tersisa pada masa pemerintahannya meskipun kerajaan tersebut berada
dalam puncak kekuasaan dan prestise. Justru informasi yang berkaitan dengan
nama raja-raja diketahui dari sumber. Jadi orang Cina mencatat utusan yang
diterima tahun 1008 dari putera Chulamaniwarmadewa, Maravijayottunggawarman,
tetapi tidak menyebut tahun kematian ayahnya. Darisumber luar lain juga datang
informasi yang menarik bahwa Sriwijaya masih tetap Budha yang terkenal Atisa.
Riwayat hidup Atisa di Tibet menyebut Sumatra menjadi pusat terbesar agama
Budha dan Dharmakirti merupakan sarjana terbesar masa itu.
2. Sriwijaya
dan Jawa
Usaha
Sriwijaya untuk menaklukkan bumi Jawa dapat pula ditafsirkan sebagai
usaha
memasukkan Selat Sunda, ke dalam kekuasaan Sriwijaya. Dalam hubungannya dengan
Jawa, Sriwijaya berusaha untuk menundukkan ‘Bhumi Jawa’. Diperkirakan Bhumi
Jawa yang akan ditundukkannya adalah Tarumanegara. Meskipun dari Jawa Barat
sendiri tidak ada keterangan dari abad ke-7 ini. Namun, menurut berita
Tionghoa, To-lo-mo (Taruma Negara) dalam tahun 669 masih mengirimkan utusannya
ke Tiongkok. Saingan antara kedua negara itu sudah wajar terjadi, mengingat
masing-masing ingin menguasai laut sekitar pulau Bangka yang menjadi simpang
tiga jalan pelayaran antara Indonesia-Tiongkok-India. Alasan inilah yang
membuat Sriwijaya terdorong untuk merebut Palembang dan Jambi, dua pelabuhan
laut penting yang terletak di sisi barat jalan pelayaran. Di samping itu
Sriwijaya merebut Bangka yang juga merupakan kunci simpang tiga. Penaklukkan terhadap Bhumi Jawa termuat dalam
prasasti Kota kapur yang berangka tahun 686 Masehi. Salah satu isinya adalah
mengenai usaha Sriwijaya untuk menaklukkan Bhumi Jawa yang tidak tunduk kepada
Sriwijaya. Menurut G. Coedes, prasasti ini dibuat pada saat tentara Sriwijaya
baru saja berangkat untuk berperang melawan Jawa yaitu kerajaan Taruma. Tetapi
Bochari berpendapat lain bahwa prasasti kota Kapur dikeluarkan setelah tentara
Sriwijaya kembali dari usahanya menaklukkan daerah Lampung Selatan
Sulaeman
mendukung pendapat Coedes, dia menduga bahwa melihat persaingan yang
terus-menerus antara Sriwijaya dan Jawa, maka prasasti itu merupakan bukti
usaha Sriwijaya untuk pertama kalinya menundukkan Jawa yang sudah ada sejak
abad V. Perebutan peran antara Sriwjaya dan Jawa juga terjadi pada masa
Marawijayotunggawarman. Dia tidak mau mengakui kekuasaan Dharmawangsa, dan ia
mengikuti jejak Balaputradewa dengan mencari persahabatan dengan Kerajaan
Colamandala (India). Pada tahun 1275 “Pamaluyu“ dimulai, yaitu suatu ekspedisi
perang dari Jawa Timur ke Sumatra dengan membawa panji-panji merah dan putih.
Angkatan perang ini bertolak dari Tuban. Sebagai hasil dari ekspedisi ini, maka
kita dapati dalam tahun 1286 sebuah negara Melayu yang takluk kepada kerajaan
Jawa, yang lambat laun mengalahkan Sriwijaya. Pada tahun 1300 Sriwijaya
kehilangan tanah genting Kra yang direbut oleh raja Siam.17 Konflik
Sriwijaya dan Jawa pada abad ke-10 pernah menempatkan Sriwijaya dalam bahaya
besar hingga tahun 1006. Dharmawangsa memandang Sriwijaya perlu diwaspadai dan
diserang. Ancaman ini tidak membuat gentar Sriwjaya, bahkan dia juga membalas
serangan dengan menghancurkan keratonnya dan mengakibatkan kematian
Dharmawangsa. Kerajaan Jawa Timur laut sementara lenyap. Tempatnya diambil oleh
sejumlah para pemimpin perang, yang masing-masing menjadi unggul di daerahnya
sendiri. Duta Sriwijaya yang muncul di Istana Kaisar tahun 988 dan kembali
tahun 990, mendengar ketika tiba di
Canton bahwa negrinya sedang diserang oleh orang-orang Jawa. Setelah menunggu
satu tahun di Canton, ia berlayar pulang. Tetapi ketika tiba di Champa
mendengar kabar buruk dan ia kembali lagi ke Cina minta dikeluarkannya
pernyataan atau dekrit yang menempatkan negrinya dibawah pengawasan kaisar.
Pada tahun 992 pasukan Jawa muncul sebelum kaisar mengeluh tentang perang yang
berkelanjutan di San-fo-tsi. Perang itu dikobarkan oleh Dharmawangsa pada abad
ke-11. Raja Jawa Timur mempunyai tujuan menghancurkan Sriwijaya dan membuat
Jawa berkuasa di pulau itu.
Sedikit
sekali diketahui tentang peperangan tersebut, meskipun mungkin Nampak untuk
beberapa tahun serangan orang Jawa itu membuat Palembang dalam keadaan bahaya
maut. Tetapi mereka dapat dipukul mundur. Kemudian diduga, Sriwijaya dibantu
raja-raja bawahannya dari Semenanjung Melayu, menyusun serangan balasan
besar-besaran dan membakar keraton Dharmawangsa. Ia sendiri terbunuh dan
kerajaannya hancur. Keberhasilan Sriwijaya dalam peperangan yang panjang dengan
Dharmawangsa karena hubungan baik bersahabat dengan Cina disatu pihak dan
dengan Chola di India dipihak lain. Jika tidak ada bantuan, maka serangan Jawa
hasilnya tentu akan berbeda. Dalam mengirimkan upeti ke Cina tahun 1003 Raja
Criwijaya mengumumkan bahwa beliau telah mendirikan candi Budha untuk mendoakan
kehidupan Kaisar.
Dari peninggalan budaya Sriwijaya menunjukkan
ada hubungan yang erat antara Sriwijaya dengan Kerajaan Sailendra. Diperkirakan
kesenian Sailendra sejak balaputradewa telah dibawa dan dikembangkan di
Sriwijaya. Selain itu, di gunung tua (Padang Sidempuan ) ditemukan arca
perunggu yang langgamnya sesuai benar dengan langgam Jawa Tengah. Pada lapiknya
ada tulisan yang menyatakan bahwa arca itu dibuat oleh Mpu Surya pada tahun
1024.19 Tentang Sunda diceritakan lebih lanjut, bahwa bandarnya baik sekali,
ladanya dari jenis yang paling baik, rakyatnya bertani dan rumahnya bertonggak.
Sayang bahwa disana banyak perampok, sehingga perdagangan tidak lancar.
Chau-ju-kua mengatakan bahwa Sunda pemerintahannya tidak teratur dan banyak
penduduk yang menjadi bajak laut, sehingga menyebabkan tidak ada kapal dagang
yang berani berlabuh di sana. Semua perdagangan antara Tiongkok dan India harus
melalui San-fo-tsi, negeri penguasa selat Malaka yang tidak ada saingannya.
Sebagai akibat penguasaan selat Malaka yang menghubungkan tidak saja India dan
Tiongkok, tetapi juga negeri-negeri barat, maka San-fo-tsi memiliki potensi
ekonomi yang cukup besar. Chau-ju-kua juga menyebut Sho-po dan Suki-tan yang
oleh Hirth dan Rockhill diidentifikasikan dengan Jawa dan Jawa Tengah. Di
antara negeri-negeri yang tunduk pada Su-ki-tan ialah Huang-ma-chu dan Niu-lun
yang ditempatkannya di Maluku. Di samping itu mereka menafsirkan Si-lung
sebagai Seran, Ji-li-hu sebagai Jailolo dan Tan-yu sebagai Ternate. Alasan
mereka menempatkan nama-nama itu di Maluku, ialah berita yan menyebutkan bahwa
makanan penduduknya ialah “sha-hu” yang berupa tepung, yang diambil dari bagian
dalam dari pohon tua.
d. Tradisi Diplomasi dan Pola Pengamanan
Tidak
dapat dipungkiri bahwa Sriwijaya sebagai sebuah negara maritim yang besar telah
mengembangkan ciri-ciri yang khas, yaitu mengembangkan suatu tradisi diplomasi
yang menyebabkan kerajaan tersebut lebih metropolitan sifatnya. Dalam upaya
mempertahankan peranannya sebagai negara berdagang, Sriwijaya lebih memerlukan
kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisioner dari pada negar
agraris. 22 Hal ini didukung dengan letaknya yang strategis, yaitu pada jalan
perhubungan laut India–Tiongkok. Ini menunjukkanbahwa posisi Sriwijaya jauh
lebih lebih baik dari pada kedudukan pulau Jawa yang agak memojok.
Berita-berita dari Tiongkok yang paling tua menceritakan hal Sumatra, akan
tetapi tak memuat apa-apa tentang pulau Jawa. Sebelum kerajaan Jawa
mengembangkan kekuasaannya, maka Sriwijaya adalah Negara yang utama di
Indonesia. Adapun pola perdagangan Kerajaan Sriwijaya mempunyai sifat yang sama
dengan perdagangan kuno di negeri yang lain . Dalam bentuk hubungan luar
negeri, terlihat bahwa hubungan dengan Cina cukup dominan dan intensif. Dari
data yang ada menunjukkan pada abad V Sriwijaya yang dulu ditafsirkan
Kan-t-o-li telah mengirimkan utusan ke Cina sejak abad V hingga pertengahan
abad VI. Pada abad berikutnya Sriwijaya juga sering mengirimkan utusan ke
negeri Cina. Selain dengan Cina, Sriwijaya juga menjalin persahabatan dengan
Bengala dan Cola pada abad IX hingga abad XI. Bentuk hubungan Sriwijaya
dilakukan secara aktif, sehingga dampak dari hubungan ini adalah menjadikan
Sriwijaya sebagai pusat pengajaran agama Budha. Pada abad ke-11 dengan bantuan
raja Cola, Sriwijaya berhasil mengembalikan kewibawaan Sriwijaya atas jazirah
Malaka, sehingga ia disebut “raja Kataha, yaitu raja Kedah di Malaya dan
Sriwijaya“. Setelah jalan pelayaran ke negeri Tiongkok semakin dikenal dan dikembangkan,
maka letak geografis pantai timur pulau Sumatra menjadi bertambah penting.
Hegemoni di bagian barat kepulauan Indonesia, mulai menjadi incaran para raja
dan para penguasa setempat yang ingin menguasai kedudukan yang amat strategis
itu. Di dalam sejarah Indonesia, kekuatan pertama yang berhasil menguasai
daerah selat Malaka yang memegang kunci pelayaran perdagangan baik ke negeri
Tiongkok maupun ke negeri– negeri barat, adalah kerajaan Sriwijaya.
Penguasaannya atas daerah Tanah Genting Kra di Semenanjung Melayu bukan hanya
dimaksudkan untuk mengendalikan lalu lintas laut yang keluar masuk selat Malaka
saja, tetapi juga ditujukan untuk menguasai penyeberangan darat yang melintas
melalui Tanah Genting Kra. Sriwijaya mengandalkan pada sektor perdagangan dan
pelayaran. Dengan demikian jika suatu negara hidup dari perdagangan, berarti
penguasanya harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan tempat barang
ditimbun untuk diperdagangkan. Penguasan jalur perdagangan dan pelabuhan ini
dengan sendirinya memerlukan pengawasan langsung dari penguasa. Sriwijaya
tumbuh karena memang di sekitar area itu tidak ada alternatif lain. Berkat
armadanya yang kuat ia berhasil menguasai daerah yang potensial dapat menjadi
saingannya. Dengan cara ini ia menyalurkan barang dagangannya ke pelabuhan yang
dikuasainya.
Perdagangan
dengan Cina dan India telah memberikan keuntungan besar kepada Sriwijaya.
Kerajaan ini telah berhasil mengumpulkan kekayaan yang besar. Raja Sriwijaya
termashur karena kekayaannya, sehingga kekayaan kerajaan itu suatu hal yang
banyak dipercakapkan banyak orang. Selain itu untuk menjamin perdagangan di
wilayahnya juga memenuhi kewajibannya kepada mereka yang berdagang dengannya,
yaitu memastikan jalur pelayarannya aman dari bajak laut. Sampai abad ke-10,
Sriwijaya mampu mengatasi gangguan keamanan sehingga tidak ada keluhan
berkaitan dengan bajak laut. Pola pengamanan yang dilakukan adalah memasukkan
kepala bajak laut dalam ikatan dengan kerajaan. Mereka mendapatkan bagian yang
ditentukan oleh raja dari hasil perdagangan. Dengan demikian mereka menjadi
bagian dari organisasi perdagangan kerajaan. Cara ini menjadikan bajak laut
sebagai pengaman jalur-jalur pelayaran. Metode ini efektif bila raja mempunyai
kewibawaan riil, dan ini dimiliki oleh Sriwijaya. Kewibawan yang dimiliki
antara lain adalah hasil diplomasinya dengan Cina (halaman 78). Sriwijaya
merupakan sebuah negara yang mengirim upeti ke negara Cina, sehingga Cina
berkewajiban memberi perlindungan jika diperlukan. Hubungan dengan Cina tersebut
tentu disebarluaskan dan menjadi suatu faktor pencegah keinginan merugikan
Sriwijaya oleh negara-negar lain, khususnya di Asia Tenggara. Walaupun hal ini
tidak dapat mencegah serangan dari raja Cola. Untuk kepentingan perdagangan,
Sriwijaya tidak keberatan mengakui Cina sebagai negara yang berhak menerima
upeti. Ini adalah sebagian usaha diplomatiknya untuk menjamin agar Cina tidak
membuka perdagangan lain dengan negara lain di Asia Tenggara, sehingga akan
merugikan perdagangan Asia Tenggara. Demikian baiknya kedudukan Sriwijaya dalam
perdagangan dengan Cina hingga melalui perutusannya ia dapat mengusulkan
beberapa perubahan terhadap perlakuan para pejabat perdagangan Cina di Kanton
terhadap barang barang Sriwijaya yang dirasakan merugikan. Sementara itu Sriwijaya tetap menjadi pusat
agama Budha yang mempunyai nilai Internasional. Dari tahun 1011 M hingga tahun
1023 M di Sriwijaya telah tinggal seorang bhiksu dari Tibet bernama Atica,
untuk menimba ilmu. Dari raja Sriwijaya ia diberi hadiah sebuah kitab agama
Budha. Di ibu kota Sriwijaya terdapat lebih dari seribu pendeta Budha, dimana
aturan dan upacara mereka sama dengan yang ada di India. Pelayaran teratur
antara Sriwijaya dengan pulau-pulau Indonesia dilakukan antara Malaka dan Anam.
Di samping itu Sriwijaya juga menyelenggarakan pelayaran ke India. Pada masa
itu, pelayaran hanya dilakukan di dalam wilayah Indonesia saja, yaitu dari
Maluku ke Malaka, suatu prestasi yang besar, karena jaraknya cukup panjang
yaitu seperdelapan dari lingkaran bumi. Hingga permulaan abad XI kerajaan
Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Budha yang bertaraf
internasional. Raja Sri Cudamaniwarman yang masih keturunan raja Sailendra
dalam menghadapi ancaman di Asia Tenggara menjalin persahabatan dengan Cina dan
Cola. Pada tahun 1003, raja tersebut mengirim dua utusan ke Cina untuk membawa
upeti. Adapun hubungan persahabatan antara Sriwijaya dengan Cola tidak
berlangsung lama, terbukti pada tahun 1017 raja Cola menyerang Sriwijaya. Pada
serangan yang kedua, raja Rajendracola pada tahun 1825 raja Sriwijaya dapat
ditawan oleh tentara Cola. Meskipun demikian Sriwijaya tidak menjadi daerah
jajahan kerajaan Cola. Serangan dari raja Cola tidak membuat Sriwijaya jatuh,
bahkan sebaliknya, mampu membangun kembali negara agar menjadi besar. Kebesaran
Sriwijaya dibuktikan dengan adanya bangunan suci di Jambi yang mungkin lebih
besar dari Borobudur, tetapi yang tinggal hanyalah sebuah stupa dan
makara-makaranya. saja, salah satu diantaranya memuat angka tahun 1064. Menilik
corak dan bentuk stupa dan makaranya, cenderung serupa dengan apa yang terdapat
di Jawa Tengah Selatan.
e. Masa Akhir Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya mulai merosot beberapa waktu sesudah abad ke-14. Pada tahun 1125
kerajaan ini masih menguasai daerah Palembang, Malaka, Sailan dan Sunda (Jawa
Barat). Setelah itu timbul persengketaan dengan raja di Chola (di pantai
Coromandel di India Selatan) yang mengejar kekuasaan laut di Teluk Benggala.
Pada akhir abad ke-13 pergulatan antara Sriwijaya dengan Jawa Timur mengenai
kekuasaan di Indonesia mulai berkobar. Sebelum itu Sriwijaya hanya bergerak dan
berkuasa di Indonesia sebelah barat dan Jawa Timur hanya mementingkan kepulauan
sebelah Timur. Pada kurang lebih tahun 1325 peranan Sriwijaya sebagai suatu
pusat internasional sudah berakhir. Bahkan ditahun 1365 kerajaan ini menjadi
daerahtakluk dari Jawa. Pada tahun 1377 ia mencoba memberontak, akan tetapi
didera oleh suatu armada Jawa sehingga tidak berdaya lagi, lalu menjadi miskin.
Sesudah tahun 1377 timbullah kekacauan sehingga pasukan-pasukan Jawa tak dapat
bertahan di sana. Daerah itu ditinggalkan tak terurus, sehingga orang-orang
Tionghoa yang berada di sana merebut kekuasaan pemerintahan. Seorang panglima
bangsa Tionghoa, yang bertahun-tahun lamanya hidup mengembara di laut, lalu
menempati negeri tadi dengan beberapa ribu orang Tionghoa pengikutnya sebagai
kepala negeri. Sriwijaya menjadi negara Tionghoa kecil yang sebenarnya hanya
merupakan suatu sarang perompak. Demikianlah keadaannya pada kurang lebih tahun
1400, dan ini pulalah akhir riwayat kerajaan Sriwijaya yang mengharukan sesudah
berdiri tujuh abad lamanya. Di Jawa Timur, pada kurang lebih tahun 1300, muncul
kerajaan Mojopahit yang melebarkan sayap kekuasaannya dengan cepat dan mencapai
puncak kemegahannya pada tahun
3.
Kerajaan Melayu di Sumatra
Dari
kitab sejarah dinasti Tang kita menjumpai untuk pertama kalinya pemberitaan
tentang datangnya utusan dari daerah Mo-lo-yeu di Cina pada tahun 644 dan 645.
Nama Mo-lo-yeu ini mungkin dapat dihubungkan dengan kerajaan Melayu, yang
letaknya di Pantai Timur Sumatra dengan pusatnya di sekitar Jambi. Sekitar
tahun 672 Masehi I-tsing seorang pendeta Budha dari Cina, dalam perjalanannya
dari Kanton menuju India, singgah di She-li-fo-she (Sriwijaya)selama enam bulan
untuk belajar tata bahasa Sansekerta. Dari She-li-fo-she Itsing berlayar ke
Melayu dengan menggunakan kapal raja. Ia tinggal di Melayu selama dua bulan.
Selanjutnya ia berlayar ke Kedah selama lima belas hari. Pada bulan ke-12 ia
meninggalkan Kedah menuju ke Nalanda, ia berlayar selama dua bulan. Ketika
kembali dari Nalanda pada tahun 685, It-sing singgah lagi di Kedah. Kemudian
pada musim dingin ia berlayar ke Mo-la-cu yang sekarang telah menjadi Fo-she-to
dan tinggal di sini selama pertengahan musim panas, lalu ia berlayar selama
satu bulan menuju Kanton. Dari keterangan tadi dapat disimpulkan bahwa sekitar
tahun 685 kerajaan Sriwijaya telah mengembangkan kekuasaannya , dan salah satu
negara yang ditaklukkannya adalah Melayu.
Dari studi tentang pelayaran menyusuri pantai Champa dan Annam
menunjukkan adanya beberapa toponim pada pantai-pantai itu yang berasal dari
bahasa Melayu. Pendapat ini memperkuat dugaan kita bahwa pelayaran ke negeri
Tiongkok dilakukan oleh kapal-kapal dari pelaut-pelaut Melayu. I-Tsing dalam salah
satu bukunya yang ia selesaikan antara tahun 690 ada keterangan yang menyatakan
bahwa sementara itu Melayu telah menjadi kerajaan Sriwijaya.Sementara itu
perdagangan berpindah tempat. Mula-mula kedudukan Sriwijaya diganti oleh Malayu
(Jambi ), yang juga berkuasa di semenanjung Malaka dan mengirimkan
utusan-utusan ke Tiongkok. Akan tetapi Malayu lalu memindahkan pusat
kekuasaannya ke daerah pedalaman, yaitu ke Minangkabau, sehingga pengawasan
terhadap Selat Malaka berkurang.
f.
Hubungan Kerajaan Melayu dengan yang Lain
Setelah ditaklukkan Sriwijaya pada tahun 685, nama
Melayu menjadi hilang, dan baru muncul pada pertengahan terakhir abad ke-13. Di
dalam kitab Pararaton dan Nagarakertagama disebutkan bahwa pada tahun 1275 Raja
Kertanagera mengirimkan tentaranya ke Melayu. Pengiriman pasukan ini dikenal
dengan sebutan Pamalayu. Letak Malayu yang sangat strategis di pantai
Timur Sumatera dekat Selat Malaka, memegang peranan penting dalam dunia
pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka yaitu antara India dan Cina
dengan beberapa daerah di Indonesia bagian Timur. Sementara itu pengaruh
kerajaan Mongol sudah tidak terbendung lagi. Pada tahun 1280, 1281, 1286 dan
terakhir tahun 1289 Kubhilai Khan mengirimkan utusan ke Singasari minta agar
raja Kertanegara mau mengakui kekuasaannya. Tetapi semua perutusan tadi diusir
kembali setelah mukanya dirusak.
Negarakertagama mengatakan bahwa expedisi tahun 1292 itu bukan saja
menuju Melayu tetapi juga ke pantai barat Kalimantan dan Semenanjung Malayu.
Disebutkan bahwa, Kertanegara telah mendapat Bakulapura yaitu Tanjungpuri di
Kalimantan dan Pahang, nama yang dipakai untuk seluruh bagian selatan Malaya
pada jaman Prapanca. Ekspedisi Pamalayu mempunyai hubungan erat dengan ekspansi
kerajaan Mongol yang sedang giat dilancarkan oleh Kubhilai Khan untuk menguasai
daerah Asia Tenggara dan juga dalam rangka politik perluasan kekuasaan kerajaan
Singasari. Ekspedisi ini berhasil menjalin hubungan persahabatan antara
Singasari dan Melayu. Untuk mempererat hubungan ini pada tahun 1208 S atau 1286
Masehi raja Sri Kertanegara, mengirimkan sebuah arca Buddha Amoghapasalokeswara
beserta empat belas pengiringnya ke Melayu (suvarnabhumi) sebagai
hadiah. 35 Penempatan arca ini di Dharmasraya dipimpin oleh 4 orang
pejabat tinggi dari Jawa. Pemberian hadiah ini membuat seluruh rakyat Malayu
sangat bergirang hati terutama rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa. Keterangan mengenai hadiah dari raja Kertanegara ini tertulis
pada lapik (alas)arca Amoghpasa itu sendiri. Arca ini diketemukan kembali di
daerah sungai Langsat dekat Sijunjung, di daerah hulu sungai Batanghari.
Menurut Krom, tahun 1275 ia mengirim ekspedisi besar yang dikenal sebagai
Pamalayu, untuk memulai menaklukan pulau itu, dan ekspedisi itu belum kembali
sampai tahun 1293 yaitu tahun kematiannya. Tahun 1286 penaklukan itu berhasil baik
sehingga ia mengirim tiruan patung ayahnya Visnhu vardhana di Candi Jago untuk
ditempatkan dengan hikmat di Dharmasraya di kerajaan Melayu untuk menjamin
hubungan antara kerajaan itu sebagai kerajaan bawahannya, dan dinastinya
melalui pemujaan nenek-moyang. Dalam menggambarkan delapan kerajaan
Sumatra itu Marco Polo memberikan kesan bahwa itu adalah reruntuhan sebuah
kerajaan. Dan meskipun Kertanegara dan Singhasari tiba-tiba berakhir tahun
1292, ketika diserbu oleh ekspedisi besar dari Cina yang bertujuan untuk
memberikan hukuman, yang dikirim oleh Kubilai Khan, baik Melayu maupun
Palembang tidak dalam keadaan mampu melaksanakan oprasi yang bertujuan
mempertahankan miliknya. Melayu adalah satu-satunya negara Sumatra yang amat
penting dalam abad XIV, dan beberapa tulisan menunjukan bahwa Melayu masih
merupakan tempat pengungsian kebudayaan “ Hindu “. Tetapi tidak lagi sebagai
kerajaan internasional yang besar. Setelah peristiwa ini, kita tidak memperoleh
keterangan lainnya mengenai keadaan di Sumatera, baru kemudian pada masa
pemerintahan Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350) kita
memperoleh sedikit keterangan tentang daerah Melayu. Rupa-rupanya kerajaan
Malayu ini muncul kembali sebagai pusat kekuasaan di Sumatera, sedangkan
Sriwijaya setelah adanya ekspedisi Pamalayu dari raja Kertanegara, tidak
terdengar lagi beritanya. Adityawarman yang kemudian memerintah sebagian besar
Sumatra dan dengan kebajikan perkawinan ganda ibunya dianggap sebagai anak
tertua dari ayahnya yang orang Sumatra itu pada waktu itu dan “anak bungsu”
dari Kertarajasa. Ia dibesarkan di Keraton Majapahit dan bertugas sebagai
Komandan tentara Jawa yang mengalahkan Bali. Tahun 1343 ia mengabdikan di Candi
Jago sebuah patung Manjusri, yaitu Bodhisattwa yang berjuang melawan kebodohan.
Stutterheim menginterprestasikan ini sebagai suatu gambaran pembinaan dimasa
mudanya di istana. Segera setelah itu ia memerintah di Melayu, di sana mungkin
ia menggantikan ayahnya. Beliau tidak berusaha menghidupkan lagi kekuasaan di
laut yang dulu pernah dipegang oleh Sriwijaya, tetapi memusatkan dirinya
terutama pada perluasan kekuasaannya di beberapa bagian daratan Sumatra.
Untuk mengekalkan kekuasan Majapahit di Bali, maka perlu ada pemerintahan yang
lebih langsung. Atas dasar ini Gajah Mada memutuskan untuk menempatkan
Adityawarman di Melayu. Pada mulanya di Majapahit Adityawarman menjabat sebagai
wrddhamantri dengan gelar arrya dewaraja pu Aditya.. Segera setelah
Adityawarman tiba di Sumatra, ia menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa
yang kita kenal dari tahun 1286. Ia memperluas kekuasaannya sampaai daerah
Pagarruyung (Minangkabau), dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja
(1347), meskipun terhadap Rajapatni ia masih tetap mengaku dirinya sang mantri
yang masih terkemuka dan masih sedarah dengan raja putri itu. Berkaitan dengan
hubungan kerjasama antara Sumatra dengan Majapahit, hanya sedikit saja yang
diketahui kembalinya ekspedisi Pamalayu Kertanegara itu. Tetapi dari apa yang
telah diketahui, rupanya menentukan pencantuman nama pulau itu dalam
Negarakertagama sebagai tanda berada dalam kekuasaan Majapahit tahun 1365. Abad
sebelumnya telah diketahui munculnya Melayu di Palembang. Kepada Kepala Negara
yang terdahululah Kertanegara mengirimkan patung Amoghaphasa yang banyak dibicarakan
itu. Pada Tahun 1286, ketika persiapan pendirian “persekutuan suci“ untuk
menentang ancaman Mongol, Raja Mauliwarnadewa yang bertakhta waktu itu mengirim
dua orang putri ke Majapahit bersama kembalinya armada Pamalayu. Salah seorang
diantaranya bernama Dara Perak, yang kawin dengan Kertarajasa Jayawardhana dan
menjadi ibu dari Jayanegara. Yang lain bernama Dara Jingga menurut Stutterheim,
kawin
dengan
salah seorang keluarga keraton dan melahirkan seorang putera yg menggantikan
Mauliwardhana melalui upacara. Adapun Hubungan antara Melayu dengan Sriwijaya
dapa diketahui melalui Prasasti yang
ditinggalkan. Menurut J.L Moens prasasti Kedukan Bukit dimaksudkan untuk
memperingati kemenangan Sriwijaya terhadap Melayu. Karena ibukota Melayu itu di
Palembang, maka kemenangan Sriwijaya atas Melayu dapat juga dikatakan sebagai
penguasaan daerah Palembang atas Sriwijaya.
4.
Kerajaan Samudra
Penulis
Arab terkenal adalah Ibnu Battuta yang antara tahun 1345-1346 menjadi utusan
Sultan Delhi Muhammad Tughlak untuk menghadap kaisar Tiongkok.
Dalam
perjalanannya ke Tiongkok, begitu pula ketika kembalinya, ia singgah di
kerajaan Samudra di Sumatra. Kalau kita ikuti catatan dari sumber Arab ini akan
dapat diketahui bahwa sejak kira-kira abad ke-8, pedagang Arab sudah mulai
mengenal Indonesia, sekurang-kurangnya Indonesia bagian barat seperti Lamuri,
Samudra, Badrus, Kedah, dan Sriwijaya. Di antara para pedagang Arab itu tentuny
ada yang menetap di kota tersebut. Apabila di Kanton di tempat yang begitu jauh
dan asing, mereka bisa menetap dan membangun masyarakatnya. Tidak mustahil
mereka pun ada yang menetap di kota-kota pelabuhan di Indonesia. Mereka dapat
diketahui berada di Tiongkok berkat adanya kebiasaan orang-orang Tionghoa
mencatat secara teliti segala kejadian yang mereka lihat.
Kebiasaan
semacam itu tidak dimiliki oleh bangasa Indonesia, sehingga tidak ada satupun
kemungkinan itu yang dapat kita ketahui. Sebagai akibat dari merosotnya
kekuasaan Sriwijaya (Burger, hlm. 31), di Sumatra Utara muncul beberapa
kerajaan maritim kecil. Kerajaan-kerajaan yang terdapat kira-kira tahun 1300
adalah Samudra, Perlak, Paseh dan Lamuri ( yang kemudian menjadi Aceh ).
Kerajaan-kerajaan pelabuhan ini kesemuanya mengambil keuntungan dari
perdagangan di Selat Malaka. Saudagar yang beragama islam dari India
mendatangkan agama Islam, dan Sumatra Utara menjadi daerah islam yang pertama
di Indonesia. Berbagai keluarga raja Indonesia satu demi satu masuk agama
islam. Prosesnya dipercepat melalui hubungan kekeluargaan dengan saudagar islam
tersebut. Di beberapa kerajaan Sumatra Utara agama islam lalu berkuasa (burger,
hlm. 31). Bukti yang menunjukkan itu adalah adanya nisan Sultan Al Malik as
Saleh yang meninggal dalam bulan Ramadhan tahun 1297 Masehi. Ini berarti, bahwa
segera sesudah kunjungan Marco Polo, Samudra telah diislamkan, sedangkan yang
memerintah adalah orang yang bergelar sultan.
Dengan
Sultan Malik as Saleh maka Samudra adalah kerajaan yang pertamadi Indonesia
yang beragama Islam. Pada tahun 1297 Sultan pertama itu diganti oleh puteranya,
Sultan Muhammad, yang memerintah sampai tahun 1326. Sulta ini lebih terkenal
dengan nama Malik al-Thahir. Dari catatan yang ditinggalkan oleh Ibnu Battuta
itu, dapat kita ketahui, dewasa itu Samudra merupakan pelabuhan yang sangat
penting sebagai tempat kapal dagang bertemu untuk membongkar dan memuat barang
dagangannya. Istana raja Samudra disusun dan diatur secara India, sedangkan
diantara para pembesarnya terdapat pula orangorang Persia. Adapun Patihnya
mempunyai gelar Amir. Sampai tahun berapa Malik al-Thahir ini memerintah, tidak
diketahui dengan pasti. Pun penggantinya, Sultan Zain al-Abidin, yang juga
bergelar Malik
al-Thahir,
tidak ada keterangannya. Kita hanya dapat mengetahui namanya saja dari batu
nisan yang tersurat di Samudra, yang menghias jirat, kuburan anak perempuannya
yang meninggal dalam tahun 1389.
5. Kerajaan
Samudra dan Majapahit :
Sekitar
tahun 1350 adalah masa memuncaknya kebesaran Majapahit. Bagi Samudra, masa
itupun merupakan masa kebesarannya. Kerajaan Samudra di Aceh yang beragama
islam yang menjadi bagian dari Majapahit itu, rupanya tidak menjadikan soal
bagi Majapahit. Begitu pula Samudra berhubungan juga secara langsung dengan
Tiongkok, sebagai siasat untuk mengamankan diri terhadap Siam yang daerahnya meliputi jazirah Malaka,
juga oleh Majapahit tidak dihiraukan. Pedagang dari Majapahit banyak yang
datang di Samudra. Saudagar Islam dari India dan dari Samudra banyak yang
beraktivitas dagang di pelabuhan Tuban dan Gresik, yang merupakan daerah asal
Majapahit (de Graaf hlm. 166).
Bahkan
hubungan darah antara Majapahit dengan Samudra ( dan nantinya juga dengan
pusat-pusat Islam lainnya ) tidak merupakan hal yang ganjil. Tentang seorang
raja dari Pase, misalnya yang bernama Zain al-Abidin. diketahui bahwa
waktu ia dalam tahun 1511 terpaksa melarikan diri dengan meninggalkantahtanya,
tempat berlindungnya adalah Majapahit, dimana rajanya masih termasuk
saudaranya. Seperti sudah kita ketahui, Ma Huan – seorang Tionghoa Islam yang
dating di Majapahit dalam tahun 1413 dengan jelas menyatakan, bahwa penduduk
kotaMajapahit terdiri atas 3 (tiga ) golongan, yaitu orang-orang Islam yang
datang dari Barat, orang-orang Tionghoa yang kebanyakan memeluk agama Islam,
dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala.Keterangan “yang datang dari Barat
“ rupanya mengenai orang-ortang Gujarat atau mungkin pula Samudra dan Malaka,
memang di Gresik kampong Gapura ada kuburan yang serupa dengan kuburan yang
serupa dengan kuburan di Samudra, jirat import dari Gujarat dengan tulisan
Arab, yaitu makam Syech Maulana Malik Ibrahim, yang wafat dalam tahun 1419
Masehi.
6. Kerajaan Majapahit
Menurut
Krom, kerajaan Majapahit ini berdasar pada kekuasaan di laut. Laut-laut dan
pantai yang terpenting di Indonesia dikuasainya. Jika suatu kerajaan yang kecil
menjadi daerah takluk Majapahit, maka pada umumnya pemerintah Majapahit tidak
mencampuri keadaan dalam negeri tersebut. Negeri yang takluk ini cukup
mengirimkan utusan pada waktu tertentu sebagai tanda takluk serta mengambil
sikap yang sesuai dengan kehendak pemerintah Majapahit terhadap negeri
Indonesia lainnya. Bagian dari kerajaan besar ini yang jauh letaknya cukup
dijadikan daerah pengaruh saja. Segala pengaruh asing dalam kerajaan ditolak.
Daerah
taklukannya diwajibkan menyampaikan upeti atau uang takluk. Jadi, selain
sebagai negara agraris, pada waktu yang sama Majapahit juga merupakan suatu
kerajaan perdagangan. Negara ini memiliki angkatan laut yang besar dan kuat.
Pada tahun 1377 mengirim suatu ekspedisi untuk menghukum raja Palembang dan
Sumatra. Majapahit juga mempunyai hubungan dengan Campa, Kampuchea, Siam Birma
bagian Selatan dan Vietnam serta mengirim dutanya ke Cina. Kenang-kenangan
tentang kejayaan Majapahit itu masih tetap hidup di Indonesia, dan hal itu
dianggap sebagai suatu preseden bagi perbatasan politik Republik Indonesia
dewasa ini.
Menurut
berita Cina dalam buknya Tao-I chih-lueh yang ditulis sekitar tahun 1349 M
menyebutkan Majapahit yang dikenal dengan nama She-po (Jawa) sangat padat
penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan padi, lada, garam, kain dan
burung kakak tua yang semuanya merupakan barang eksport utama. Dari luar She-po
mendatangkan mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik dan barang dari besi.
Banyak daerah yang mengakui kedaulatan She-po antara lain beberapa daerah di
Malaysia, Sumatra, Kalimantan Timur, dan beberapa daerah di Indonesia bagian
Timur.
Dalam
memperoleh gambaran tentang Majapahit, maka sumber yang relevan untuk dipakai
adalah Kitab Nagarakertagama. Dari kitab ini menunjukkan bahwa banyaknya pedagang
dari Jambu Dwipa, Kamboja, Cina, Yawana,Champa, Karnataka (Mysore), Goda, dan
Siam yang datang ke Majapahit. Dari keterangan itu juga dijelaskan bahwa
pedagang Majapahit juga berlayar ke pelabuhan di luar negeri tersebut.
Penjelasan tentang wilayah kekuasaan Majapahit menyebutkan pula pulau demi
pulau di Nusantara yang tunduk pada kerajaan Majapahit. Dari pemberitaan
tersebut, sekurang-kurangnya kita dapat menjelaskan bahwa pelayaran sebagai
sarana perhubungan antar pulau pada waktu itu sudah dikenal. 43 Ini membuktikan
bahwa Majapahit juga merupakan kerajaan Maritim yang cukup kuat dan disegani di
Nusantara.
Sebagai
tambahan daerah yang mengakui kekuasaan Majapahit, Prapanca memberikan
nama-nama daerah yang tetap mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit.
Daerah itu antara lain Siam, Burma, Champa dan “ Javana “ yaitu Vietnam disamping negeri-negeri yang lebih jauh lagi
seperti Cina, Karnatik dan Benggala, yang mengadakan hubungan dagang dengan
Majapahit. Orang-orang Cina pada tahun 1382 mencatat utusan-utusan Jawa waktu
itu pada saat naik tahtanya Dinasti Ming,. Ma-huan, seorang sekretaris dan juru
bahasa dari Cheng-ho pernah mengunjungi Majapahit pada tahun 1413. Dalam
laporannya dia menulis bahwa pelabuhan dagang Majapahit di pantai Utara Jawa,
banyak didiami oleh pedagang Tionghoa dan pedagang setempat yang kaya. Banyak
barang-barang dagangan diperjualbelikan di situ. Tetapi yang paling laku dan
digemari ialah barang pecah belah dari porselin Cina. Pendiri dari kerajaan
Majapahit adalah Raden Wijaya pada abad ke-13. Kariernya dimulai dengan
menghambakan dirinya pada Jayakatwang. Kemudian dia dianugerahi tanah di desa
Tarik, yang dengan bantuan orang-orang Madura dibuka dan menjadi desa yang
subur dengan nama Majapahit.
Berakhirnya
kerajaan Singasari bukan berarti hilangnya Dinasti Singasari dalam percaturan
sejarah kerajaan di Indonesia. Terbukti Wijaya sebagai keturunan dari Singasari
mampu melumpuhkan pasukan Khubilai Khan sekaligus melumpuhkan lawan politiknya
yaitu dengan meruntuhkan Kerajaan Kediri (Daha). Dengan demikian maka dia
menjadi pendiri dan raja Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana pada
abad ke-13. Dalam waktu relatif singkat pasukannya dikirim untuk menaklukkan
seluruh Nusantara dan membawa hasil yang gemilang. Terbukti banyak raja di
nusantara yang tunduk dan member upeti. Raja Melayu mempersembahkan dua orang
puteri. Pada masa Kertaraja sini muncul banyak pembrontakan di kalangan intern
karena ketidakpuasan para pengikut raja yang telah berjasa. Para pemberontak ini
pada mulanya adalah pengikut setia yang mengantarkan Majapahit berkembang
pesat. Mulai dari pembrontakan Sora, Ronggo Lawe, dan Kebo Anabrang. Meskipun
demikian Kertaraja adalah peletak dasar kerajaan Majapahit sekaligus
menempatkan diri sebagai Kerajaan Maritim di Jawa .Pengganti Kertanegara adalah
puteranya yang bernama Jayanegara. Dia pun juga dirongrong dengan berbagai
pemberontakan namun berkat bantuan Gajah Mada berbagai pemberontakan itu dapat
diatasi. Pada masa itu hubungan dengan Cina telah pulih, ditandai datangnya
utusan dari Jawa ke Cina setiap tahun. Keadaan Majapahit oleh Odorico tahun
1321 digambarkan bahwa istananya penuh dengan perhiasan emas, perak, dan
permata. Jayanegara tidak memerintah lama karena pada tahun 1328 dia telah
meninggal dunia. Masa pemerintahan Hayam Wuruk pada dasarnya merupakan zaman
keemasan Majapahit. Pada masa kekuasaannya itulah Negarakertagama ditulis,
setelah itu beberapa kejadian menjadi kurang jelas. Tampaknya terjadi perang
saudara
pada tahun 1405-1406; pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an;
dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun
1468. Akan tetapi garis keturunan raja Majapahit (atau cabang dari garis
keturunan itu) semuanya tetap memegang tampuk pemerintahan.
a. Eskpansi dan Diplomasi
Tokoh
Majapahit yang terkenal adalah Gajah Mada, sehingga dia memainkan peranan
penting. Hasrat Gajah Mada untuk menunjukkan pengabdiannya kepada Majapahit
yang ia cita-citakan sebagai satu-satunya kerajaan yang berkuasa, dapat kita
ketahui dari sumpahnya yang terkenal, ialah : bahwa ia tidak akan merasakan
palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit.
Palapa artinya garam dan rempah-rempah, jadi maksud Gajah Mada ialah untuk
“mutih”, makan nasi tanpa apa-apa). Berg telah memecahkan teka-teki kata sumpah
palapa. Kata itu, berarti pembunuhan nafsu dan dipakai untuk menggambarkan
upacara Budha Bhairrava yang meliputi hubungan kelamin dengan yogini.
Pengumuman itu menunjukan hukuman politik yang didasarkan atas upacara
Bahairava, atau dengan kata lain, perwujudan politik penaklukan dengan kekuatan
militer, meliputi meletakan kekuasaan Jawa atas Nusantara, karena rencana
Kertanegara untuk persekutuan Pan-Indonesia dilaksanakan melalui sistem
Yoga. Bukti pengaruh kebudayaan Jawa , yang berasal dari waktu ini, diduga
terdapat juga di Dopo, Sumbawa, dan beberapa tempat yang lain, yang tradisinya
menunjukan pada Majapahit. Negeri-negeri yang tergantung pada Majapahit banyak
tersebut dalam Negarakertagama. Mencakup seluruh Sumatra, kelompok nama-nama di
Semanjung Malayu. 48 Langkah pertama mempersatukan daerah yang belum bernaung
di bawah panji-panji Majapahit dilakukan dalam tahun 1343 dan tertuju kepada
Bali, yang setelah ditaklukkan Kertanagara telah bebas kembali. Serangan
terhadap Bali dipimpin oleh Gajah Mada sendiri, bersama dengan Adityawarman,
putera Majapahit keturunan Melayu.
Sepeninggal Tribhuwanottunggadewi turun dari takhta kerajaan, penggantinya
adalah anaknya, yaitu Hayam Wuruk. Hayam Wuruk didampingi seorang patih yang
bernama Gajah Mada. Masa ini adalah jaman keemasan Majapahit. Sumpah Gajah Mada
dapat terlaksana, dan seluruh kepulauan Indonesia – bahkan juga jazirah Malaka
– mengibarkan panji-panji Majapahit. Adapun hubungan persahabatan dengan
negara-negara tetangga berlangsung dengan baik.
Masa
pemerintahan Hayam Wuruk nampak menampilkan usahanya untuk meningkatkan
kemakmuran bagi rakyatnya. Berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi dan
kebudayaan sangat diperhatikan. Untuk keperluan peningkatan kesejahteraan di
bidang pertanian, raja telah memerintahan pembuatan bendungan, dan saluran
pengairan, serta pembukaan tanah-tanah baru untuk perladangan. Di beberapa
tempat sepanjang sungai-sungai besar diadakan tempattempat penyeberangan yang
sangat memudahkan lalu lintas antar daerah. Raja Hayam Wuruk sangat
memperhatikan pula keadaan daerah kerajaan. Beberapa kali ia mengadakan
perjalanan kenegaraan meninjau daerah wilayah Majapahit, disertai para pembesar
kerajaan. Kunjungan itu antara lain ke Pajang pada tahun 1351, Lasem tahun 1354,
ke daerah pantai Selatan (Lodaya) tahun 1357, daerah Lamajang tahun 1359,
daerah Tirib dan Sempur tahun 1360, tahun 1361 dan 1363 mengunjungi Simping.
Kebesaran Majapahit mulai redup setelah kematian Gajah Mada pada tahun 1364 .
Daftar
daerah yang telah dikuasai Majapahit adalah Mendawai, Brunai dan Tanjung Puri
di Kalimantan serta sebuah daftar panjang mengenai nama-nama di timur Jawa,
mulai dari Bali, Makasar, Banda, dan Maluku. Banyak dari namanama
itu
hanya dapat diduga saja persamaannya. Kita mendapat gambaran sebuah kerajaan
seluas Indonesia sekarang ditambah daerah Malaya. Krom, Stuterheim dan banyak
penulis mengakui kekuasaan yang dimiliki Majapahit tersebut. Vlekke, misalnya,
telah memberikan suatu gambaran tertulis tentang kerajaan agung yang
dipertahankan dengan mengalahkan kekuatan di lautan. Katanya, setelah
keruntuhannya, tidak pernah ada yang sebesar itu dicapai lagi “sampai
orang-orang Belanda menyempurnakan penaklukannya “.Kerajaan Majapahi pada
umumnya besar wilayahnya sama dengan “Nederlands Indie“ dahulu atau Republik
Indonesia sekarang, ditambah Semenanjung Malaka dan sampai Irian.
b.
Pola Pengamanan Laut
Dengan uraian perluasan wilayah
kekuasaan Majapahit, seperti dijelaskan oleh Prapanca, kita telah menggunakan
hipotesa bahwa pelayaran perdagangan pada abad XIV berada di tangan pedagang
Majapahit. Artinya pada waktu itu, Majapahit memiliki kapal-kapal dagang dan
menjalankan pelayaran sendiri,disamping pelayaran yang dilakukan juga oleh
pedagang asing. Tentu saja kesimpulan ini bukanlah kesimpulan yang luar biasa,
oleh karena banyak pula penulis sejarah yang tidak mengingkari pernyataan ini.
Dalam menjamin keamanan, dia menjalankan
tindakan yang tegas. Sebagai contoh, ketika bagian Barat Kalimantan dalam tahun
1369 dikacau oleh bajakbajak dari Sulu (Pilipina) yang dibantu oleh Tiongkok,
segera armada Majapahit muncul di lautan Tiongkok Selatan, dan daerah itu
terhindar dari pengacauan lebih lanjut. Dalam tahun 1370 tiga orang raja di
Nusantara berusaha melepaskandiri dari Majapahit, dan mengirimkan utusannya
sendiri ke Tiongkok. Akibat tindakan raja tersebut, maka Majapahit mengirimkan
armada, sehingga pada tahun 1377 raja-raja itu dibinasakan sama sekali. Dengan
tindakan ini maka habislah riwayat Sriwijaya.Jika ada pegawai Majapahit, seperti
wali negeri, adipati atau menteri dikirim ke daerah takluk, maka maksudnya
ialah untuk mempertegas kekuasaan serta memungut sumbangan daerah itu. Adanya
suatu armada yang kuat perlu sekali untuk mengadakan ekspedisi-dera, pengawasan
kepolisian, dan untuk bertindak terhadap negara asing yang hendak mencampuri
keadaan dalam negeri. Sebagai penguasa daerah kepulauan, daerah Majapahit
mempunyai angkatan darat dan laut yang kuat. Baik dari Hindia Belanda dahulu,
maupun bagi Indonesia sekarang, perhubungan laut ini juga merupakan angka dari
struktur negara.
c.
Masa Kelabu Majapahit
Kemunduran Majapahit terjadi karena
adanya perang saudara. Kondisi ini diketahui oleh Tiongkok yang segera berusaha
memikat daerah luar Jawa untuk merngakui kedaulatannya. Kalimantan Barat, yang
dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak-bajak dari Sulu sebagai alat dari
kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 telah tunduk sama sekali dengan Tiongkok
tanpa sesuatu tindakan dari Majapahit. Dalam tahun itu juga, Palembang dan Melayu
mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan Majapahit.
Dengan posisi dan predikat Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting,
mereka yang beragama Islam, di samping Samudra, jazirah Malaka pun boleh dikata
sudah hilang. Demikian pula daerah lain, satu persatu melepaskan diri dari
Majapahit.
Beberapa
daerah memang masih mengakui Majapahit sebagai atasannya, tetapi dalam praktek,
tidak banyak juga hubugannya dengan pusat. Masa seratus tahun yang terakhir
dari kerajaan Majapahit tidak banyak yang diketahui. Sumber sejarah sangat
sedikit, dan keterangan Pararaton sangat kacau.Yang nyata ialah, sejak
Wikramawardhana sebagai bintang Majapahit mulai suram, maka makin lama
Majapahit menjadi semakin pudar. Perang saudara antar keluarga raja, hilangnya
kekuasaan pusat di luar daerah sekitar ibukota Majapahit, penyebaran agama
Islam yang sejak + 1400 berpusat di Malaka serta timbulnya beberapa kerajaan
Islam yang menentang kadaulatan Majapahit, adalah berbagai peristiwa yang
menandai masa runtuhnya kerajaan yang tadinya mempersatukan seluruh Nusantara.
Sepeninggal
Hayam Wuruk, Majapahit selalu dilanda perang saudara. Diawali dengan perebutan
kekuasaan antara menantu Hayam Wuruk, Wikramawardhana yang menjadi raja dengan
Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selir. Meskipun Majapahit dilanda perang
saudara, hubungan diplomatik dengan Cina tetap berjalan baik yang berlangsung
pada tahun 1403 hingga tahun 1499. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi
perang saudara itu tidak memungkinkan Majapahit berkembang. Bahkan ada
kecenderungan mengalami kemunduran karena banyak daerah yang mulai melepaskan
diri,terutama di daerah pesisir. 56 Menurut de Graaf, jatuhnya kerajaan
Majapahit ialah pada tahun 1478 Masehi ( atau 1400 Caka). Dengan Demikian cocok
dengan Babad Jawa. Akan tetapi berlainan dengan isi babad ini, ia berpendapat
bahwa jatuhnya kerajaan Majapahit tak disebabkan oleh negara-negara Islam di
daerah pesisir, melainkan oleh kerajaan Hindu lain, yaitu Daha-Kediri yang
dapat melepaskan diri sebelumnya dari Majapahit. Kerajaan Kediri ini pada tahun
1526 ditaklukan oleh Sultan Demak, yang berarti pula berakhirnya zaman kerajaan
Hindu yang besar di pulau Jawa. Hanya di ujung timur masih terdapat kerajaan
Hindu yang kecil, yaitu Belambangan hingga abad ke-17. Jadi, sebelum kedatangan
bangsa Portugis di Indonesia, kerajaan Majapahit sudah runtuh.
7.
Kerajaan Malaka
Malaka merupakan suatu kota
pelabuhan besar yang letaknya menghadap ke laut. Posisi seperti ini juga
dimiliki oleh kerajaan Maritim lain seperti Banten, Batavia, Gresik, Makasar,
Ternate, Manila, atau sungai besar yang dapat dilayari. Daerah inti yang
berbenteng, juga dilintasi oleh atau berdekatan dengan sungai kecil, yang
menyediakan air untuk mandi dan memasak, juga jalan masuk untuk perahu kecil.
Jembatan yang melintasinya merupakan jalur menuju ke kompleks utama kerajaan
pusat yang sering merupakan daerah kemacetan. Di Malaka pada bagian tepinya
terdapat kedai kecil dan menjadi perluasan pasar maupun jalan raya. Awal mula Malaka dimulai dari kehidupan
seorang raja yang beragama Hindu-Bhuda yang bernama Parameswara. Ada suatu
perdebatan mengenai kepindahannya ke agama Islam. Tampaknya pada masa akhir
pemerintahannya (1390-1413/14 M) dia menganut agama Islam dan memakai nama
Iskandar Syah.
Dua orang penggantinya, Megat
Iskandar Syah ( 1414-1423/24 ) dan Muhammad Syah ( 1424-44? ), adalah raja-raja
yang beragama Islam. Akan tetapi, ada kemungkinan telah terjadi suatu reaksi
Hindu-Budha selama masa pemerintahan raja yang keempat. Parameswara Dewa Syah
(1445-46 ), tampaknya terbunuhdalam suatu kudeta Islam. Malaka mulai muncul
sebagai pusat perdagangan dan kegiatan Islam baru pada awal abad ke-15. Pendiri
kerajaan Malaka adalah seorang Pangeran Majapahit dari Blambangan yang bernama
Paramisora (Parameswara). Dia melarikan diri dari Blambangan karena adanya
gempuran yang dilakukan oleh Majapahit terhadap Blambangan. Parameswara
berhasil meloloskan diri sewaktu terjadi serangan Majapahit pada tahun 1377 dan
akhirnya tiba di Malaka sekitar tahun 1400. Di tempat ini dia menemukan suatu
pelabuhan yang baik yang dapat dirapati kapal-kapal di segala musim dan
terletak di bagian Selat Malaka yang paling sempit. Beserta para pengikutnya
dalam waktu singkat dusun nelayan ini dengan bantuan bajak-bajak laut menjadi
kota pelabuhan, yang karena letaknya yang sangat baik di Selat Malaka,
merupakan saingan berat bagi Samudra Pase.
Dengan
demikian Malaka diberi kesempatan berkembang menjadi pusat perniagaan baru.
Sebelum itu, Malaka hanyalah merupakan sebuah tempat nelayan kecil yang tak
berarti. Pada awal abad ke-14 tempat tersebut mulai berarti buat perdagangan,
dan dalam waktu yang pendek saja menjadi pelabuhan yang kerajaan pusat yang
sering merupakan daerah kemacetan. Di Malaka pada bagian tepinya terdapat kedai
kecil dan menjadi perluasan pasar maupun jalan raya. Awal mula Malaka dimulai dari kehidupan
seorang raja yang beragama Hindu-Bhuda yang bernama Parameswara. Ada suatu
perdebatan mengenai kepindahannya ke agama Islam. Tampaknya pada masa akhir
pemerintahannya (1390-1413/14 M) dia menganut agama Islam dan memakai nama
Iskandar Syah. Dua orang penggantinya, Megat Iskandar Syah ( 1414-1423/24 ) dan
Muhammad Syah ( 1424-44? ), adalah raja-raja yang beragama Islam. Akan tetapi,
ada kemungkinan telah terjadi suatu reaksi Hindu-Budha selama masa pemerintahan
raja yang keempat. Parameswara Dewa Syah (1445-46 ), tampaknya terbunuh dalam
suatu kudeta Islam.
Malaka
mulai muncul sebagai pusat perdagangan dan kegiatan Islam baru pada awal abad
ke-15. Pendiri kerajaan Malaka adalah seorang Pangeran Majapahit dari
Blambangan yang bernama Paramisora (Parameswara). Dia melarikan diri dari
Blambangan karena adanya gempuran yang dilakukan oleh Majapahit terhadap
Blambangan. Parameswara berhasil meloloskan diri sewaktu terjadi serangan
Majapahit pada tahun 1377 dan akhirnya tiba di Malaka sekitar tahun 1400. Di
tempat ini dia menemukan suatu pelabuhan yang baik yang dapat dirapati
kapal-kapal di segala musim dan terletak di bagian Selat Malaka yang paling
sempit. Beserta para pengikutnya dalam waktu singkat dusun nelayan ini dengan
bantuan bajak-bajak laut menjadi kota pelabuhan, yang karena letaknya yang
sangat baik di Selat Malaka, merupakan saingan berat bagi Samudra Pase.
Dengan
demikian Malaka diberi kesempatan berkembang menjadi pusat perniagaan baru.
Sebelum itu, Malaka hanyalah merupakan sebuah tempat nelayan kecil yang tak
berarti. Pada awal abad ke-14 tempat tersebut mulai berarti buat perdagangan,
dan dalam waktu yang pendek saja menjadi pelabuhan yang negara ini harus
mengimport bahan pangan untuk menghidupi rakyatnya, namun dengan kondisi
demikian justru membuat Malaka dengan cepat menjadi pelabuhan yang berhasil.
Hal ini terjadi karena kerajaan Malaka dapat menguasai Selat Malaka, yaitu
salah satu trayek yang sangat menentukan dalam system perdagangan internasional
yang membentang dari Cina, Maluku di Timur sampai Afrika Timur dan Laut Tengah
di Barat.
Usaha
pertama Paramisora adalah mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari Tiongkok,
guna melindungi diri dari bahaya dari Siam dan Majapahit. Dalam tahun 1405 ia
diakui sebagai raja Malaka oleh Kaisar Tiongkok, dan enam tahun kemudian ia
sekeluarga berkunjung ke Tiongkok. Menurut cerita, sesaat sebelum meninggal (
dalam tahun 1414 ) Paramisora masuk agama Islam, dan berganti nama menjadi
Iskandar Syah. Jadi dengan jalan yang mudah sekali, perniagaan berpindah dari
Sriwijaya ke Jambi, Sumatra Utara dan Malaka. Perpindahan serta perkembangan
pesat dari pusat perniagaan semacam ini sering terjadi kemudian. Hal ini
berhubungan erat dengan sifat perdagangan laut Indonesia. Perdagangan ini
pertama-tama sifatnya transito; pelabuhan yang ada pada dasarnya hanya menjadi
tempat pemindahan barang ke kapal lain. Oleh karena itu bagi perniagaan
Indonesia waktu itu, tidak ada perbedaannya, apakah pemindahan barang dagangan
tadi terjadi di Palembangataukah di Malaka.
Berbagai saudagar dari Tuban, Gresik, Surabaya, Jepara, dan Palembang
berkampung di kota Malaka. Di sana mereka mempunyai kepala kampung sendiri.
Orang-orang
Jawa tak jarang memangku jabatan penting di sana dan mempengaruhi jalannya
pemerintahan. Banyak juga bangsa asing yang berdiam di Malaka, seperti misalnya
: orang-orang Tionghoa, India, Arab dan Parsi. Golongan terpenting di Malaka
adalah bangsa-bangsa Gujarat ( dari India ). Mereka mempunyai kekuasaan politik
yang besar. Inilah lukisan kota Malaka yang dijumpai oleh bangsa Portugis
ketika mereka pertama kali sampai di sana pada tahun 1509.
Ancaman
utama bagi Malaka sejak awal adalah Siam, tetapi Malaka sudah minta dan
mendapat perlindungan Cina sejak tahun 1405. Setelah itu, Malaka berulang kali
mengirim duta-dutanya ke Cina. Begitu pula kunjungan armada Cina ke Malaka
terus berlanjut hingga tahun 1434. Perlindungan Cina yang nyata ini telah
membantu Malaka dapat berdiri tegak. Pada pertengahan abad XV Malaka bergerak
menaklukan daerah di kedua tepi Selat yang menghasilkan bahan pangan, timah,
emas dan lada sehingga meningkatkan kemakmuran dan posisi strategisnya. Pada
tahun 1470-an dan 1480-an kerajaan ini menguasai pusat-pusat penduduk yang
penting di seluruh Semenanjung Malaya bagian selatan dan pantai timur Sumatra
bagian tengah.
8.
Kota-Kota Maritim di Pantai Utara Jawa
a.
Tuban
Sejak
abad ke-11 Tuban disebut sebagai kota pelabuhan. Gerombolan Cina Mongolia yang
pada 1292 M datang menyerang Jawa Timur konon mendarat di Tuban. Pada masa lalu
Tuban juga menjadi pintu gerbang sungai besar di Jawa Timur, seperti Bengawan
Solo dan Brantas. 64 Tuban menurut Tome Pires pada permulaan abad ke-16 sebagai
tempat kedudukan raja, namun perdagangan dan pelayarannya tidak begitu kuat
bila dibandingkan Gresik. Keluarga raja sejak abad ke-15 masih menjalin
hubungan dengan kerajaan Majapahit, dimana pada masa itu sebagian besar
penduduk masih kafir, tetapi penguasanya sudah masuk islam. Ini artinya abad
itu Tuban masih merupakan bagian dari Majapahit65 (151). Mulamula perdagangan
seberang laut bangsa Jawa terutama diselenggarakan dari kota Tuban, akan tetapi
kemudian muncul kota-kota lain seperti Gresik, Jepara, Surabaya, dan lain-lain.
Pada
tahun 1527, ketika Majapahit direbut oleh orang Islam, konon Tubanjuga sudah
diduduki oleh Sultan Demak, tetapi babad Tuban tidak menyebutkan hal itu.
Berabad-abad lamanya kota maritim di pantai utara Jawa, termasuk Tuban cukup
memegang peranan penting. Kota Tuban dipandang sebagai pelabuhan terbesar di
Jawa. Di samping itu ada tanda-tanda yang menyatakan, bahwa Tuban dalam abad
ke-11 mempunyai aktivitas perdagangan laut. Kota ini lama sekali menjadi
pelabuhan Jawa yang terpenting. Pada abad ke-12 kapal-kapal dagang Jawa,
termasuk kapal dari Tuban dan Sumatra sampai di negeri Annam (Hindia Belakang).
Dalam
hubungannya dengan Majapahit, kota Tuban hingga Surabaya ini menjadi pusat
armada laut Majapahit untuk menaklukkan pelabuhan-pelabuhanutama lainnya di
Nusantara. Termasuk pusat muslim yang telah mantap di Pasai, dimana banyak
orang muslim yang berbakat dibawa pulang pada tahun 1360-an guna menambahkan
suatu unsur Melayu pada minoritas muslim di Jawa. Jiwa ekspansionisme Tuban
tidak lepas dari kebijakan yang diterapkan oleh Majapahit sebagai pelindung
daerah itu.
9.
Hubungan Pesisir Utara Jawa dengan Majapahit
Perluasan
wilayah kekuasaan oleh Majapahit juga membawa akibat meningkatnya hubungan
perdagangan antara pusat dan daerah. Saudagar-saudagar Jawa khususnya dari
Tuban, Gresik, dan Surabaya pada waktu itu sudah mengadakan hubungan
perdagangan dengan daerah di luar Jawa, yaitu dengan Banda, Ternate, Ambon ,
Banjarmasin, Malaka, dan Filipina. 68 Posisi kota-kota di pesisir Utara Jawa
itu adalah vasal atau bawahan dari Majapahit. Keadaaan ini masih terus
berlangsung hingga menjelang akhir abad ke-15. Daerah yang terletak di pesisir
Utara pulau Jawa sudah Islam semuanya, dengan pusatnya Jepara, Tuban dan
Gresik, dibawah pemerintahan para adipati yang masih tunduk kepada pemerintah
pusat. Dari gambaran itu menunjukkan bahwa kerajaan Jawa yang utama tidak
bersedia dengan sukarela menerima Islam. Sekalipun ada orang Islam di Ibukota
Majapahit seperti terbukti dari nisan mereka di abad ke-14, namun elite
penguasa Jawa adalah yang paling banyak menolak pengislaman di Nusantara
dibandingkan dengan lainnya. Sumber-sumber Jawa mengenai abad ke-15 dan abad
ke-16 terkenal sangat tidak jelas, dan kebiasaan untuk menyebut tahun 1478-1479
sebagai saat ditaklukannya Majapahit oleh pasukan Islam adalah keliru. Adapun
yang terjadi, tahun itu jelas bukan kemenangan akhir Islam. Kronik pertama yang
dapat dipercaya bermula dari jatuhnya Majapahit yang konvensional itu, baru
menyebut orang-orang muslim seabad kemudian, ketika pada tahun 1577- 1578 “para
syuhada Islam“ mengalahkan Kediri. Tome Pires melaporkan masih ada seorang raja
“kafir“ di Jawa yuang berpusat di Daha ( Kediri ), sementara delapan puluh
tahun kemudian orang Belanda melaporkan, bahwa orang-orang Islam di Jawa hanya
terdapat di pantai utara, sedang “yang dipedalaman adalah kafir “.
Jadi
hubungan antara daerah pesisir Utara Jawa dengan Majapahit pada mulanya adalah
hubungan atasan dan bawahan, hubungan antara pusat dan vasal. Dalam tahapan
selanjutnya yaitu akhir abad ke-15 terjadi perubahan politik dimana para
penguasa pesisir mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit
10. Demak : Kerajaan Maritim Islam Pertama di Jawa
Sesudah
raja Hayam Wuruk mangkat pada tahun 1389, kerajaan Majapahit
merosot.
Kemunduran kerajaan ini, disertai dengan kehilangan bagian daerahnya yang
berturut-turut melepaskan diri, dapatlah dikatakan bertepatan dengan kedatangan
agama Islam. Setelah memperoleh kedudukan yang kokoh di Sumatra Utara pada
kurang lerbih tahun 1300 dan sesudah 1400 juga di Malaka, lambatlaun agama baru
ini tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Hanya pulau Irian yang boleh
dibilang belum didatangi agama Islam pada waktu itu. Berdasarkan cerita babad,
Brawijaya, raja Majapahit itu adalah ayah Raden Patah, Raja Demak. Brawijaya
telah memperingatkan Raden Patah akan kewajiban untuk taat kepada raja lewat
adipati Terung. Peringatan ini tidak berhasil, justru adipati Terung bersekutu
dengan umat islam, yang berkumpul di Bintara, Demak. Dari situ mereka bersama-sama
menyerang Majapahit. Tanpa pertempuran, Raden Patah dapat menggantikan
kedudukan ayahnya di singgasana kerajaan.
Menurut
cerita, setelah Raden Patah berhasil merobohkan Majapahit, kemudian dia
memindahkan semua alat upacara kerajaan dan semua pusaka Majapahit ke Demak.
Tujuan pemindahan ini adalah sebagai lambang tetap berlangsungnya kerajaan
kesatuan Majapahit itu tetapi dalam bentuk yang baru di Demak. Letak
Demak sangat menguntungkan baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman
dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat di antara pegunungan Muria dan
Jawa. Sebelumnya selat itu agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga
kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke
Rembang. Dalam versi yang lain disebutkan bahwa sekitar tahun 1500 seorang
bupati Majapahit bernama Raden Patah, yang berkedudukan di Demak dan memeluk
agama Islam, terang-terangan memutuskan ikatannya dari Majapahit yang sudah
tidak berdaya lagi. Dengan bantuan daerah lainnya di Jawa Timur yang sudah
Islam pula, seperti Japara, Tuban dan Gresik, ia mendirikan kerajaan Islam
dengan Demak sebagai Pusatnya. Berdasarkan tradisi Mataram Jawa Timur, raja
Demak yang pertama, Raden Patah adalah putra raja Majapahit yang terakhir, yang
dalam Legenda bernama Brawijaya. Ibu Raden Patah konon seorang putri Cina dari
kraton raja Majapahit. Waktu hamil putri itu dihadiahkan kepada seorang anak
emasnya yang menjadi gubernur di Palembang. Di situlah Raden Patah lahir.
Menurut Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental menganggap kakek Raja
Demak yang memerintah pada tahun 1513 adalah seorang “budak belian” dari
Gresik yang telah mengabdi di Demak saat masih menjadi vasal Majapahit. Dalam
karirnya dia diangkat menjadi capitan dan dipercaya memimpin ekspedisi
melawan Cirebon, sehingga dapat berhasil pada tahun 1470.
Menurut
cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, pengganti Raden Patah adalah
“Pangeran Sabrang Lor”. Nama itu ternyata berasal dari daerah tempat tinggalnya
di “Seberang Utara”. Tetapi menurut Tome Pires penguasa kedua di Demak adalah
Pate Rodim Sr. Dia mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung. Pada
masa ini beberapa daerah dapat ditaklukkan. Berdasarkan babad, penguasa ketiga
adalah Tranggana atau Trenggana. Raja ini telah meresmikan Masjid Raya di
Demak. Dalam berita Portugis menyebutkan, pada tahun 1546 dia gugur dalam
ekspedisi ke Panarukan di ujung timur Jawa.
Tome
Pires menyebut nama sultan ini Pate Rodin Jr atau Patih Rodin Muda. Dalam kurun
waktu itu wilayah kerajaan telah diperluas ke barat dan ke timur, dan masjid
Demak telah dibangun sebagai lambang kekuasaan islam.
Kekuatan Demak terpenting adalah kota
pelabuhann Jepara, yang merupakan kekuatan laut terbesar di laut Jawa. Pada
masa Trenggana, dia berusaha memimpin suatu Koalisi Islam yang mungkin
menghancurkan kerajaan Hindu-Budha utama terakhir yang berpusat di Kediri. Ia
memang tidak merebut suatu kerajaan Jawa yang mapan, tetapi sekembali di pusat
kekuasaannya di Demak Sultan Trenggana terus menerus menyerang sejumlah musuh Hindu.
Gelar Sultan yang menurut tradisi disandangnya sejak tahun 1524 dengan hak
(otorisasi) yang di bawa Sunan Gunung Jati dari Mekkah merupakan indikasi bahwa
Demak adalah sebuah kerajaan bentuk baru di Jawa Dari gambaran itu menunjukkan
Demak benar-benar kekuatan signifikan di Jawa pada abad ke-16. Pada masa Pati
Unus atau Pangeran Sabrang Lor, tepatnya tahun 1512 dan 1513 dia menyerang
Malaka dengan menggunakan gabungan seluruh angkatan laut bandar-bandar jawa,
namun berakhir dengan hancurnya angkatan laut dari Jawa. Kerajaan Demak
dipandang sebagai pengganti Majapahit yang pada tahun 1515 wilayahnya meliputi
daerah pesisir utara pulau Jawa dari Demak hingga Cirebon, dan Palembang.
Kerajaan Demak juga meliputi Japara, merebut Banten pada tahun 1524, dan Sunda
Kelapa tahun 1526. Adapun daerah-daerah sebelahtimur Demak ditaklukan dengan
peperangan antara tahun 1525– 1546. Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh
daerah pesisir utara pulau Jawa, di sebelah timur hingga Panarukan.
Selama
abad ke 16, terjadi pula suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di
kota-kota pelabuhan di Jawa, yang ketika itu merupakan pusat kekayaan dan ide
yang menarik minat orang Jawa yang berbakat. Masjid dan makam suci dibangun
dengan paduan batu bata dan seni hias Majapahit dan pilar pilar raksasa dari
kayu meniru pendopo Jawa untuk keperluan ritual Islam. Kreativitas seni
panggung Jawa diubah atau diciptakan boleh jadi berupa penggantian bentuk
manusia dengan bentuk wayang yang disesuaikan agar tidak mengganggu orang-orang
Islam yang saleh. Norma-norma Islam tentunya bukan satu-satunya yang terdapat
di kota pesisir di abad 16. Dapat dibayangkan adanya sebuah inti orang saleh di
sekitar masjid di kota-kota pelabuhan yang memiliki hubungan internasional,
arus tidak terputus-putus (konstan) dari orang-orang Jawa Non Muslim dari
pedalaman, dan keraton yang berupaya mendapat dukungan baik dari Islam maupun
dari orang Jawa.
D. EKONOMI
MARITIM DI INDONESIA
Pembanggunan
ekonomi maritim merupakan studi yang sangat luas, meliputi berbagai bidang,
berbagai unsur, dan berbagai aspek pembangunan yang sangat luas, berbagai
bidang meliputi bidang-bidang ekonomi, sosial (dan budaya), dan politik.
Mengingat sangat pentingnya peranan dan fungsi pembangunan maritim, maka
pembangunan ekonomi maritim perlu dipelajari sebagai suatu studi tersendiri,
dalam upaya mendukung pengembangan dan pengelolaan sumber-sumberdaya
kemaritiman dan kelautan secara lebih optimal dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat matitim yang lebih tinggi.
Diawal
buku ini membahas mengenai pengertian, peranan, dan fungsi pembangunan ekonomi
maritim. Pada bab ini dipaparkan mengenai pengertian pembangunan ekonomi
maritim adalah kajian yang mempelajari bahasan tentang peningkatan kapasitas
produksi untuk melakukan pembangunan laut, sebagai media atau arena
pembangunan, sebagai tempat dilakukannya pembangunan. Orientasi bahasanya
lebih banyak ke arah pembangunan di perairan atau laut daripada ke arah
daratan.
Menurut Rahardjo Adisasmita, konsep
pembangunan yang lebih tepat diterapkan untuk Indonesia sebagai negara
kepulauan yang memiliki wilayah yang sangat luas, adalah konsep pembangunan
ekonomi arhipelago (Archipelogic Economy). Archipelago berarti
kenusantaraan. Kenusantaraan berarti suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari
daratan dan perairan, atau pulau-pulau dan laut. Jadi Ekonomi Archipelago
diartikan sebagai pembangunan ekonomi yang diorientasikan ke arah daratan (landward
development) dan ke arah laut (seaward development) secara
bersama-sama. Menurut hasil pengkajian secara koseptual, dapat dikatakan bahwa
Ekonomi Archipelago ternyata lebih luas dibandingkan dengan Ekonomi Kepulauan,
Ekonomi Kelautan, dan Ekonomi Maritim, karena pendekatannya yang lebih
komprehensif, yaitu serentak, serempak, simultan, dan proporsional, dan sasaran
pembangunannya yang diorientasikan ke arah darat sekaligus diorientasikan pula
ke arah perairan/laut.
Pembahasan
bab-bab selanjutnya adalah mengenai peranan dan fungsi pembangunan ekonomi
maritim. Pembangunan ekonomi maritim memiliki peranan yang sangat penting,
antara lain sebagai berikut :
·
Merupakan wadah atau arena (media) kegiatan penangkapan ikan
dan hasil-hasil laut lainnya, yang dilakukan oleh kelompok nelayan, yang
menggunakan perahu penangkap ikan, kapal motor penangkap ikan, bagang, jaring
ikan, pancing (kail) dan lainnya.
·
Melayani kegiatan transportasi laut menggunakan kapal laut,
kapal motor atau perahu layar bermotor untuk mengangkut barang dan manusia dari
tempat asal ke tempat tujuan, dari daerah produksi ke daerah pemasara yang
tersebar letaknya.
·
Melayani kegiatan perdagangan antar pulau, melayani
pengiriman komoditas hasil pertanian dalam arti luas (tanaman pangan,
perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan) dan barang manufaktur dari
pelabuhan di daerah produksi ke pelabuhan-pelabuhan di daerah konsumsi.
·
Kegiatan pembangunan sektor maritim sangat luas, meliputi
berbagai sektor usaha (yaitu pelayaran antar pelabuhan, perdagangan antar pulau
(antar daerah), kegiatan pelabuhan dan di daerah pelabuhan, kegiatan wisata
bahari, dan sebgainya) melibatkan tenaga kerja yang jumlahnya sangat banyak,
modal usaha dan investasi yang sangat besar.
ekonomi maritim adalah sangat penting atau
sangat besar dalam perekonomian Indonesia, yang sering dikaitkan dengan volume
angkutan barang yang dilakukan melalui laut. Angkutan barang melalui laut
mencapai sekitar 75 persen dari totak angkutan barang di Indonesia. Fungsi
transportasi maritim (atau sering dikatkan transportasi laut) dapat dibedakan
menjadi dua, atau dapat dikelompokan menjadi 2 fungsi utama, yaitu fungsi
penunjang dan fungsi pendorong.
Fungsi
yang pertama adalah fungsi penunjang, yaitu bahwa transportasi maritim
melayani pengembangan kegiatan kegiatan lain yang menggunakan fasilitas
(sarana dan prasarana) transportasi maritim. Berbagai kegiatan yang
menggunakan jasa transportasi maritim, seperti angkutan barang dan manusia,
perdagangan (pemasaran) berbagai komoditas hasil bumi dan barang manufaktur
antar daerah, dan kegiatan lain yang terkait lainnya.
Adapun fungsi yang kedua adalah
fungsi pendorong. Fungsi pendorong maksudnya adalah bahwa transportasi maritim
diharapkan dapat membantu membuka keterisolasian daerah-daerah, selain daerah
terisolasi meliputi pula daerah terpencil, daerah perbatasan, dan daerah
tertinggal. Indonesia sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia belum mampu memberdayakan potensi ekonomi
maritim. Negeri ini juga belum mampu mentransformasikan sumber kekayaan laut
menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Indonesia bagaikan
negara raksasa yang masih tidur.
Indonesia juga memiliki posisi strategis, antar benua yang menghubungkan negara-negara ekonomi maju. Posisi geopolitis strategis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai jalur ekonomi. Pasalnya beberapa selat strategis yang merupakan jalur perekonomian dunia berada di wilayah NKRI, yakni, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makassar dan Selat Ombai-Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi antar bangsa. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km persegi yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km persegi. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km persegi. Dengan cakupan yang demikian besar dan luas, tentu saja maritim Indonesia mengandung keanekaragaman alam laut yang potensial, baik hayati dan nonhayati. Sehingga, sudah seharusnya sektor kelautan dijadikan sebagai penunjang perekonomian negara ini. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sumbangan sektor perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) memiliki peranan strategis. Terutama dibandingkan sektor lain dalam sektor perikanan maupun PDB nasional. Pada tahun 2008 saja tercatat PDB pada subsektor perikanan mencapai angka Rp 136,43 triliun. Nilai ini memberikan kontribusi terhadap PDB kelompok pertanian menjadi sekitar 19,13 persen atau kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 2,75 persen. Hingga triwulan ke III 2009 PDB perikanan mencapai Rp128,8 triliun atau memberikan kontribusi 3,36 persen terhadap PDB tanpa migas dan 3,12 persen terhadap PDB nasional.
Indonesia juga memiliki posisi strategis, antar benua yang menghubungkan negara-negara ekonomi maju. Posisi geopolitis strategis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai jalur ekonomi. Pasalnya beberapa selat strategis yang merupakan jalur perekonomian dunia berada di wilayah NKRI, yakni, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makassar dan Selat Ombai-Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi antar bangsa. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km persegi yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km persegi. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km persegi. Dengan cakupan yang demikian besar dan luas, tentu saja maritim Indonesia mengandung keanekaragaman alam laut yang potensial, baik hayati dan nonhayati. Sehingga, sudah seharusnya sektor kelautan dijadikan sebagai penunjang perekonomian negara ini. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sumbangan sektor perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) memiliki peranan strategis. Terutama dibandingkan sektor lain dalam sektor perikanan maupun PDB nasional. Pada tahun 2008 saja tercatat PDB pada subsektor perikanan mencapai angka Rp 136,43 triliun. Nilai ini memberikan kontribusi terhadap PDB kelompok pertanian menjadi sekitar 19,13 persen atau kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 2,75 persen. Hingga triwulan ke III 2009 PDB perikanan mencapai Rp128,8 triliun atau memberikan kontribusi 3,36 persen terhadap PDB tanpa migas dan 3,12 persen terhadap PDB nasional.
Di antaranya, tanaman bahan
makanan sebesar Rp347,841 triliun, perikanan Rp136,435 triliun, tanaman
perkebunan Rp106,186 triliun, peternakan Rp82,835 triliun, dan kehutanan
Rp32,942 triliun. Kemudian hingga triwulan III 2009, PDB kelompok pertanian,
peternakan, kehutanan, dan perikanan sebesar Rp654,664 triliun. Dengan rincian,
tanaman bahan makanan Rp331,955 triliun, perikanan Rp128,808 triliun, tanaman
perkebunan Rp84,936 triliun, peternakan Rp 76,022 triliun, dan kehutanan Rp
128,808 triliun. Dari jenis sektor dalam kelompok pertanian, perikanan yang
memiliki kenaikan rata-rata tertinggi sejak tahun 2004–2008 sebesar 27,06 persen.
Kemudian sektor tanaman bahan makanan 20,66 persen, tanaman perkebunan 21,22
persen, peternakan 19,87 persen,dan kehutanan 18,81 persen.
Catatan ini, semakin menguatkan
anggapan bahwa sektor maritim sangat potensial dikembangkan sebagai
penunjang ekonomi nasional. Tentu saja, sektor kelautan tidak hanya
menghasilkan produk perikanan. Ironis, sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia dengan sumber daya alam berlimpah, perekonomian Indonesia malah semakin
terpuruk. Hutang negarapun terus menggunung. Jumlahnya tidak
tanggung-tanggung, mencapai Rp164,4 triliun atau mengambil 13,68 persen dari
anggaran belanja negara 2011.
Melambungnya hutang tahun ini
disebabkan adanya peningkatan hutang jatuh tempo. Total hutang pemerintah yang
membengkak pada Januari 2011 mencapai Rp1.695 triliun atau naik Rp17,13 triliun
dibanding akhir 2010. Bila dikonversi ke kurs dolar Amerika Serikat, hutang
Indonesia sekitar 187,19 miliar dolar AS.
Sementara jika mengacu pada pendapatan kotor
negara sebesar Rp6,422 triliun, rasio hutang Indonesia sebesar 26 persen. Jelas
ini angka yang tidak kecil. Pertanyaan besar muncul, seberapa besar pemanfaatan
sumber kekayaan Indonesia sebagai negara kepulauan bisa menutupi hutang yang
menumpuk tersebut? Guna menuju langkah
ini diperlukan komitmen yang mengarahkan pemerintah harus fokus pada
perekonomian nasional di bidang maritim. Ini karena Indonesia memiliki potensi
pembangunan ekonomi maritim yang besar dan beragam serta belum sepenuhnya dikelola.
Berbagai sektor dapat dikembangkan dalam upaya memajukan dan memakmurkan
perekonomian negara, mulai dari perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri
pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi maritim, pertambangan dan
energi, pariwisata bahari, angkutan laut, jasa perdagangan, industri maritim,
pembangunan maritim (konstruksi dan rekayasa), benda berharga dan warisan
budaya (cultural heritage), jasa lingkungan, konservasi sampai dengan
biodiversitasnya.
Konsenterasi pembangunan
perekonomian di bidang maritim diharapkan dapat mengatasi keterbatasan
pengembangan ekonomi berbasis daratan dan stagnasi pertumbuhan ekonomi.
Terlebih, laut Indonesia memiliki potensi besar yang mampu menghasilkan
produk-produk unggulan. Banyak pihak memprediksi, permintaan produk maritim
akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk dunia. Sehingga,
ekonomi maritim diyakini dapat menjadi unggulan kompetitif dalam memecahkan
persoalan bangsa. Berdasarkan
kajian yang dilakukan Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB
dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Puslitbang Oseanologi LIPI
pada tahun 1997-1998, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) untuk
sektor perikanan berkisar antara 2,75-3,95. Ini mengindikasikan subsektor tersebut
mempunyai prospek cukup baik bagi investasi. Sementara sektor pariwisata
bahari, merupakan sektor yang paling efisien dan mempunyai resiko paling kecil
dalam penanaman modal dibandingkan dengan sub sektor lain. Kajian tersebut merekomendasikan tiga hal yang harus
dilakukan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional berbasis
maritim, yaitu memperbesar dan memperluas diversifikasi sektor-sektor maritim,
memperbanyak investasi dengan memberikan stimulus pada sektor-sektor yang
mempunyai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang relatif
rendah (perikanan dan pariwisata) serta meningkatkan efisiensi yang mencakup
alokasi usaha optimum berdasarkan jenis usaha, lokasi dan compatibility antar
sektor maritim.
Adapun selama ini kontribusi
bidang maritim masih didominasi sektor pertambangan, diikuti perikanan dan
sektor-sektor lain. Hal itu mengindikasikan jika sektor tersebut dipisah,
maka sub bidang yang ada akan memiliki kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan
PDB nasional.
Ekonomi Maritim
Indonesia Dikuasai Asing
Salah satu potensi perekonomian
maritim terbesar yang dimiliki Indonesia adalah sumber minyak bumi dan gas.
Sayangnya, Indonesia belum bisa memanfaatkannya secara maksimal. Ironisnya, sebagian
besar sumber-sumber energi tidak terbaharukan ini dikuasai pihak asing.
Padahal sangat jelas, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyebut “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Alih-alih memakmurkan rakyat, membayar
hutang negara pun tidak mampu.
Salah satu contoh sikap pemerintah yang pro terhadap kepentingan asing adalah polemik blok Migas West Madura. Sekadar informasi, mulanya saham West Madura dimiliki Pertamina (50 persen), Kodeco (25 persen), dan CNOOC (25 persen). Sebulan menjelang habisnya masa kontrak, Kodeco mengalihkan sebagian sahamnya ke PT Sinergindo Cahaya Harapan dan CNOOC ke Pure Link Ltd, masing-masing sebesar 12,5 persen. Meski bukan pemegang saham mayoritas, selama ini blok West Madura dikelola Kodeco, perusahaan minyak asal Korea Selatan.
Salah satu contoh sikap pemerintah yang pro terhadap kepentingan asing adalah polemik blok Migas West Madura. Sekadar informasi, mulanya saham West Madura dimiliki Pertamina (50 persen), Kodeco (25 persen), dan CNOOC (25 persen). Sebulan menjelang habisnya masa kontrak, Kodeco mengalihkan sebagian sahamnya ke PT Sinergindo Cahaya Harapan dan CNOOC ke Pure Link Ltd, masing-masing sebesar 12,5 persen. Meski bukan pemegang saham mayoritas, selama ini blok West Madura dikelola Kodeco, perusahaan minyak asal Korea Selatan.
Sikap pemerintah yang berpihak
pada kepentingan perusahaan asing terlihat dari beberapa kebijakannya. Pertama,
Pertamina sejak Mei 2008 telah lima kali meminta kepada pemerintah agar blok
West Madura sepenuhnya dikelola BUMN. Sayang, hingga kini pemerintah belum
mengabulkan permintaan tersebut. Di sisi lain proses pengalihan saham dari
Kodeco dan CNOOC ke PT Sinergindo Citra Harapan (SCH) dan Pure Link Investment
Ltd (PLI) hanya berlangsung dalam beberapa hari saja. Itupun tanpa tender yang
transparan.
Kedua, porsi saham Pertamina di
West Madura adalah yang paling besar. Namun pada kenyataannya yang menjadi
pengelola adalah Kodeco dengan kemampuan produksi hanya berada pada level 13-14
ribu bph. Di sisi lain, Pertamina menyatakan sanggup menyedot minyak di ladang
itu hingga 30 ribu barel per hari.
Ketiga, potensi cadangan blok tersebut menurut Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) cukup besar, yakni 22,22 juta barel minyak dan gas sebesar 219,8 BCFG. Jika diasumsikan harga minyak mentah 100 dolar AS per barrel dan gas 4 dolar AS per MMbtu, maka nilai potensi migas blok tersebut dapat mencapai Rp28 triliun.
Jika blok tersebut dapat diproduksi 30 ribu barel migas perhari, cadangan tersebut baru habis selama enam tahun. Setelah dipotong cost recovery 10 dolar AS perbarel, kekayaan yang dapat diraup sekitar Rp4 triliun pertahun. Menyerahkan pengelolaan kepada Kodeco, Pertamina sebagai BUMN tidak mendapat keuntungan sebagai operator. Inilah ironi negara yang kaya migas namun pengelolaannya justru didominasi pihak asing. Padahal Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya dibanding perusahaan asing. Kondisi ini terjadi karena terpasung regulasi yang kapitalistis, khususnya UU Migas No 22/2001, Pertamina disejajarkan dengan perusahaan-perusahan swasta termasuk asing. Dalam praktiknya bahkan cenderung dianaktirikan. Walhasil kekayaan negara ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan rakyat. Dari aspek sumber daya alam, Indonesia merupakan negara kaya. Tanah subur kaya mineral, lautan kaya ikan, berbagai barang tambang strategis, minyak dan gas tertimbun di perut bumi Indonesia. Namun jika dicermati satu-persatu, intervensi dan penguasaan oleh asing masih begitu besar dalam pemanfaatan sumberdaya alat tersebut. Berdasarkan data Indonesia Energy Statistic 2009, yang dikeluarkan Kementerian ESDM, total cadangan minyak Indonesia mencapai 7,998 MMSTB (million standard tanker barrel). Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Sementara cadangan gas mencapai 159,63 TSCF (triliun standard cubic feet) atau terbesar ke-11 dunia.
Ketiga, potensi cadangan blok tersebut menurut Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) cukup besar, yakni 22,22 juta barel minyak dan gas sebesar 219,8 BCFG. Jika diasumsikan harga minyak mentah 100 dolar AS per barrel dan gas 4 dolar AS per MMbtu, maka nilai potensi migas blok tersebut dapat mencapai Rp28 triliun.
Jika blok tersebut dapat diproduksi 30 ribu barel migas perhari, cadangan tersebut baru habis selama enam tahun. Setelah dipotong cost recovery 10 dolar AS perbarel, kekayaan yang dapat diraup sekitar Rp4 triliun pertahun. Menyerahkan pengelolaan kepada Kodeco, Pertamina sebagai BUMN tidak mendapat keuntungan sebagai operator. Inilah ironi negara yang kaya migas namun pengelolaannya justru didominasi pihak asing. Padahal Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya dibanding perusahaan asing. Kondisi ini terjadi karena terpasung regulasi yang kapitalistis, khususnya UU Migas No 22/2001, Pertamina disejajarkan dengan perusahaan-perusahan swasta termasuk asing. Dalam praktiknya bahkan cenderung dianaktirikan. Walhasil kekayaan negara ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan rakyat. Dari aspek sumber daya alam, Indonesia merupakan negara kaya. Tanah subur kaya mineral, lautan kaya ikan, berbagai barang tambang strategis, minyak dan gas tertimbun di perut bumi Indonesia. Namun jika dicermati satu-persatu, intervensi dan penguasaan oleh asing masih begitu besar dalam pemanfaatan sumberdaya alat tersebut. Berdasarkan data Indonesia Energy Statistic 2009, yang dikeluarkan Kementerian ESDM, total cadangan minyak Indonesia mencapai 7,998 MMSTB (million standard tanker barrel). Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Sementara cadangan gas mencapai 159,63 TSCF (triliun standard cubic feet) atau terbesar ke-11 dunia.
Indonesia merupakan produsen batu
bara terbesar ke-15 dunia. Per 2009 cadangan batubara mencapai 126 miliar ton.
Indonesia juga kaya dengan energi panas bumi (geotermal) yang tersebar di
berbagai penjuru nusantara, potensinya mencapai 28,1 GW. Barang tambang seperti
nikel, emas, perak, timah, tembaga dan biji besi juga jumlahnya sangat
melimpah. Bahkan Indonesia diketahui memiliki kualitas nikel terbaik di dunia.
Namun, kekayaan alam tersebut justru lebih
banyak dinikmati negara lain ketimbang penduduk Indonesia. Berdasarkan Neraca
Energi 2009 dari 346 juta barrel minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri,
38 persen diekspor ke luar negeri. Ironisnya pada saat yang sama Indonesia
harus mengimpor minyak mentah 129 juta BOE, atau 35 persen dari total produksi
dalam negeri. Ini terjadi karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai
swasta termasuk asing. Di sisi lain, rakyat terus dibuat sengsara akibat harga
minyak dinaikkan agar sesuai dengan standar internasional.
Demikian pula dengan gas alam
Indonesia. Produksinya dimonopoli swasta asing. Sebagian besar hasilnya dijual
ke luar negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari total produksi 459
juta BOE (barrel of oil equivalent) pada 2009, hampir 60 persen diekspor ke
luar negeri yang terdiri dari gas alam (12 persen) dan dalam bentuk LNG 48
persen. Sisanya dibagi-bagi untuk industri (19 persen), PLN (10 persen) dan
lain-lain. Padahal,
dengan jumlah tersebut, kebutuhan domestik sangat tidak memadai. Sejumlah
industri menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama juga dialami PLN.
Akibat kekurangan gas, PLN terpaksa menggunakan minyak yang biaya produksinya
jauh lebih mahal. Negeri ini amat kaya, namun perut penduduknya kelaparan.
Ibarat anak ayam mati di lumbung padi.
Industri dan Jasa
Maritim
Sebagai negara maritim terbesar
di dunia sudah seharusnya Indonesia menjadi bangsa yang makmur dan disegani.
Namun, kenyataannya dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah, negara
ini seakan tak berdaya. Apalagi di bidang industri maritim, roda perekonomian
Indonesia lumpuh terpenjara oleh kepentingan asing. Luas laut Indonesia yang
mencapai 5,8 juta km persegi, terdiri dari 0,3 juta km persegi perairan
teritorial, 2,8 juta km persegi perairan pedalaman dan kepulauan 2,7 juta km
persegi Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), serta dikelilingi lebih dari 17.504 pulau,
menyimpan kekayaan yang luar biasa. Jika dikelola dengan baik, potensi kelautan
Indonesia diperkirakan dapat memberikan penghasilan lebih dari 100 miliar
dolar AS per tahun. Namun yang dikembangkan kurang dari 10 persen.
Melihat besarnya potensi laut
nusantara, sudah seharusnya Indonesia mempunyai infrastruktur maritim kuat,
seperti, pelabuhan yang lengkap dan modern; sumber daya manusia (SDM) di bidang
maritim yang berkualitas; serta kapal berkelas, mulai untuk jasa pengangkutan
manusia, barang, migas, kapal penangkap ikan sampai dengan armada TNI Angkatan
Laut (AL). Namun,
kondisi ideal tersebut sulit tercapai. Hal ini terjadi karena industri maritim
Indonesia tidak dikelola dengan benar. Sehingga tak satu pun negara yang segan
dan menghormati Indonesia sebagai bangsa maritim. Negara asing menempatkan
bangsa Indonesia sebagai pasar produk mereka. Ironisnya, pemerintah hanya
berdiam diri tanpa melakukan langkah perbaikan.
Padahal, kedepan industri
kelautan Indonesia akan semakin strategis, seiring dengan pergeseran pusat
ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini terlihat 70 persen
perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen
produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan
nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.
Potensi ini dimanfaatkan Singapura, dengan
membangun pelabuhan pusat pemindahan (transhipment) kapal-kapal perdagangan
dunia. Negara yang luasnya hanya 692.7 km persegi, dengan penduduk 4,16 juta
jiwa itu telah menjadi pusat jasa transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan ekspor
barang dan komoditas Indonesia 70 persen melalui Singapura.
Selama ini sudah menjadi rahasia
umum bila industri dan jasa maritim Indonesia berada di bawah kendali
Singapura. Lihat saja sebagian kapal yang berlayar menghubungkan antar pulau
sebagian besar menggunakan bendera negeri The Red Dot, khususnya kapal yang
memuat barang-barang terkait dengan berbagai macam industri.
Sebagai contoh industri perkapalan yang bertebaran di beberapa tempat di Kepulauan Riau, khususnya di pulau Batam dan beberapa pulau sekitarnya, termasuk pulau Karimun. Di sana terdapat investasi bidang perkapalan dan mayoritas pelakunya berasal dari negeri yang sangat takut terhadap KKO/Marinir Indonesia. Pertanyaannya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Tidak sulit untuk menjawabnya yaitu bisa jadi karena ada pembiaran dari pembuat kebijakan di bidang investasi. Bisa pula karena para pembuat kebijakan di negeri ini tidak paham strategisnya dunia maritim bagi Indonesia. Tersiar kabar pula, ada agen-agen dari Singapura di beberapa tempat strategis yang siap memotong bila ada kebijakan maritim yang menguntungkan Indonesia atau sebaliknya merugikan negeri tersebut. Keadaan semakin rumit karena sebagian industri perkapalan di dalam negeri masih harus berurusan dengan Singapura. Mengenai pembangunan kapal misalnya, seperti propeler, sistem pendorong, radar dan lain sebagainya, pabrikan subsistem tersebut terkadang tidak mau galangan Indonesia berhubungan langsung dengan kantor pusat mereka di Eropa atau Amerika. Tapi, harus melewati perwakilan regional mereka yang berada di negeri pencuri pasir itu. Pertanyaan besar muncul, kapan bangsa Indonesia sadar akan hal ini dan bertindak memutus rantai pengendalian negeri kecil tersebut?
Sebagai contoh industri perkapalan yang bertebaran di beberapa tempat di Kepulauan Riau, khususnya di pulau Batam dan beberapa pulau sekitarnya, termasuk pulau Karimun. Di sana terdapat investasi bidang perkapalan dan mayoritas pelakunya berasal dari negeri yang sangat takut terhadap KKO/Marinir Indonesia. Pertanyaannya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Tidak sulit untuk menjawabnya yaitu bisa jadi karena ada pembiaran dari pembuat kebijakan di bidang investasi. Bisa pula karena para pembuat kebijakan di negeri ini tidak paham strategisnya dunia maritim bagi Indonesia. Tersiar kabar pula, ada agen-agen dari Singapura di beberapa tempat strategis yang siap memotong bila ada kebijakan maritim yang menguntungkan Indonesia atau sebaliknya merugikan negeri tersebut. Keadaan semakin rumit karena sebagian industri perkapalan di dalam negeri masih harus berurusan dengan Singapura. Mengenai pembangunan kapal misalnya, seperti propeler, sistem pendorong, radar dan lain sebagainya, pabrikan subsistem tersebut terkadang tidak mau galangan Indonesia berhubungan langsung dengan kantor pusat mereka di Eropa atau Amerika. Tapi, harus melewati perwakilan regional mereka yang berada di negeri pencuri pasir itu. Pertanyaan besar muncul, kapan bangsa Indonesia sadar akan hal ini dan bertindak memutus rantai pengendalian negeri kecil tersebut?
Penghambat Industri
Maritim
Di sisi lain, banyak faktor yang
menghambat pembangunan industri maritim nasional. Pertama, sistem finansial.
Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia, yang sebagian
besar keuntungannya diperoleh dari penempatan dana di Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), untuk pembiayaan industri maritim sangat tidak mendukung.
Ini karena bunga pinjaman sangat tinggi. Berkisar antara 11-12 persen per
tahun dengan 100 persen kolateral (senilai pinjaman).
Bandingkan dengan sistem
perbankan Singapura yang hanya mengenakan bunga dua persen+LIBOR dua persen
(total sekitar 4 persen) per tahun. Equity-nya hanya 25 persen sudah bisa
mendapatkan pinjaman tanpa kolateral terpisah. Sebagai contoh bagi pengusaha
kapal, kapal yang dibelinya bisa menjadi jaminan. Tidak heran, jika pengusaha
nasional kesulitan mencari pembiayaan untuk membeli kapal, baik baru maupun
bekas melalui sistem perbankan Indonesia.
Kedua, sesuai dengan Kepmenkeu No
370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan
Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan
Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak.
Namun, semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal
16, tentang Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang pada impor atau pada saat
perolehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula
atau dipindahtangankan. Artinya, kebijakan tersebut banci. Jika pengusaha
menjual kapalnya sebelum 5 tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar
22,5 persen dari harga penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea
masuk 5 persen). Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih
dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung
rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus
membayar pajak terhutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika
demikian, industri maritim negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang
dianut. Sebaliknya, di Singapura
pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan bea masuk pembelian
kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas 20
juta dolar AS. Mereka sadar bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow
yielding sehingga diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah
Singapura juga membebaskan pajaknya. Pemerintahan
di negara maju telah berpikir meski penerimaan pajak menurun, tetapi
penerimaan dari sektor lain akan bertambah. Misalnya, semakin banyak tenaga
kerja asing tinggal dan bekerja pada akhirnya akan banyak uang yang
dibelanjakan di negara tersebut. Selain itu, transaksi perbankan biasanya akan
semakin banyak, sehingga pendapatan negara akan meningkat. Ini adalah pola pikir
dan langkah pemerintahan yang dikelola oleh negarawan cerdas.
Ketiga, buruknya kualitas sumber
daya maritim Indonesia menyebabkan biaya langsung industri maritim menjadi
tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia sepertiga gaji dari tenaga kerja asing,
tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggungjawab, menyebabkan biaya yang
harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100 persen orang
Indonesia (sesuai dengan UU No 17/2008 tentang Pelayaran) sangat tinggi.
Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan
perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.
Keempat, persoalan klasifikasi
industri maritim di tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan kendali Kementerian
BUMN dan Kementerian Perhubungan, PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), membuat
industri maritim Indonesia semakin terpuruk. Semua kapal yang diklasifikasi
atau disertifikasi PT BKI, diduga tidak diakui asuransi perkapalan kelas dunia.
Kalaupun diakui, pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat mahal.
Disinyalir, kondisi ini terjadi karena dalam
melakukan klasifikasi, PT BKI kurang profesional. Penilaiannya diragukan semua
pihak. Patut diduga PT BKI masih menganut pemahaman dengan uang pelicin
semuanya beres. Sebab itu, sebagian pemilik kapal memilih tidak meregister
kapalnya di Indonesia, tetapi di Hongkong, Malaysia atau Singapura. Akibatnya
pelaksanaan UU No 17/2008 hanya retorika. Karena mereka menganggap klasifikasi
yang dikeluarkan PT BKI sebuah ‘pepesan kosong’ yang diragukan industri
maritim global.
Jika industri maritim Indonesia
mau berkembang dan siap bersaing dengan industri sejenisnya, maka pemerintah
khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian
BUMN dan Kementerian Keuangan harus membuka mata dan jangan mau dipengaruhi
para pelobi yang mewakili pihak-pihak pencari keuntungan, tanpa memikirkan
nasib bangsa. Langkah pertama, melakukan revitalisasi atau deregulasi di
sektor fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif. Kecuali bangsa ini mau
menjadi pecundang terus. Selanjutnya lakukan perombakan total di lingkungan
lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi
kerugian mengakui keberadaannya. Kemudian, susun ulang kurikulum lembaga
pendidikan maritim oleh Kemendiknas agar Indonesia mempunyai sumber daya
manusia maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab. Jika tidak industri
maritim Indonesia hanya tinggal nama.
Industri Perkapalan
Indonesia dengan perairan yang
luas, membutuhkan sarana transportasi kapal yang mampu menjangkau pulau-pulau
yang jumlahnya mencapai lebih dari 17.504 pulau. Tidak heran jika kebutuhan
industri perkapalan setiap tahun terus meningkat. Sebagai negara kepulauan,
sudah seharusnya Indonesia mengembangkan industri perkapalan nasional.
Kebijakan ini didukung dengan adanya Inpres No 5/2005 yang intinya bahwa
seluruh angkutan laut dalam negeri harus diangkut kapal berbendera Indonesia.
Tetapi, permintaan tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan memproduksi
kapal. Industri
perkapalan merupakan industri padat karya dan padat modal yang memiliki daya
saing tinggi. Karena itu, dukungan pemerintah sebagai pemegang kewenangan
sangat penting. Faktor kebijakan moneter dan fiskal, masih sulitnya akses dana
perbankan dan tingginya bunga menjadi beban para pelaku usaha. Industri kapal
juga diharuskan membayar pajak dua kali lipat. Masalah lain adalah minimnya
keterlibatan perbankan. Perbankan enggan menyalurkan kredit kepada industri perkapalan.
Mereka beranggapan, industri perkapalan penuh risiko karena kontrol terhadap
industri ini sulit.
Selain itu, masalah lahan yang
digunakan industri perkapalan terutama galangan kapal besar berada di daerah
kerja pelabuhan dan hak pengelolaan lahan (HPL) dikuasai PT Pelindo. Sehingga
Industri perkapalan masih sangat tergantung pada HPL. Padahal, jika ada
keleluasaan lahan di pelabuhan bukan tidak mungkin industri kapal lebih
berkembang. Dalam pengembangan jasa maritim hendaknya diarahkan untuk meraih
empat tujuan secara seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tinggi secara
berkelanjutan dengan industri dan jasa maritim sebagai salah satu penggerak
utama (prime mover); (2) peningkatan kesejahteraan seluruh pelaku usaha,
khususnya para pemangku kepentingan yang terkait industri dan jasa maritim;
(3) terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya maritim; dan (4)
menjadikan industri dan jasa maritim sebagai salah satu modal bagi pembangunan
maritim nasional. Sehingga, ada benang merah yang dapat terlihat antara ocean
policy dan pengelolaan sumber daya maritim dengan industri dan jasa maritim
sebagai penggerak bagi pertumbuhan sektor maritim.
Pertumbuhan industri perkapalan dan pelayaran
nasional masih terkendala berbagai faktor, baik dari sisi politik maupun
pendanaan. Dukungan politik bersumber dari political will pemerintah dan
lembaga DPR melalui regulasi seperti kewajiban menggunakan produk dalam
negeri serta kemudahan perbankan nasional melalui bantuan pembiayaan industri
pekapalan. Selama ini perbankan tidak mau ambil resiko terhadap bisnis
ini, padahal bisnis industri perkapalan sangat jelas akan mendorong
pertumbuhan ekonomi sektor maritim.
Produksi industri galangan kapal
tahun 2011 ini diprediksi bakal meningkat mencapai 850.000 dead weight ton
(DWT). Menurut data Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan
Kementerian Perindustrian RI, hingga tahun 2009, kapasitas produksi terpasang
industri galangan kapal Indonesia adalah sebesar 650.000 DWT. Peningkatan order
ini salah satunya dipicu oleh adanya order pembuatan kapal dari Pertamina.
Untuk tahun 2010 saja, Pertamina telah memesan
enam unit kapal dari industri galangan kapal dalam negeri. Bahkan, hingga 2015
nanti, Pertamina berencana menambah 35 unit kapal tankernya. Pertamina mengubah
paradigma dengan mengurangi kapal sewaan karena pengalaman tahun 2006 lalu saat
terjadi bencana tsunami di Aceh. Saat itu kapal sewaan tidak ada yang mau
mengantar barang ke lokasi bencana, padahal Pertamina sebagai agent of
development pemerintah harus melakukan pengantaran ke daerah manapun di NKRI
termasuk di wilayah yang terkena bencana. Pemerintah
berupaya mendorong agar industri galangan kapal nasional dapat menikmati pasar
di dalam negeri yang terus berkembang. Terlebih lagi, adanya kebijakan asas
cabotage sebenarnya memberi peluang bagi pelaku industri untuk meningkatkan produksi.
Seperti yang diketahui, pada Agustus 2010 empat galangan kapal nasional
mendapat kepercayaan untuk membangun lima unit kapal baru milik Pertamina
senilai 87,38 juta dolar AS. Kelima kapal baru yang dikerjakan di galangan PT
PAL Indonesia, PT DPS, PT DRU dan PT Dumas Tanjung Perak tersebut,
masing-masing berukuran 3.500 Long Ton Dead Weight (LTDW), 6.500 LTDW, dan
17.500 LTDW. Pertambahan kapasitas akan
dilakukan oleh beberapa perusahaan seperti PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS)
dan Galangan Brondong Lamongan akan menambah kapasitas sebesar 300 ribu DWT.
Saat ini, pembangunan fasilitas galangan kapal baru oleh DPS di Lamongan sudah
mencapai 80 persen sehingga akan ada tambahan kapasitas terpasang sebesar
300.000 DWT. Bahkan Galangan Lamongan sudah mampu menampung pesanan kapal
Pertamina berukuran 17.500 hingga 30.000 DWT. Di samping itu, PT Samudra Marine
Indonesia juga akan menambah kapasitas galangan kapal Banten menjadi sekitar
150 ribu DWT-200 ribu DWT. Saat ini kapasitasnya baru sekitar 100.000 DWT.
Galangan kapal lainnya berada di Kepulauan Riau. Sementara itu, PT Dok
Perkapalan Koja Bahari (DPKB), ekspansinya akan diarahkan untuk masuk dalam
proyek elpiji Blok Masella, dan kemungkinan kapasitasnya akan tambah sekitar
300 ribu DWT. Pengerjaannya akan bekerja sama dengan perusahaan Korea Selatan.
Industri Perikanan
dan Bioteknologi
Industri perikanan dan
bioteknologi diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar 82 miliar dolar AS
per tahun. Namun karena pemerintah belum serius menggarap sub sektor ini
(berdasarkan kajian PKSPL IPB; 2006), Indonesia diperkirakan kehilangan
potensi pendapatan dari produk-produk bioteknologi maritim sekitar 1 miliar
dolar AS per tahun. Hal ini disebabkan karena lemahnya aplikasi
bioteknologi maritim serta jarangnya pengusaha yang terjun ke sektor tersebut.
Padahal berdasarkan inventarisasi Divisi Bioteknologi Kelautan PKSPL IPB, terdapat
35.000 biota laut, sehingga Indonesia mempunyai potensi pendapatan miliaran
dolar per tahun dari produk-produk bioteknologi.
Negara-negara maju yang memiliki sumberdaya
maritim terbatas, seperti produk bioteknologi maritim Amerika Serikat, mereka
mendapat pendapatan hingga 4,6 miliar dolar AS, sedangkan Inggris
meraup keuntungan dari sektor ini sekitar 2,3 miliar dolar AS. Pemanfaatan
industri perikanan dan bioteknologi ini meliputi industri makanan dan minuman,
farmasi, kosmetika dan bio-energi. Semua bisa disediakan Indonesia dengan
sumber daya alam yang ada. Adapun produk-produk yang bisa dihasilkan dari
hasil rekayasa biota laut antara lain makanan, tablet, salep, suspensi, pasta
gigi, cat, tekstil, perekat, karet, film, pelembab, shampo, lotion dan produk
wet look. Sebagai contoh, pemanfaatan kurang maksimal yang dilakukan Indonesia
adalah rumput laut. Padahal rumput laut selain sebagai bahan makanan,
juga dapat diolah menjadi lebih dari 500 produk komersil. Sayangnya, Nilai
ekspor rumput laut Filipina bisa mencapai 700 juta dolar AS, sementara
Indonesia hanya 45 juta dolar AS saja. Padahal 65 persen bahan mentah mereka
diimpor dari Indonesia termasuk dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Selatan. Artinya, Indonesia kurang kuat dalam industri end
product maritim karena dukungan teknologi serta formulasi yang
tertinggal. Indonesia hanya mampu memanfaatkan potensi maritim sebatas bahan
baku. Hal ini antara lain disebabkan tidak padunya strategi pengelolaan
produk. Misalnya, sebagian besar kawasan potensi rumput laut ada di Indonesia Timur, namun pabrik-pabriknya
justru masih berpusat di Bekasi, Jakarta, Tangerang dan Surabaya. Melihat keterbatasan sumber daya alam daratan,
melalui bioteknologi usia pemanfaatan sumber-sumber kehidupan dapat
dipertahankan lebih lama. Potensi itu masih berlimpah dan terpendam di dalam
laut. Di bidang perikanan juga banyak aspek yang bisa digali lebih lanjut.
Konsumsi ikan rata-rata orang Indonesia juga masih berkisar di 2 kilogram per
orang per tahun (2002). Bandingkan dengan Jepang dengan rata-rata konsumsi di
atas 100 kilogram per orang per tahun. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, dalam “Jamil”
(2004) pernah memprediksi potensi perikanan Indonesia adalah 32 miliar dolar AS
per tahun. Sementara hingga 2000, realisasi ekspor hanya 1,76 miliar dolar AS.
Daniel Mohammad Rosyid, dari Institut Teknologi Surabaya (ITS), menggambarkan
potensi tuna Indonesia mencapai 25 persen dari total produksi dunia yang
mencapai 500.000 ton setahun atau setara 160.000 ton per tahun. Namun realisasi
yang ada justru baru ribuan ton saja. Belum lagi praktik illegal fishing ribuan
kapal telah merugikan Indonesia triliunan rupiah setiap tahun dan
pemanfaatan tambak yang jauh dari efektif.
Hal ini menggambarkan masih
besarnya peluang pengembangan usaha sekaligus memaparkan betapa Indonesia telah
kehilangan miliaran dolar AS setiap tahun akibat pengelolaan yang belum optimal,
yang harusnya bisa berkontribusi aktif membayar hutang negara dari industri pengolahan
ikan, kurangnya bahan baku menjadi penyebab tidak berkembangnya industri
ini. Utilitas pabrik yang rata-rata hanya 45 persen. Menjadi masalah karena
banyak hasil tangkapan ikan yang langsung diekspor ke luar negeri, terutama ke
Thailand dan Jepang. Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan
Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No 5/2008 yang melarang ekspor
langsung hasil tangkapan perikanan. Peraturan ini, secara otomatis mewajibkan
perusahaan asing untuk bermitra dengan perusahaan lokal dalam membangun
industri pengolahan di Indonesia. Namun yang menjadi persoalan implementasi
Permen tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sumber permasalah lainnya adalah
penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), oleh pihak asing yang nilainya
ditaksir mencapai Rp30 triliun per tahun. Hal ini bisa diatasi bila Indonesia
memiliki kapal-kapal tangkapan ikan dengan skala menengah ke atas. Saat ini jumlah
kapal ukuran tersebut hanya tiga persen dari kebutuhan. Pemerintah
harus segera membangun dan memperbaiki infrastruktur perikanan dan kelautan
yang masih lemah ini. Tanpa upaya itu, sektor perikanan Indonesia akan
tertinggal jauh negara lain. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur di
Lampung yang merupakan lumbung udang terbesar harus menjadi perhatian serius
pemerintah.
Industri Pertahanan
Berbicara mengenai konsep negara
maritim tidak lepas dari industri pertahanan. Sebagai negara yang disatukan
lautan, Indonesia tidak hanya harus bisa menjaga kedaulatan, tetapi juga
melindungi seluruh kekayaan alam yang dimilikinya.
Connie Rahakundini Bakrie, Analis
Pertahanan Maritim melihat banyak sumber daya alam yang dimiliki Indonesia
bisa dimanfaatkan untuk kepentingan industri maritim. Salah satunya adalah
baja. Menurutnya baja adalah dasar dari industri pertahanan suatu negara.
Seperti yang dilakukan negara Taiwan. Mereka membangun industri baja, di sebelahnya
dibangun pabrik kapal. Ini strategis karena kapal-kapal besar yang mereka
bangun sewaktu-waktu bisa menjadi kapal perang. Dalam tiga menit, mereka mampu
membuat satu lempengan baja. Taiwan tercatat sebagai pembuat baja tercepat di
dunia. Mereka bisa dengan mudah mendistribusikan baja ke pabrik pembuatan kapal
yang ada di sebelahnya. Mereka mengekspor kapal-kapal besar ke luar negeri
dengan proses pembuatan hanya butuh waktu 10 minggu.
Sehingga Connie menilai industri baja sebagai
national security, dasar dari pembangunan industri militer. Baja menjadi bahan
dasar kapal-kapal perang, termasuk kapal induk milik Amerika. Salah jika
bangsa Indonesia menjualnya begitu saja. Sebaiknya potensi logam ini diolah
dengan baik, untuk mendukung industri maritim nasional. Sebelumnya perlu
dimengerti paham pentingnya pertahanan, kita tidak akan pernah sampai semua
itu. Kita perlu tentara, guna memprotek kedaulatan, tentara perlu alutista, khususnya
udara dan laut. Alutista harus kita produksi dengan membangun industri baja
sebagai dasar dari pembangunan pertahanan kita.
Namun, pihak asing tidak
menginginkan Indonesia besar dengan menguasai bahan logam berharga ini. Sebagai
bukti banyak industri pertambangan dalam negeri dikuasi pihak asing. Mereka
memiliki kepentingan dengan sumber-sumber daya alam dan energi di tanah air.
Mereka berusaha dengan berbagai cara menguasai bangsa ini.
Barang Muatan Kapal
Tenggelam
Geografis Indonesia yang
strategis yakni di antara dua benua, Asia dan Australia, dan di antara
dua samudra Hindia dan Pasifik, menjadikan wilayah perairan Indonesia sejak
dahulu kala sebagai jalur lalu lintas pelayaran internasional yang ramai yang
menghubungkan negara-negara di wilayah Eropa, Afrika, Timur tengah, Asia
Selatan dan Asia Timur. Tidak mengherankan wilayah perairan Indonesia
dikenal sebagai salah satu wilayah perairan yang dipenuhi ratusan hingga ribuan
kapal karam, terutama di jalur pelintasan dan sekitar pusat-pusat perdagangan.
Di antara kapal-kapal karam tersebut diperkirakan membawa benda-benda artefak
berupa keramik, logam mulia (emas, perak, dan perunggu), batuan berharga dan
benda lainnya yang diperkirakan memiliki nilai tinggi, sehingga banyak
terjadi pencurian dan penjualan benda-benda asal kapal tenggelam secara
ilegal. Kapal-kapal karam berikut
muatannya yang dikenal sebagai Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam
(BMKT) tersebut merupakan aset negara yang sangat berharga, baik ditinjau dari
nilai ekonomi maupun nilai sejarah dan budaya, Pemerintah melalui Panitia
Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang
Tenggelam (PANNAS BMKT) menyelenggarakan pengelolaan BMKT agar kekayaan laut
tersebut dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk negara.
Kegiatan pengelolaan BMKT telah
berhasil mengangkat BMKT sebanyak 12 (dua belas) dari beberapa lokasi kapal
karam yang selanjutnya menjadi prioritas utama PANNAS BMKT untuk pemanfaatannya,
dengan mempertimbangkan kepentingan pelestarian nilai-nilai sejarah, ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan ekonomi. Bedasarkan data dari Menteri Kelautan dan Perikanan
(KKP) sendiri menyebutkan bahwa ada sekitar 700 sampai 800 titik harta karun
yang potensial untuk diangkat, namun yang teridenfikasi baru 463 titik. Sampai
sekarang lebih kurang 46 titik yang sudah diangkat atau sekitar 10 persen. Tapi
yang terjual melalui proses pelelangan dengan baik belum ada. Direktur Institute for National Strategic Interest
& Development (INSIDe), Muhammad Danial Nafis, mengatakan persoalan BMKT,
merupakan persoalan yang sangat kompleks, dan membutuhkan penanganan secara
khusus. Aktivitas terhadap kegiatan ini skalanya besar, yaitu meliputi proses
penelitian, survei, pengangkatan, sampai pada lelang. Untuk itu, kata Nafis,
Pemerintah RI perlu membentuk lembaga yang legitimate dan mandiri yang
bertanggung jawab langsung kepada presiden dan operasionalnya dibebankan
melalui APBN. Lembaga yang terbentuk, tetap melakukan koordinasi dengan
pejabat-pejabat terkait.
Selain pengelola BMKT yang masih
berbentuk panitia nasional, BMKT juga dikelola oleh perwakilan berbagai
instansi. Hal itu akan menyulitkan dalam berkoordinasi. Melanjutkan
keterangannya, Nafis mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga
tidak memperlihatkan keseriusannya dalam mengelola BMKT. Sehingga bagaimana mau
menyelamatkan harta karun yang dibawah laut apabila di internal mereka saja
masih banyak yang harus dibenahi
Selain persoalan tersebut, BMKT juga tidak didasari dengan peraturan yang jelas. Menurutnya, Keppres yang sudah ada (Keppres No 107/2000) tidak memberikan aturan secara detil. Padahal, kata dia, jika BMKT itu mampu dikelola dengan baik, maka manfaat yang didapatkan negara sangat besar. Tidak hanya sekadar keuntungan yang bersifat materi yang didapat, tapi juga keuntungan yang sifatnya nonmateri, seperti kebudaayan, pendidikan dan lainnya. Menurutnya, keuntungan yang didapat dari satu kapal saja, mampu menembus angka Rp1 triliun. Maka, tak jarang pencurian barang berharga di dalam laut menjadi incaran para oknum yang tidak bertanggung jawab. Yang sudah banyak di keruk di kawasan Bangka Belitung, dan laut utara Jawa. Karena itu, dia berharap agar pemerintah mampu memberikan ruang gerak dan kepedulian terhadap BMKT. Wajib ada badan tersendiri yang menangani BMKT dan langsung di bawah presiden serta ada alokasi pendanaan secara jelas. Nafis menambahkan, diperlukan segera revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada termasuk UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya maupun peraturan-peraturan dibawahnya yang berhubungan dengan kelangsungan pengelolaan BMKT.
Selain itu, perlu adanya sanksi
bagi perusahaan-perusahaan yang tidak berkomitmen terhadap pemeliharaan warisan
budaya dengan mengedepankan kepentingan ekonomi. Mengomentari itu, Sekjen
PANNAS BMKT, Sudirman Saad mengatakan sesuai Keputusan Presiden Nomor 19/2007
tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal
Muatan Kapal Yang Tenggelam (PANNAS BMKT), disebutkan bahwa salah satu tugas
PANNAS BMKT adalah menyelenggarakan koordinasi kegiatan pemantauan, pengawasan,
dan pengendalian atas proses survei, pengangkatan dan pemanfaatan
BMKT. Khusus
untuk menjaga keamanan laut Republik Indonesia, pemerintah telah
membentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut yang anggotanya lintas sektor di
bidang keamanan laut seperti, TNI AL, Polisi Perairan, Kementerian Perhubungan,
dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pengamanan di laut sendiri, Sudirman
Saad mengakui masih sangat terkendala dengan sarana dan prasarana pendukung
yang tidak seimbang antara luas laut dan jumlah armada untuk pengawasan di
laut, khususnya BMKT. Sehingga, lanjut Sudirman, perlu dioptimalkan
pengawasan yang melibatkan masyarakat, khususnya nelayan. Saat ini Kementerian
Kelautan dan Perikanan telah merintis kelompok pengawas masyarakat (POKWASMAS)
di daerah pesisir di bawah pembinaan Direktorat Jenderal PSDKP.
Disinggung mengenai kurang
optimalnya PANNAS BMKT dalam melakukan penanganan, Sudirman biasa disapa dengan
tegas membantahnya. Menurutnya, penanganan BMKT sudah dilakukan serius dengan
cara proses perizinan survei dan perizinan pengangkatan harus melalui
penilaian tim teknis dan harus disetujui instansi yang terkait. Kemudian telah
dimiliki warehouse BMKT untuk penanganan BMKT hasil pengangkatan.
Tidak hanya itu, Sudirman juga
mengakui telah dilakukan pendistribusian sebagian hasil pengangkatan ke 10
lembaga, khususnya lembaga pendidikan dan penelitian untuk tujuan pengkayaan koleksi
dan menunjang ilmu pengetahuan. Sudirman mengatakan saat ini kami terus
mengoptimalkan, pengawasan dan pengendalian yang didukung dengan sumberdaya
yang memadai dari segi sarana, prasarana dan SDM. Kemudian pelibatan
masyarakat dalam mengawasi BMKT. Sementara mengenai revisi Keppres No
107/2000, Sudirman mengatakan Keppres No 107/2000 sudah mengalami dua kali
revisi sejak tahun 2007, yaitu Keppres No. 19 Tahun 2007 yang kemudian direvisi
menjadi Keppres No 12/2009. Sudirman menambahkan, mengenai penggunaan kata harta
karun, menurutnya perlu diklarifikasi, dimana penggunaan istilah harta karun
kurang tepat. Mengingat, penggunaan istilah harta karun cenderung dikaitkan
dengan aspek ekonomi yang nantinya akan menjadi incaran banyak para pemburu
harta karun. Harta karun yang dikelola PANNAS BMKT sendiri merupakan benda
berharga asal muatan kapal yang tenggelam yang mengandung aspek sejarah,
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan ekonomi. Sampai sejauh ini, Sudirman mengakui
jika kegiatan pencurian BMKT di pantai Utara Jawa, dikarenakan di perairan
tersebut banyak mengandung potensi kapal tenggelam yang mengandung BMKT.
Dijelaskan olehnya, bahwa diwilayah perairan utara Jawa tersebut sejak dahulu
kala sudah ramai dilalui kapal-kapal baik dari Cina, Eropa, Spanyol, Portugis,
VOC, yang membawa barang-barang berharga untuk kegiatan perdagangan dan
pengangkutan dimana merupakan jalur pelayaran yang relatif aman dari keganasan
perairan.
Mengenai proses penjualan BMKT
itu sendiri, Sudirman mengatakan sesuai dengan Keputusan Presiden No 19/2007
Pasal 1 angka 5. Untuk tahap pertama, dilakukan penjualan BMKT Cirebon yang
diangkat dari Perairan Laut Jawa, 70 mil utara Cirebon pada koordinat 05o 14’
55”LS dan 108o 58’ 39” BT, hasil pengangkatan sejak April 2004 sampai Oktober
2005, kurang lebih 271.834 artefak yang sebagian besar berupa keramik, gelas,
logam mulia dan batuan berharga dari Abad ke-10 dari Lima Dinasti Cina (The
Five Dynasties or Sung Dynasty), Sasanian Empire dan Fatimid Dynasty dari Timur
Tengah dan Afrika
Pelelangan BMKT Cirebon bersifat
terbuka, dapat diikuti perseorangan atau lembaga baik dari dalam maupun luar
negeri yang dilakukan dalam satu lot dengan harga limit 80 juta dolar AS.
Peserta lelang harus menyetor uang jaminan penawaran lelang sebesar 20 persen
dari harga limit atau 16 juta dolar AS.
Perikanan
Berdasakan data Kementerian
Kelautan dan Perikanan, potensi sumberdaya perikanan tangkap 6,4 juta ton per
tahun, produksi perikanan tangkap di laut sekitar 4,7 ton per tahun dari
jumlah tangkapan yang diperbolehkan maksimum 5,2 juta ton per tahun, sehingga
hanya tersisa 0,5 juta ton per tahun. Produksi Tuna naik 20,17 persen pada
2007, akan tetapi produksi Tuna hanya 4,04 persen dari seluruh produksi
perikanan tangkap. Jumlah nelayan (laut dan perairan umum) sebesar 2.755.794
orang, akan tetapi lebih dari 50 persen atau 1.466.666 nelayan berstatus sambilan
utama dan sambilan tambahan. Jumlah nelayan naik terus, yaitu 2,06 persen pada
tahun 2006-2007, sedangkan ikan makin langka.
Jumlah RTP/Perusahaan Perikanan Tangkap
958.499 buah, naik 2,60 persen, tetapi sebanyak 811.453 RTP atau 85 persen RTP
berskala kecil tanpa perahu, perahu tanpa motor, dan motor tempel. Armada
perikanan tangkap di laut sebanyak 590.314 kapal, akan tetapi 94 persen
berukuran kurang dari 5 GT dengan SDM berkualitas rendah dan kemampuan produksi
rendah. Potensi tambak seluas 1.224.076 ha, akan tetapi realisasi baru seluas
612.530 ha. Potensi budidaya laut seluas 8.363.501 ha, akan tetapi realisasi
hanya seluas 74.543 ha. Jumlah industri perikanan lebih dari 17.000 buah, akan
tetapi sebagian besar tradisional, berskala mikro dan kecil.
Tenaga kerja budidaya ikan
sebanyak 2.916.000 orang, akan tetapi kepemilikan lahan perkapita rendah dan
hidupnya memprihatinkan. Industri pengalengan ikan yang terdaftar lebih dari 50
perusahaan, akan tetapi yang berproduksi kurang dari 50 persen dengan kapasitas
produksi maksimum sekitar 60 persen. Ekspor produk perikanan 857.783 ton dengan
nilai 2.300.000 dolar AS, akan tetapi produksi turun 7,41 persen pada tahun
2006-2007, bahkan volume ekspor udang turun 5,04 persen dan nilainya pun turun
6,06 persen. Sehingga,
sudah seharusnya sektor kelautan dijadikan sebagai penunjang perekonomian
negara ini. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
sumbangan sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki
peranan strategis. Terutama dibandingkan sektor lain dalam sektor perikanan
maupun PDB nasional. Tentu saja, sektor kelautan tidak hanya menghasilkan
produk perikanan. Menurut pengamat maritim Universitas Diponegoro (Undip),
Sahala Hutabarat, untuk mengembangkan potensi sumber kekayaan laut pemerintah
harus memiliki visi maritim. Karena jika potensi sumber kekayaan laut
dioptimalkan mampu mensejahterakan masyarakat pesisir.
Indonesia itu negara kepulauan,
artinya laut Indonesia itu lebih luas dari daratannya. Jika laut dimanfaatkan
dengan optimal, mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir.
Untuk mengembangkan potensi maritim, pemerintah harus memiliki visi negara
maritim yang jelas. Sahala
juga mengkritik peran pemerintah yang tidak memiliki konsep visi negara
maritim. Seharusnya, kata Sahala, kementerian/lembaga yang terkait kemaritiman
harusnya sudah mulai membangun konsep negara maritim. Apabila melihat nasib
nelayan kita. Mereka hidup di bawah garis kemiskanan. Jika cuaca buruk, nelayan
tidak bisa melaut dan otomatis mereka tidak ada penghasilan. Sahala mengungkapkan bahwa terdapat 12 kementerian
yang terkait dengan kemaritiman dan harus memiliki konsep membangun negara
maritime agar dapat mengoptimalkan sumber kekayaan laut, diantaranya,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian, Kementrian Lingkungan, Kementerian PU, Kementerian Perhubungan,
Menteri Kordinator Kesejahteraan rakyat, dan Kementerian Koperasi.
Orientasi ekspor pada kebijakan
perikanan nasional telah menggerus bahan baku ikan pada akhirnya memaksa
perusahaan dan konsumen domestik untuk bergantung pada produk perikanan impor.
Hal ini dibuktikan dengan tingginya permintaan izin impor ikan dalam dua bulan
terakhir yang mencapai tiga juta ton atau 60 persen dari produksi perikanan
tangkap nasional. Volume yang sangat besar, sehingga dapat dipastikan
menghancurkan perekonomian nasional, khususnya nelayan tradisional.
Pemerintah dalam hal ini, menurut dia Kementerian Perdagangan dan Kementerian
Kelautan dan Perikanan tidak perlu mengambil langkah kontraproduktif.
Inisiatif pertama yang dapat
dilakukan adalah dengan menetapkan dan mengamankan kuota kebutuhan ikan
nasional, termasuk dengan mempertimbangkan peningkatan konsumsi ikan untuk lima
tahun ke depan sehingga kebutuhan domestik akan tetap terjaga. Data Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan, nilai ekspor hasil perikanan pada
periode Januari-Juli 2010 mencapai 1,62 miliar dolar AS atau naik 16,68 persen
dibanding periode yang sama pada 2009. Volume ekspor hasil perikanan sebesar
657.793 ton naik 31,95 persen dibanding tahun 2009. Sejumlah komoditas yang
nilai ekspornya meningkat antara lain ikan tuna, kepiting dalam kaleng, rumput
laut kering, kepiting beku, mutiara dan udang beku.
Bahan baku ikan masih merupakan persoalan yang
diminta untuk segera dipenuhi. Saat ini ada 114 Unit Pengolahan Ikan (UPI), dengan
utilisasi hanya 50 persen akibat kekurangan pasokan ikan, kata siaran pers
tersebut. Dalam satu UPI terdiri dari 500-1.000 tenaga kerja dan bila
dioptimalkan dapat memenuhi kebutuhan nasional atas ikan olahan, sekaligus
menyerap tenaga kerja nasional. Persoalan ini terjadi pula di Industri
pengalengan.
Ironi Impor Ikan
Di tengah upaya membangun
industrialisasi perikanan dalam negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) justru tidak bisa membendung masuknya ikan impor. Bahkan, ikan dalam
kemasan pun bebas masuk ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan dijual di
pasar-pasar tradisional. Secara teori, apa yang diwacanakan soal
industrialisasi sangat ideal. Sah-sah saja jika ada anggapan bahwa di perairan
Indonesia timur potensi ikan tangkapan masih berlimpah, sekalipun tidak ada
data pendukung yang menguatkan asumsi tersebut. Kajian stok ikan nasional
sudah lama tidak pernah dilakukan, sehingga validitas klaim tersebut
diragukan. Jika
menyimak kajian yang dilakukan Badan Pangan Dunia (FAO), status perikanan dan
populasi ikan pelagik-demersal di perairan Indonesia sudah tidak sehat. Fakta
yang terjadi, dengan kapal besar, nelayan memperluas jangkauan, meningkatkan
kapasitas penangkapan, dan menambah jumlah hari melaut, namun hasilnya tidak
sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bagaimana
kondisi ikan yang sebenarnya. Kebutuhan konsumsi ikan yang semakin meningkat
setiap tahun, maupun pasar internasional, juga membuat eksploitasi sektor
perikanan berlangsung secara besar-besaran.
Hasil penelitian yang dilakukan
FAO pada 2010 menyebutkan kondisi sumber daya ikan nasional dan dunia saat ini
menyusut drastis. Pada 2008, stok ikan laut dunia yang bisa dimanfaatkan untuk
meningkatkan produksi tinggal 15 persen. Sebanyak 53 persen stok ikan sudah
dimanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lagi. Sisanya,
sudah over-exploited atau stoknya menurun.
Gambaran pemanfaatan sumber daya ikan di
seluruh perairan Indonesia yang diterbitkan Komisi Nasional Pengkajian Stok
Sumber Daya Ikan pada 2006 menunjukkan hal yang sama. Tidak mengherankan jika
sering terjadi bentrokan fisik antara nelayan tradisional dan ABK kapal asing
akibat berebut wilayah penangkapan di tengah laut. Tidak hanya itu, konflik
antar nelayan tradisional pun kerap terjadi. Berkaitan dengan industrialisasi,
membangun gudang ikan, sebagaimana diusulkan Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin), di sentra-sentra perikanan tangkap, khususnya di Indonesia
Timur,ada dua perspektif industrialisasi perikanan. Pertama, industrialisasi perikanan dalam arti
sempit, yakni membangun pabrik-pabrik pengolahan ikan, yang tujuannya meningkatkan
produksi ikan olahan, baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Hal terpenting
adalah pertumbuhan produksi terjadi, siapa pun pelakunya dan dari mana pun
sumber bahan bakunya. Perspektif ini mirip gaya foot-loose industry yang
menjadi ciri industrialisasi di Indonesia selama ini. Kedua, industrialisasi
perikanan dalam arti luas, yakni transformasi ke arah perikanan yang bernilai
tambah. Tujuannya, meningkatkan nilai tambah produksi perikanan lokal yang
dinikmati para pelaku usaha kecil dan menengah. Terpenting adalah transformasi
pelaku di hulu ataupun hilir sehingga nelayan dan pembudidaya ikan juga menjadi
bagian penting dalam proses ini. Karena
itu, industrialisasi tak sekadar membangun pabrik, tetapi lebih pada
terciptanya sistem yang menjamin meningkatnya mutu produk perikanan nelayan dan
pembudidaya ikan yang bernilai tambah, berkelanjutan, dan menyejahterakan.
Sehingga, industri tak semata teknologi, tetapi orientasi nilai budaya baru.
Perspektif ini mirip resources-based industry. Di mana industri terkait dengan
sumber daya lokal secara mendalam yang menjamin keberlanjutan produksi. Namun
langkah ini terhambat oleh masalah teknis, seperti stok ikan dan pasokan
listrik. Gudang ikan kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet dengan
biaya Rp1,5 miliar, memerlukan listrik 40 ribu watt, dan biaya operasional Rp20
juta per bulan. Pasokan listrik sebesar itu masih belum tersedia di daerah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bahkan, PLN sendiri masih
kesulitan menerangi permukiman penduduk tingkat kecamatan di wilayah timur.
Idealnya, gudang penyimpanan dilengkapi freezer selain cold storage. Mesin
freezer bisa membekukan ikan hingga minus 40 derajat celcius untuk mempertahankan
kualitas ikan dan mencegah berkembangbiaknya bakteri. Proses pembekuan ini
mutlak dibutuhkan sebelum ikan dipindahkan ke cold storage dengan suhu minus
18 derajat celcius sambil menunggu dikapalkan.
Biaya lain yang harus dihitung
adalah beban transportasi. Untuk mencukupi kebutuhan bahan olahan industri
perikanan di Jawa dan Sumatera, dibutuhkan kapal carrier berukuran 200 gross
tonage (GT), mesin minimal 450 PK dengan kapasitas kapal 80-100 ton. Biaya
solar (BBM) kapal tersebut sekitar Rp100 juta untuk kebutuhan selama 10 hari
melaut trayek pulang-pergi. Biaya gudang dan transportasi sebesar itu
menyebabkan harga ikan lebih mahal, belum termasuk biaya Investasi kapal dan
biaya rutin yang harus dikeluarkan, seperti menggaji ABK dan biaya perawatan
kapal. Sementara masalah pada budidaya ikan, industri tambak harus mengeluarkan
biaya ekstra agar bisa bertahan. Untuk menyiasati penyakit dan virus yang
merebak akibat kontaminasi zat kimia dari konsentrat pakan, lahan tambak harus
dilapisi terpal plastik. Air laut yang sarat pencemaran untuk bahan baku tambak
udang, bandeng, atau kerapu lumpur memerlukan perawatan khusus pula agar ikan
tetap sehat.
Tidak hanya itu, mereka juga
dihadapkan persoalan melambungnya harga pakan. Sebaliknya, industri pengolahan
pakan juga mempunyai risiko lebih tinggi akibat kenaikan tarif listrik,
mahalnya bahan baku, dan tuntutan peningkatan kesejahteraan karyawan.
Jika pemerintah mampu menurunkan harga pakan
hingga 40 persen atau menciptakan pakan alternatif (organik), budidaya udang
dengan sendirinya tumbuh subur. Pengusaha budi daya laut akan tertolong untuk
mengembangkan usahanya. Atas kondisi ini seharusnya pemerintah Indonesia malu.
Sebagai negara kepulauan terbesar yang memiliki potensi perikanan berlimpah,
justru mengimpor ikan. Malaysia, walau menganut negara daratan, mereka mampu
mengekspor ikan kerapu ke Hong Kong dengan harga lebih murah. Padahal, bibitnya
diimpor dari Indonesia. Bahkan, mampu menyuplai ikan lele ke Batam dengan harga
Rp9.000 perkilogram, sedangkan lele lokal dijual di atas Rp10 ribu perkilogram.
Krisis Ikan Mengancam
Sebagai negara maritim Indonesia
semestinya menjadi penghasil komoditas ikan yang diperhitungkan. Namun, yang
terjadi justru sebaliknya, negara ini terancam krisis ikan. World Wide Fund
for Nature (WWF) Indonesia melihat potensi paceklik sumber daya ikan di laut
Indonesia semakin tinggi. Indikasinya terlihat dari ketidaktersedian ikan
yang diekspor, sementara permintaan ikan dari importir luar negeri semakin
meningkat. Jika hal ini dibiarkan, beberapa tahun ke depan masyarakat hanya
bisa makan sup plankton. WWF merujuk pada penurunan tangkapan ikan di
perairan Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Lokasi tersebut
merupakan salah satu tempat penangkapan ikan Tuna di Indonesia, khususnya
jenis tuna sirip kuning (yellowfin–Thunnus albacares).
Berdasarkan data dari 15
koordinator penerimaan potongan (loin) ikan tuna pada 2008-2011 terjadi
penurunan hasil tangkapan. Pada 2008 jumlah tuna yang ditangkap rata-rata 4,73
ekor per armada. Pada 2009, 4,61 ekor per armada. Pada 2010 hanya 4,29 ekor per
armada, dan pada 2011 jumlah tangkapan semakin berkurang menjadi 3,30 ekor
per armada. Dari
evaluasi WWF, kondisi tersebut disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai pentingnya menjaga ekosistem laut dalam menangkap ikan. Nelayan sering
menangkap ikan berukuran kecil sehingga ikan tidak bisa berkembang biak dan
lama kelamaan jumlahnya terus berkurang. WWF pun meluncurkan buku panduan
mengenai cara menangkap ikan yang benar, cara menangani hewan hasil tangkapan
sampingan, dan bagaimana cara mengolah ikan agar bisa dipasarkan baik ke pasar
lokal maupun internasional.
Perusahaan importir asal Belanda,
Anova Asia melihat kekurangan bahan baku di Indonesia sebagai negara kepulauan
menjadi hal yang sangat disayangkan. Padahal, pasar internasional sedang bagus.
Permintaan ikan tuna terbesar datang dari Amerika, Jepang, dan Eropa. Saat ini
Indonesia sedang dilirik pasar dunia karena dianggap sangat potensial menjadi
negara pengekspor ikan. Sebagai importir, Anova Asia berharap nelayan dan
pengusaha lebih memahami pentingnya menjaga kelestarian komoditas perikanan.
Karena ada ratusan ribu pelaku usaha nelayan yang akan menganggur jika
Indonesia tidak bisa menghasilkan ikan.
Krisis ikan diperkirakan akan mulai dirasakan
Indonesia pada 2014. Tahun itu kekurangtersediaan ikan mencapai 11,15 juta ton.
Ini akibat meningkatnya konsumsi ikan, tetapi tidak diimbangi dengan
pertumbuhan produksi dan perlindungan pasar dalam negeri. Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim melihat data itu dari rencana
strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2010-2014. Mereka
memproyeksikan produksi ikan nasional tangkap ataupun budidaya, sebesar 22,54
juta ton. Sementara kebutuhan ikan nasional 33,68 juta ton, dengan asumsi
konsumsi ikan 38,67 kilogram per kapita sehingga terjadi defisit ikan 11,15 juta
ton.
Diperkirakan pada 2014 ada 18
provinsi yang defisit pasokan ikan. Jawa Barat misalnya, produksi ikan 1,63
juta ton, sedangkan kebutuhannya 4,06 juta ton, sehingga defisit 2,43 juta ton
ikan. Di lain pihak, sebanyak 15 provinsi kelebihan produksi ikan. Provinsi
tersebut adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Selatan, Sulawasi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Maluku, Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Maluku Utara, Sumatera
Barat, dan Papua Barat. Di sisi lain, beberapa pihak melihat kekurangan
pasokan ikan untuk konsumsi dalam negeri semakin parah karena orientasi
produksi perikanan untuk ekspor. Padahal, impor perikanan terus naik. Pada
triwulan pertama tahun 2010, impor produk perikanan 77 juta dolar AS, atau naik
32 persen dibandingkan 2009, yakni 58 juta dolar AS.
Peran pemerintah juga diperlukan
untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan ikan di dalam negeri. Diperlukan pemetaan
produksi dan pemasaran produk nasional, selain menata distribusi produk
perikanan antar pulau dan menyediakan infrastruktur perdagangan produk ikan
antar pulau. Pemerintah
juga perlu memperkuat nelayan dan pengusaha perikanan agar mereka melebarkan
wilayah tangkapannya ke wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut
lepas. Selain itu, ada jaminan pemasaran produk perikanan ke luar negeri hanya
apabila produksi dan pasokan di dalam negeri mencukupi kebutuhan nasional.
Ocean Watch Indonesia (OWI) bahkan meminta
pemerintah memperketat regulasi ekspor-impor dan memprioritaskan keamanan
konsumsi nasional. Saat ini daya saing nelayan Indonesia relatif rendah.
Sekitar 90 persen nelayan menggunakan kapal kecil berbobot mati di bawah 30
gross ton (GT). Selain itu, perikanan budidaya terkendala permodalan dan mahalnya
harga pakan. Direktorat Pemasaran Luar
Negeri KKP tidak bisa menutup mata dengan kondisi yang ada. Mereka melihat hal
ini terjadi karena kebijakan pemerintah. Di mana negara maju menyubsidi sektor
perikanannya sehingga produk perikanan mereka menjadi murah. Data World Trade
Report (2010) menyebutkan, China menyubsidi sektor perikanannya hingga 4,13
miliar dolar AS. Sebaliknya, pemerintah Indonesia justru menghapus subsidi
bahan bakar minyak untuk kapal nelayan berbobot lebih dari 60 GT. Ironis sekali.
Zona Ekonomi
Eksklusif
Berdasarkan konvensi hukum laut
1982, wilayah perairan Indonesia meliputi kawasan seluas 3,1 juta meter persegi
terdiri atas perairan, kepulauan seluas 2,8 juta km persegi dan laut sekitar
0,3 juta km persegi Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas berbagai sumber
kekayaan alam serta berbagai kepentingan yang melekat pada ZEE seluas 2,7 juta
km persegi dan hak partisipasi dalam pengelolaan kekayaan alam di laut lepas
diluar 200 mil ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut
perairan internasional di luar landas kontinen. Tertuang dalam pasal
192-237 UNCLOS membebankan kewajiban bagi setiap negara pantai untuk mengelola
dan melestarikan sumber daya laut mereka.
Pada 2005 muncul gagasan dari
Dewan Maritime Indonesia untuk membentuk Badan Penataan Batas Wilayah dan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia yang bertujuan untuk mempertegas kedulatan
Negara dan meningkatan keamanan laut. Diketahui Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia adalah daerah di luar Laut Teritorial Indonesia sebagaimana
ditetapkan berdasarkan Undang-undang No 4/1960 tentang Perairan Indonesia,
cakupan yang meluas sampai 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar Laut
Teritorial Indonesia diukur. Di Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia memberlakukan
hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
pelestarian hidup dan sumber daya alam yang tidak hidup dari tanah dan
sub-dasar laut dan perairan dan hak-hak kedaulatan berkenaan dengan kegiatan
lain untuk eksplorasi ekonomi dan eksploitasi zona, seperti produksi energi
dari arus air, dan angin, dan dari segi yuridis yaitu pembentukan dan
penggunaan buatan, instalasi pulau dan struktur, penelitian ilmiah kelautan,
pelestarian lingkungan laut, dan hak-hak lain berdasarkan hukum internasional.
Hak berdaulat Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 deklarasi ini, Pemerintah, sehubungan dengan
dasar laut dan lapisan tanah, terus melaksanakan sesuai dengan ketentuan
hukum dan peraturan di Indonesia tentang Perairan Indonesia dan Landas Kontinen
Indonesia, perjanjian internasional dan hukum internasional.
Dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia,
kebebasan navigasi dan penerbangan dan peletakan sub-kabel laut dan pipa akan
terus diakui sesuai dengan prinsip-prinsip baru hukum internasional laut.
Lalu berikutnya yaitu dimana garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah
batas dengan negara berdekatan atau sebaliknya, Pemerintah Indonesia siap, pada
waktu yang tepat untuk masuk ke dalam perundingan dengan negara yang bersangkutan
dengan maksud untuk mencapai kesepakatan.
Pakar Hukum Laut, Prof Hasjim
Djalal mengaku sedih dengan konsep ZEE Indonesia yang tidak berjalan maksimal.
Bagaimana tidak, dengan posisi strategisnya, Indonesia dianugerahi 17.504
pulau, panjang garis pantai 81.000 km persegi, dua pertiga luas wilayah terdiri
dari laut, ditambah dengan wilayah yang berbatasan dengan tiga negara tetangga,
yaitu Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor Leste, Indonesia belum mampu
memaksimalkan konsep ZEE. Padahal dengan melihat lokasi Indonesia yang cukup
strategis maka ZEE menjadi sangat penting dan sangat disayangkan jika ZEE
kita terbengkalai.
Konsep ZEE mampu memberikan
berbagai keuntungan. Misalnya, jika ZEE mampu diterapkan dengan baik, maka
keuntungan ekonomi akan mengikutinya karena sumber daya perikanan dan lainnya
di daerah tersebut sangat melimpah. Selain itu, keuntungan politis juga bakal
diperoleh pemerintah Indonesia, misalnya, hasil exercise penetapan garis batas
ZEE di Selat Malaka dapat digunakan sebagai dokumen teknis dalam perundingan
batas ZEE di Selat Malaka dan apabila hasil penetapan dipakai sebagai klaim
unilateral garis batas ZEE Indonesia di Selat Malaka maka dapat dipakai sebagai
batas operasional kapal-kapal TNI AL dalam penegakkan hak berdaulat NKRI di
Selat Malaka.
Diketahui, Batas dalam ZEE adalah
batas luar dari laut territorial. Zona batas luas tidak boleh melebihi 200 mil
dari bibir pantai. Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil akan
memberikan 36 persen dari seluruh total area laut. Walaupun ini porsi yang
relatif kecil, di dalam area 200 mil yang diberikan menampilkan sekitar 90
persen dari seluruh simpanan ikan komersial, 87 persen dari simpanan minyak
dunia, dan 10 persen simpanan mangan. Melanjutkan keterangannya, Prof Hasjim mengatakan
ZEE wajib dimasukan dan diberdayakan dalam bagian perencanaan pengelolaan
sumber daya manusia, teknologi dan infrastuktur dimana semua itu perlu
disokong anggaran yang memadai. Tentunya kemampuan anggaran yang harus
ditingkatkan, baik untukKementerian Keluatan dan Perikanan (KKP), maupun untuk
pertahanan laut kita. Sementara itu, anggota Komisi IV, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Muradi Darmansyah menilai pengelolaan laut menjadi perioritas utamanya.
karenanya ZEE perlu mendapat dukungan, agar ekonomi maritim kedepan bisa
terkelola optimal. Mengenai hal itu, kelautan akan menjadi prioritas utama
ditahun 2011 mendatang, namun memang hal tersebut perlu dilakukan kajian
akademis dari perguruan tinggi secara komperhensif. Dalam kacamatanya, pemanfaatan
ZEE masih jauh dari harapan, hal itu disebabkan karena kurangnya SDM yang
memadai, ditambah minimnya infrastruktur dan teknologi yang tidak sebanding dengan
luas laut Indonesia. Ditambah
lagi dengan kondisi tapal batas laut Indonesia yang suatu saat bisa berubah,
karena patroli yang dilakukan tidak maksimal, serta infrastuktur lainya yang
kurang memadai, seperti pembangunan mercusuar yang tidak merata. Tidak hanya itu, Muradi juga meminta kepada pihak
terkait untuk selalu memperbaharui peta-peta Indonesia. Dengan kondisi saat
ini mengenai perubahan iklim, bisa saja adanya perubahan iklim tersebut membuat
batas-batas laut kita semakin berkurang. Saat ini kita akan mengacu kepada peta
lama jamannya kolonial Belanda, seharusnya ada perubahan peta, dicocokan
dengan kondisi saat ini. Jika ini tidak dilakukan maka, negara-negara tetangga
bisa saja menjadi mengklaim. Ditanya
mengenai apa saja yang perlu ditingkatkan untuk penguatan ZEE, Muradi
mengatakan, Pendidikan menjadi modal utama, dan pemahaman pejabat akan hak-hak
yang ada menurut hukum laut yang berlaku. Tidak hanya itu, penguatan kemanan
juga perlu ditingkatkan, Muradi memberikan contoh adanya kasus kapal-kapal
patroli banyak yang tidak beroperasi disebabkan Global Positioning System
(GPS) yang rusak karena batrainya habis. Ini sesuatu hal yang seharusnya tidak
terjadi. Jangan sampai pengawasan tidak berjalan karena disebabkan hal-hal
kecil yang sangat tidak perlu.
ZEE dalam
Keterbatasan SDM dan Infrastruktur
Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) adalah
zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona
tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan
berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di
atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.
Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang
mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang
semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas yurisdiksi negara pantai atas
lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III. Namun dalam
pengembangannya tidak begitu maksimal, karena keterbatasan Sumber Daya Manusia
(SDM), Infrastruktur dan Iptek yang dianggap sebagai faktor utama, sehingga
dengan mudahnya negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia masuk
kewilayah kedaulatan Indonesia secara bebas.
Pengamat dari Sekolah Tinggi Ilmu
Maritim (STIM), Diah S. Koesdinar mengatakan suatu pengelolaan wilayah laut
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) pertama-tama harus mengedepankan kedaulatan negara
untuk dimanfaatkan sebagai cara memakmurkan dan mensejahterakan rakyat dan
negara. Tanpa adanya kedaulatan, satu negara tidak ada artinya. Secara prinsip
ZEE sudah mencakup berbagai unsur yang meliputi pertahanan negara, pengelolaan
sumber daya laut dan pengakuan secara internasional walaupun masih terbatas.
Namun mengingat luasnya wilayah
laut ZEE Indonesia dan adanya overlap dengan ZEE negara lain, maka perlu adanya
tindakan tegas pemerintah Indonesia dalam menetapkan garis batas ZEE dengan
negara-negara yang berbatasan dengan NKRI. “Penetapan batas ZEE ini harus
diupayakan dengan aktif dan berkesinambungan untuk menghindari potensi masalah
di kemudian hari dengan berbagai negara. Untuk dapat melakukan hal itu,
Indonesia dapat melibatkan pakar dalam bidang masing-masing agar dapat
membuahkan strategi pengelolaan yang tepat dan bermanfaat bagi Indonesia.
Bicara mengenai SDM, harus diakui
tidak mudah mengelola wilayah laut NKRI yang luas dengan dana terbatas dan
koordinasi terpadu dari berbagai instansi pemerintah terkait yang belum
efektif. Namun pemerintah harus melihat bahwa pembangunan kelautan adalah satu
kesatuan dengan pembangunan negara. SDM, infrastruktur dan Iptek yang ada harus
dikembangkan dan dibuat lebih efektif dengan master plan jangka panjang yang jelas.
Indonesia harus bisa berkonsolidasi dari dalam agar kuat menghadapi ‘serangan’
dari luar dan bisa terus mempertahankan kedaulatan NKRI. Penggunaan teknologi
yang maju dan canggih dan data satelit yang bisa diakses akan dapat memudahkan
penentuan batas-batas yang akurat. Pemanfaatan teknologi komunikasi lainnya
juga dapat memonitor pengelolaan ZEE secara real time.
Indonesia harus berkomitmen dalam
pengembangan kelautan yang merupakan bagian penting dalam pembangunan negara
secara keseluruhan. Komitmen berinvestasi tidak hanya diartikan dalam pengalokasian
dana, tetapi juga dalam peningkatan SDM dan infrastruktur didukung Iptek yang
maju serta dari segi peraturan perundang-undangan dan penetapan garis batas
yang jelas. Faktor terakhir tersebut amat penting agar keabsahan penetapan
garis batas ZEE tidak hanya diterima sepihak, tetapi juga diakui secara
internasional. Iptek yang ada sekarang akan dapat membantu melakukan hal itu
dengan akurat dan dapat memudahkan komunikasi antar negara menjadi lebih
mudah dan cepat. Dalam
pengelolaan ZEE tersebut, semuanya kembali ke pemerintah apakah upaya yang
dilakukan sudah optimal, apakah Indonesia sudah dengan tegas menerapkan
peraturan yang berlaku dan apakah berbagai instansi yang terkait memiliki
komitmen yang sama dan sepakat berusaha untuk melakukan yang terbaik. Memang
satu pekerjaan rumah yang sangat kompleks dan besar yang tentunya membutuhkan
waktu panjang untuk dapat membuahkan hasil. Namun apabila tidak dimulai dengan
seksama dan berkesinambungan dari sekarang, Indonesia dan generasi
berikutnyalah yang akan merugi.
ZEE Tanggung Jawab
Bersama
Penetapan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) Indonesia diatur dalam Undang-Undang RI No 5/1983.
Melalui pertimbangan presiden pada 21 Maret 1980 telah dikeluarkan pengumuman
pemerintah RI, tentang ZEE Indonesia, untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa
dengan memanfaatkan seluruh sumber daya alam yang ada di dalamnya.
Diatur pula semua kegiatan
penelitian ilmiah mengenai kelautan di perairan yang berada di bawah kedaulatan
dan yurisdiksi Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan kepentingan negara.
Sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di ZEE Indonesia adalah
modal dan milik bersama Bangsa Indonesia sesuai dengan Wawasan Nusantara. Dalam
Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut Ketiga menunjukkan telah diakuinya rezim zona ekonomi
eksklusif selebar 200 (dua ratus) mil laut sebagai bagian dari hukum laut
internasional yang baru.
Dengan hal tersebut di atas
tentunya pengelolaan Zona Ekonomi Eksklusif harus mendapat penanganan serius
dari semua pihak yang terkait, Kementerian dan lembaga yang memang dipercaya
harus berperan aktif untuk mengembangkan ZEE dan menjadikan kekayaan laut indonesia
bisa bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kepala Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Soe’nan H Purnomo mengatakan konsep
ZEE itu tak hanya tugas Kementerian Keluatan dan Perikanan, tapi tugas bersama
misalkan, KKP mengenai perikanannya beserta riset kelautan, lalu Kementerian
Pertahanan soal pertahanan lautnya. TNI AL, mengenai kemanan lautnya, sementara
Kementerian ESDM, bicara mengenai pertambangan, migas dan energi, Kementerian
Luar Negeri bicara mengenai batas wilayah, lalu Kementerian PU bicara mengenai
kawasan perbatasan. Bicara ZEE, bukan berarti bicara Kementerian Keluatan dan
Perikanan, melainkan semua lembaga baik kementerian maupun lembaga lain yang
terkait dan semua mempunyai pernan penting.Sehingga dalam memperkuat ZEE,
menurutnya, perlu ada restrukturisasi disemua lini, termasuk restrukturisasi
armada laut, baik untuk segi pertahanan maupun segi pengelolaan ikan, karena
sampai saat ini menurut Soe’nan banyak nelayan-nelayan Indonesia yang memang tidak
bisa memanfatkan luas laut karena terkendala kapal yang tidak memadai. Hanya
beberapa kapal besar yang bisa menjangkau luas laut.
Perlu diakui bahwa saat ini hanya kapal-kapal
kecil kita yang hanya berkumpul dilaut yang dekat pantai, untuk wilayah yang
jauh hanya beberapa kapal besar, untuk konsep ZEE sendiri memang perlu
diperkuat armada-armada yang cukup memadai baik untuk pertahanannya maupun
pengelolaan hasil lautnya. Soe’nan pun
membantah jika dalam pengelolaan ZEE pihaknya tidak memiliki SDM yang mumpuni.
Sebab, 62 persen abknya dibutuhkan oleh perusahaan swasta di negara Jepang. Ini
tentunya akan bermanfaat besar bagi pendapatan Indonesia, dan keterampilan
bekerja. Selain itu, ini artinya SDM kita benar-benar mumpuni, karena anak-anak
muda Jepang memang tidak suka bekerja dilaut, sehingga etos kerja anak-anak
muda kita akan terbiasa dengan etos kerja negara Jepang yang penuh disiplin,
sehingga SDM kita tentunya tidak akan kalah dengan negara-negara lain.
Program ke depan untuk KKP
sendiri, Soe’nan akan mengedepankan intruksi Presiden yang meminta perkuat ZEE
Indonesia, yaitu dengan cara penguatan armada besar, dan penguatan antara lembaga,
dan penguatan ZEE kita baik laut maupun udaranya.
Sementara itu, Pengamat Kelautan
Indonesia, Profesor Sahala Hutabarat mengaku jika konsep ZEE Indonesia belum
begitu maksimal, baik yang dijalankan oleh KKP dan kementerian lainnya. Sahala
menyebutkan, jika lembaga tersebut belum ada koordinasi yang kuat maka, ZEE ini
akan sia-sia.
Potensi devisa di ZEE banyak
‘tercuri’ oleh negara lain baik secara legal maupun illegal, sementara
perhatian politik pemerintah atas ZEE memang belum optimal. Menurutnya terlalu
banyak ‘pemain’ namun lemah dalam koordinasi, serta kemanan laut masih sangat
rawan. Batas wilayah dan Kawasan perbatasan menjadi tidak begitu terkontrol.
Sahala menjelaskan, jika potensi
dalam konsep ZEE sendiri sebetulnya sangat besar, dan beraneka ragam.
Disebutkan ada banyak potensi, pertama Sumber daya non hayati yang didalamnya
mencakup Migas, Energi Keluatan dan Sumber Mineral Keluatan. Selain itu
terdapat sumber daya hayati dan jasa yang juga didalamnya ada industri
Bioteknologi kelautan dan pengembangan pulau buatan, lalu yang terakhir potensi
sumber daya perikanan. Sehingga sangat tepat jika, penanganan ZEE tidak hanya
KKP, melainkan kementerian lain juga turut ikut serta dalam pengelolaan potensi
ZEE. Dewan
Maritim Indonesia sendiri, melalui Sekretaris Bidang Sosialisasi, Ir Abdul Alim
Salam dalam keterangan tertulisnya mengenai strategi pengelolaan ZEE Indonesia
menyebutkan ada beberapa konsep ZEE Indonesia, yang terbagi menjadi dua
alternatif, diantaranya alternatif pertama pengelolaan secara terpusat oleh
negara. Alternatif kedua yaitu kerjasama pengelolaan dengan negara lain dan
juga dengan pemerintah daerah atau antar sektor. Alternatif pertama untuk urusan pengawasan
pemanfaatan SDA hayati dan non hayati, pengamanan laut dan pulau-pulau perbatasan,
dan pengurusan wilayah maritim, sementara alternatif kedua mempunyai
pengertian bahwa di wilayah perbatasan koordinasi bersama untuk penanganan
masalah-masalah khusus, seperti keamanan laut, lalu di wilayah teritorial
kerjasama penanaman modal dengan swasta asing dan domestik, dan di wilayah ZEEI
mengenai Special Arrangements dengan negara lain untuk pengelolaan SDA
Konsep lembaga yang diusulkan
oleh Dewan Maritim Indonesia untuk mengelola ZEE ada dua yaitu, lembaga yang
ada dengan pertimbangan dan kekuatannya yaitu pertama Unit yang pelaksana sudah
mempunyai dukungan administrasistaf dan keuangan dan kedua Optimasi pemanfaatan
sumberdaya yang ada. Tentunya terdapat kelemahan yaitu perlu sistem koordinasi
yang kuat, lalu sering tidak terhindarkan adanya conflict of interest dan yang
ketiga berbagai kelemahan birokrasi yang ada akan tetap melekat.
Dewan Maritim Indonesia juga
menilai perlu ada badan khusus yang menangani ZEE, karena kekuatan dari badan
khusus sangat optimal, dirancang untuk menangani urusan tertentu kedua
mempunyai visi dan misi yang satu, sehingga etos kerja lebih utuh dan padu
dalam satu komando. Kelemahannya yaitu dapat menambah birokrasi yang ada
apabila tidak dilakukan eliminasi unit kerja di lembaga yang ada.
Sebelumnya, meski ketentuan internasional
tentang Zona Ekonomi Eksklusif atau UNCLOS 1982 telah diratifikasi dan mulai
berlaku pada 1994, 70 persen ZEE Indonesia belum disepakati negara tetangga.
Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional, Sobar Sutisna, menjelaskan, ZEE yang belum disepakati berada di
perbatasan dengan negara Timor Leste, Palau, Filipina, Vietnam, Thailand, dan
India. Sejauh ini kesepakatan batas ZEE tercapai dengan pihak Australia dan
Papua Niugini. Dalam atau United Nations Convention on the Law of the Sea, ZEE
didefinisikan sebagai hak berdaulat atas pengelolaan sumber kekayaan alam pada
kolom air.
Selain ZEE, menurut Sobar, yang
juga sebagai Ketua Technical Working Group Batas Maritim Indonesia, terdapat
dua batas yuridiksi maritim yang belum terselesaikan, yaitu batas laut
teritorial dan batas landas kontinen. Meski batas landas kontinen telah
ditetapkan berdasarkan Konvensi PBB pada 1958, tetapi proses tersebut belum
terselesaikan hingga kini. Untuk landas kontinen sekitar 30 persen yang belum
disepakati, yaitu yang berbatasan dengan Filipina, Palau, dan Timor Leste.
Selain itu, sampai kini pihak Indonesia belum
mencapai kesepakatan tentang batas laut teritorial dengan tiga negara, yaitu
Singapura, Malaysia, dan Timor Leste. Panjangnya mencapai 40 persen dari
seluruh batas yuridiksi maritim Indonesia. Batas
laut teritorial dengan Malaysia yang belum terselesaikan ada di tiga wilayah,
yaitu yang berada di Selat Malaka sepanjang 17 mil laut; 12 mil laut di Tanjung
Datuk, Kalimantan Barat; dan 18 mil di Sebatik, Kalimantan Timur. Sedangkan
dengan Timor Leste, Pemerintah Indonesia belum menyepakati lebih dari 100 mil
panjang batas laut teritorial.
Sementara itu, berdasarkan
perjanjian pada 1973 tentang batas wilayah antara Singapura-Indonesia telah
ditetapkan enam titik pangkal yang berada di sebelah barat hingga timur Pulau
Batam. Bila dilihat dari sisi Singapura, titik pangkal itu berada di Sultan
Shoul hingga ke timur Singapura atau sebelah barat Changi. Titik-titik ini
sudah definit, tidak terpengaruh dengan perluasan wilayah Singapura karena
reklamasi.
Bagian yang kini dipermasalahkan
adalah ada di bagian barat sepanjang 14 mil. Sedangkan di sebelah timur
meliputi garis batas sepanjang 28 mil. Pembicaraan penetapan batas wilayah
antara Singapura dan Indonesia telah dimulai lagi tahun lalu. Pihak Singapura
hanya menyepakati penetapan wilayah barat dan akan dilakukan pembahasan lebih
lanjut. Untuk pembahasan batas wilayah dengan Singapura, terutama di bagian
barat, Indonesia berpegang pada peta yang dibuat tahun 1973. Sedangkan
Singapura saat ini meminta dilakukannya survei kembali. Penyelesaian masalah
ini diakui tidak dapat ditetapkan target waktunya. Karena harus dicapai
kesepakatan kedua belah pihak dan kesiapan negara tetangga.
Namun, bila perundingan dengan Singapura
tentang batas wilayah tetap buntu, langkah yang mungkin ditempuh Indonesia
adalah mengajukannya ke International Tribunal for the Law of the Sea di
Hamburg, Jerman. Dalam mahkamah internasional ini bisa salah satu pihak saja
yang mengajukan kasusnya. Di antara perundingan batas wilayah dengan enam
negara tetangga, Sobar melihat penetapan batas wilayah paling cepat dapat
terealisasi dengan Filipina, yang telah menyatakan kesediaannya untuk
penyelesaian proses ini. Pembicaraan kedua belah pihak untuk penetapan batas
wilayah di Laut Sulawesi telah dimulai pada 1994. Sementara itu penetapan batas
wilayah dengan Palau belum dapat dilakukan karena Indonesia belum memiliki
hubungan diplomatik dengan negara kecil di Pasifik ini. Saat ini pihak
perunding dari Indonesia menunggu persetujuan dari DPR untuk membuka hubungan
diplomatik dengan Palau.
Sumber Daya Migas dan
Mineral
Laut se lain menjadi sumber
pangan juga mengandung beraneka sumber daya energi. Kini,para ahli menaruh
perhatian terhadap laut sebagai upaya mencari jawaban terhadap tantangan kekurangan
energi di masa mendatang. Hasil penelitian Richardson pada 2008
menunjukkan bahwa sekitar 70 persen produksi minyak dan gas bumi berasal dari
kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas,
40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam di daratan.
Potensi cadangan minyak buminya 11,3 miliar barel dan gas 101,7 triliun kaki
kubik. Belum lama ini, ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas
hidrat dan biogenik di lepas pantai barat Sumatera, selatan Jawa Barat, dan
bagian utara Selat Makassar, dengan potensi melebihi seluruh potensi migas.
Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60
cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau
sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah
diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum
terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar
barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti,
7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan
yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3
miliar barel terkandung di lepas pantai, dan lebih dari separuhnya atau
sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam. Sementara itu untuk
sumberdaya gas bumi, cadangan yang dimiliki Indonesia sampai dengan 1998
mencapai 136,5 Triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan bila
dibandingkan tahun 1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan
potensi kekayaan tambang dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga,
zirconium, nikel, kobalt, biji besi non titanium, vanadium, dan lain sebagainya
yang sampai sekarang belum teridentifikasi dengan baik masih diperlukan
teknologi yang maju untuk mengembangkan potensi tersebut.
Selain itu, Indonesia dapat
memanfaatkan potensi laut sebagai sumber energi listrik. Yaitu, melalui
teknologi panas laut, pasang surut, arus laut, angin, gelombang laut serta
bioenergi dari ganggang laut. California Energy Commision, misalnya,
memperkirakan jumlah tenaga ombak pecah di dunia dapat menghasilkan 2-3 juta
megawatt energi, dimana pada lokasi yang tepat, ombak bisa membangkitkan energi
sekitar 65 megawatt per mil panjang pesisir.
Laut juga menyimpan kandungan bahan tambang
dan mineral yang bernilai ekonomi tinggi. Sama halnya di daratan, potensi
mineral dan tambang terbagi atas tiga kelas sesuai standar indonesia, yaitu A,
B, dan C. Yang membedakan adalah masalah teknis eksploitasi dan
penambangannya.
Prof J.A Katili pernah
memperkirakan terdapat berjuta-juta ton emas di dasar samudra. Para saintis
Jepang di The Japan Marine Science and Technology sudah lama merilis temuan
cadangan mineral yang terbesar di dunia yang mengandung emas dan perak, justru
terdapat di dasar laut di kedalaman di atas 1.400 meter.
Djamil (2004) menuliskan bahwa di dasar laut
di lepas pantai Afrika barat daya, khususnya Namibia, perolehan intan mencapai
200.000 karat per tahun, meskipun intan bukan hal umum di lautan. Para peneliti
juga sudah mensinyalir adanya timbunan 356 miliar ton mangan dalam bentuk nodul
di dasar samudra Pasifik. Jumlah tersebut setara dengan penggunaan mangan di
seluruh dunia selama 400.000 tahun. Tentu saja, kemampuan eksplorasi dan
pemahaman tentang beragam potensi ini hanya bisa didalami lebih lanjut apabila
ada perspektif dan keseriusan mengelola sumber daya kelautan.
Pariwisata Bahari
Negara bagian Queensland,
Australia, dengan panjang garis pantai 2.100 kilometer, mampu menghasilkan
devisa 2 miliar dolar AS dari sektor pariwisata pada tahun 2002. Sementara
negara kepulauan Seychelles yang amat kecil di Madagaskar berhasil mendapatkan
70 persen pendapatan nasionalnya dari wisata bahari, dan menyokong GDP per
kapita (pada 2000) sebesar 7.700 dolar AS yang jumlahnya berlipat dari
Indonesia. Hal
ini menimbulkan keirian, mengapa Indonesia yang memilki garis pantai 81.000 km
tidak bisa mengembangkan pariwisata bahari, walau minimal nilainya mendekati
apa yang diperoleh negara bagian Queensland tersebut.
Berdasarkan perhitungan PKSPL
IPB, peningkatan kontribusi pariwisata bahari terhadap PDB nasional pada 2005
mencapai 1,46 persen. Angka ini sebenarnya bisa meningkat signifikan. Berdasarkan
kajian ini juga, diperoleh proyeksi bahwa pada 2007 hingga 2010 seharusnya
kontribusi pariwisata sektor maritim dapat meningkat hingga 0,1 persen setiap
tahun.
Asumsi utama yang digunakan
adalah sumber daya pulau-pulau kecil yang ada di wilayah nusantara. Bila
upaya pengembangan pulau-pulau kecil dilakukan secara serius, seharusnya dapat
mendorong pertumbuhan wisatawan asing berkunjung ke Indonesia.
Hasil kajian Kusumastanto (2001) menunjukkan,
nilai ekonomi satu pulau kecil di Indonesia bila dikembangkan nilainya bisa mencapai
52.809,37 dolar AS perhektar. Sehingga sangat beralasan bila pemerintah
dituntut serius mengembangkan pulau-pulau kecil sebagai specific marine tourism
di Indonesia. Pembangunan pariwisata
bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan obyek serta
daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Apalagi
Indonesia memiliki kekayaan alam dan panorama pantainya yang indah dengan
gelombang pantai yang menantang dibeberapa tempat serta keragaman flora dan
fauna seperti terumbu karang dengan berbagai jenis ikan hias. Sumber daya hayati pesisir dan lautan Indonesia
seperti populasi ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang,
padang lamun, hutan mangrove dan berbagai bentang alam pesisir atau coastal
landscape yang unik lainnya membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu
menakjubkan.
Kondisi tersebut menjadi daya
tarik sangat besar bagi wisatawan sehingga pantas bila dijadikan sebagai sumber
perekonomian wisata bahari. Namun potensi wisata bahari Indonesia yang sangat
besar, keanekaragaman hayati, kekayaan alam, dan keindahannya terhampar luas.
Sayang, aset berharga bumi khatulistiwa ini belum terjamah seluruhnya. Banyak
potensi alam surgawi yang terbengkalai.
Hamparan pantai beralaskan pasir putih
terbentang sepanjang mata memandang. Langit cerah bertemu birunya samudra
hingga ke ujung cakrawala. Pohon nyiur melambai-lambai, mengikuti irama angin.
Suasana surgawi ini bukanlah fantasi di siang bolong, melainkan gambaran nyata
keindahan maritim Nusantara. Indonesia
yang memiliki luas laut 75.000 km persegi, dengan panjang garis pantai 81.000
km persegi, ditaburi lebih dari 17.500 pulau, di dalamnya terdapat 950 spesies
terumbu karang, 8.500 spesies ikan tropis, 555 spesies rumput laut, dan 18
spesies padang lamun. Namun, semua itu belum termanfaatkan.
Melihat potensi ini, wisata laut
Indonesia bisa dikembangkan lebih luas, antara lain wisata bisnis (business
tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism),
wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olahraga
(sport tourism). Jika dimanfaatkan secara maksimal, sumber dana bagi devisa
negara akan mengucur. Diperkirakan 25-30 persen devisa pariwisata sebesar 6,3
miliar dolar AS bersumber dari wisata bahari (Data BPS dan Gahawisri 2009).
Dalam 10 tahun ke depan kontribusinya diprediksi akan meningkat hingga 50
persen. Asosiasi
Biro Perjalanan Wisata mencatat tren wisata akhir tahun secara nasional masih
didominasi berbagai destinasi di Indonesia Barat, dengan jumlah sekitar 80 juta
pengunjung. Sementara destinasi ke wilayah Indonesia Timur diperkirakan hanya
3-4 persen. Kondisi tersebut tidak lepas dari kurangnya promosi wisata di Indonesia
timur yang kaya potensi wisata maritim. Selain itu, ada permasalahan minimnya
infrastruktur, khususnya transportasi, yang membuat akses terhadap obyek wisata
sulit dan mahal.
Sebagai gambaran, biaya
transportasi Jakarta-Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dengan pesawat pergi pulang
Rp 4 juta-Rp 5 juta per orang dengan transit di Makassar. Baru ada dua maskapai
penerbangan yang melayani rute Makassar-Wakatobi. Begitu juga ke kawasan
wisata Derawan. Dibutuhkan biaya Rp 4 juta per orang untuk transportasi dua
kali naik pesawat ke Balikpapan dan Berau, kemudian disambung dengan kapal
cepat. Biaya itu belum termasuk penyewaan alat selam dan penginapan. Promosi
juga menjadi kendala utama di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. Minimnya promosi membuat daerah wisata ini kurang bergaung di level
nasional. Kepulauan ini terdiri atas pulau utama Derawan, Kakaban, Sangalaki,
dan Maratua. Di sana wisatawan dapat menyaksikan penyu hijau (chelonia mydas),
ikan pari (manta ray) di Sangalaki, dan sensasi ubur-ubur tanpa sengat di
Kakaban. Sementara
keindahan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kabupaten yang sebagian besar
wilayahnya berstatus taman nasional itu merupakan akronim dari empat pulau
utama yang membentuknya, yakni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.
Namun, keindahan pemandangan ”permukaan” tersebut baru sebagian dari harta
karun keindahan yang dimiliki Wakatobi. Keistimewaan sesungguhnya terletak di
bawah laut yang menyandang julukan sebagai jantung segi tiga karang dunia.
Dari data Kementerian Kehutanan, Wakatobi
memiliki 25 gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau
karang sepanjang 600 kilometer. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili
hidup di areal seluas 90.000 hektar perairan Wakatobi. Itu menjadi surga bagi
pencinta kehidupan bawah laut. Setidaknya terdapat 100 tempat lokasi menyelam
(diving) kelas diamond yang tersebar di hampir seluruh bagian kepulauan.
Snorkeling pun bisa dilakukan dengan mudah di pantai-pantai terdekat. Perairan Wakatobi juga dipenuhi setidaknya 93
spesies ikan hias. Atraksi lumba-lumba di alam bebas bisa dinikmati sepanjang
tahun. Pada Agustus-September, migrasi paus dari Australia yang melintasi
Wakatobi menjadi pemandangan yang takkan terlupakan.
12 Kawasan Wisata
Bahari Indonesia
Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata (Kemenbudpar) baru mempetakan 12 kawasan kepulauan di seluruh
wilayah Indonesia sebagai destinasi bahari unggulan, termasuk kepulauan
Wakatobi dan Derawan. Keduabelas pulau ini masuk dalam rencana pengembangan
induk (blueprint) wisata bahari pemerintah.
Kepulauan Padaido, Biak, Papua Kawasan wisata bahari ini sangat ideal untuk
kegiatan diving, wisata cruise. Program pengembangan wisata bahari di kepulauan
Padaido, antara lain diversifikasi kegiataan nelayan dengan pengembangan
wisata memancing menggunakan perahu tradisional nelayan, paket wisata selam di
daerah kapal tenggelam, serta pengembangan cruise regional dengan menggunakan
kapal pinisi dan sea plane untuk menjangkau pulau-pulau kecil.
Kepulauan Selayar, Takabone Rate,
Sulawesi Selatan Kawasan wisata bahari ini sangat cocok untuk
diving, snorkeling, berlayar, dan memancing. Program pengembangan wisata bahari
di Kepulauan Selayar adalah sebagai hub wisata cruise internasional, regional,
dan cruise kapal tradisional seperti pinisi Nusantara. Pulau Nias dan Kepulauan Mentawai, Sumatera
Utara Kawasan wisata bahari di
Pulau Nias sangat ideal untuk selancar dengan pengembangannya ekowisata
berbasis komunitas serta olahraga selancar. Program pengembangan di kawasan
ini lebih fokus pada penganekaragaman daya tarik wisata dengan menampilkan
budaya daerah.
Kepulauan Raja Ampat, Papua barat
Kawasan wisata bahari di kepulauan ini sangat
ideal untuk kegiatan menyelam. Pengembangan kawasan wisata bahari di
Kepulauan Raja Ampat dengan pola partnership MNC (Multi National Companies)
yang melibatkan pelaku industri wisata bahari, pemerintahan daerah dan
masyarakat setempat.
Kepulauan Ujung Kulon dan Anak
krakatau, Banten Kawasan wisata bahari ini ideal untuk kegiatan diving dan
cuise regional dengan tema pengebangannya ekowisata berbasis konservasi.
Program pengembangan di Kepulauan Ujung Kulon, antara lain perencanaan tata
ruang yang jelas antara konservasi dengan areal pengembangan sesuai dengan daya
dukung lingkungan. Menyediakan fasilitas transportasi menuju obyek wisata dengan
kegiatan kapal pinisi dan sea plane untuk menampung wisatawan domestik dari
jakarta. Pulau
Komodo, Nusa Tenggara Timur Kawasan
wisata bahari ini ideal untuk kegiatan diving dan wisata cruise. Program pengembangan
di Pulau Komodo adalah wisata cruise regional dengan fasilitas marina dan
yacht. Untuk menjangkau pulau-pulau kecil di sekitarnya perlu disediakan kapal
pinisi dan sea plane. Teluk
Tomini, Kepulauan Tongean, Sulawesi Tengah Kepulauan
ini ideal untuk kegiatan menyelam dan snorkeling. Program pengembangan di Teluk
Tomini, antara lain penyediaan fasilitas marina, yacht, kapal pinisi dan sea
plane dengan kemitraan masyarakat dengan pelaku usaha pariwisata.
Kepulauan Bali dan Lombok
Wisata bahari di dua kepulauan ini ideal untuk
kegiatan menyelam, selancar, cruise regional, dan internasional. Program
pengembangan pariwisata bahari di kawasan ini, antara lain dibangun kemitraan
pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan kalangan industri wisata bahari.
Menyediakan fasilitas pelabuhan, akomodasi, dan pertunjukan budaya. Balerang, Kepulauan Riau Kawasan ini sangat ideal untuk kegiatan cruise,
yacht dan marina serta selancar. Program pengembangan wisata bahari di
Balerang, yaitu pelabuhan wisata bahari yang menunjang limpahan wisatawan dari
Singapura menuju daerah tujuan wisata kepulauan Riau. Pengembangan wisata
cruise regional sangat ideal karena letaknya pulau ini strategis di selat
malaka dan dekat dengan Singapura.
Kepulauan Seribu, Jakarta
Wisata bahari yang sangat ideal untuk di
kepulauan Seribu adalah selancar, cruise regional, memancing, dan olahraga
bahari. Untuk itu program pengembangan di kawasan ini antara lain perencanaan
tata ruang yang sangat jelas antara area konservasi dan pengembangan yang
disertai taman nasional. Serta pengembangan untuk fasilitas air adalah marina,
yacht, kapal pinisi dan sea plane untuk kegiatan olah raga air. Seluruh
kekayaan alam ini, merupakan sebagian kecil dari berjuta potensi wisata laut di
Indonesia. Jika tidak mendapat perhatian dan dikelola dengan baik, kekayaan
alam yang berlimpah ini hanya akan sia-sia.
Kepulauan Wakatobi, Sulawesi
Tenggara Kawasan
wisata bahari ini ideal untuk kegiatan menyelam dan cruise regional. Program
pengembangan wisata bahari di Kepulauan Wakatobi , antara lain cruise international
dan regional dengan pengembangan pelabuhan Makassar sebagai hub, serta
konservasi kekayaan laut dengan pemberlakuan sertifikat penyelam dan penegakan
hukum.
Kepulauan Derawan, Kalimantan
Timur Kawasan
wisata bahari Derawan ideal untuk kegiatan menyelam dan konservasi penyu.
Program pengembangan wisata bahari di kepulauan ini selain konservasi habitat
penyu sebagai daya tarik wisata, juga untuk konservasi pengembangan budaya di
Pulau Kakaban dan Sangalaki dengan pola partnership MNC (Multi National
Companies) memanfaatkan tenaga lokal.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Indonesia
sebagai Negara kepulauan memiliki kekayaan alam dalam bidang kelautan atau
maritim. Kekayaan maritim ini dapat kita olah untuk keperluan Indonesia.
Pengolahan maritim dapat memberikan keuntungan berkaitan dengan ekonomi
maritime. Berikut pembahasan lebih lanjut mengenai ekonomi maritime Indonesia.
Sejarah Ekonomi Maritim Indonesia
·
Masa Sebelum Penjajahan
Sejumlah
kerajaan di Indonesia pernah menjalankan perekonomian maritim. Salah satu
kerajaan maritim terbesar adalah Sriwijaya pada abad ke-5. Kerajaan yang
memiliki armada laut besar ini menjadikan Palembang sebagai ibu kota. Selat
Malaka menjadi pintu gerbang perdagangan Sriwijaya dengan India dan Tiongkok.
Sriwijaya telah mampu memperdagangkan sejumlah komoditas seperti kamper,
cendana, dan gaharu. Bahkan, berdasarkan catatan dari Tiongkok, Sriwijaya
pernah mengirimkan utusan untuk mendirikan perwakilan dagang di daerah Ch’uan
chou (Fukian), Tiongkok.
·
Masa Penjajahan
Pada masa
penjajahan, Negara-negara Eropa seperti Portugis, Inggris, dan Belanda
menguasai perekonomian maritime di wilayah Indonesia. Tujuan bangsa Eropa ini
adalah mencari dan menguasai rempah-rempah di wilayah Indonesia. Portugis
sempat menguasai Maluku pada abad ke-16 dan memperjualbelikan
rempah-rempah seperti lada. Inggris sempat membangun jalur perdagangan dengan
daerah Batavia dan Ambon di Indonesia. Adapun Belanda melalui VOC menguasai
berbagai wilayah di Indonesia, termasuk perairannya. Belanda pun monopoli
komoditi rempah-rempah dari Indonesia.
·
Masa Kemerdekaan
o Masa Presiden Sukarno
Setelah
kemerdekaan Indonesia, salah satu tonggak penting ekonomi maritim Indonesia
terjadi pada tahun 1957. Saat itu, dideklarasikan Deklarasi Wawasan Nusantara
(Deklarasi Djuanda). Berdasarkan deklarasi itu, Indonesia menyatakan bahwa laut
Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Konsep ini kemudian diperjuangkan di PBB. Indonesia juga
menasionalisasi sejumlah perusahaan Belanda yang berkaitan dengan perekonomian
maritim. Pada tahun 1963, Munas Maritim Pertama dilangsungkan. Setelah munas,
dibentuk Kementerian Perindustrian Maritim pada tahun 1954 serta Kementerian
Koordinator Kompartemen Kemaritiman Indonesia. Selain itu, pada era
kepemimpinan Presiden Sukarno, pernah dibentuk Kementerian Perhubungan Laut,
Kementerian Perindustrian Maritim, Kementerian Kemaritiman, dan Kementerian
Sumber Daya Ikan.
o
Masa Presiden Suharto
Pada era kepemimpinan Presiden
Suharto, Kementerian Perhubungan Laut dilebur dalam Kementerian Perhubungan.
Adapun Kementerian Sumber Daya Ikan dilebur dalam Kementerian Pertanian. Tahun
1982, perjuangan Indonesia sebagai Negara kepulauan akhirnya diakui PBB dengan
dokumen UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau Konvensi
PBB mengenai Hukum Laut, di Jamaika. Hal ini berarti konsepsi Indonesia sebagai
Negara kepulauan atau yang kita kenal dengan Wawasan Nusantara, telah mendapat
pengakuan internasional.
o
Masa Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati
Sukarnoputri
Saat B.J. Habibie menjadi presiden
ketiga Indonesia, diluncurkan Deklarasi Bunaken pada tahun 1998. Melalui
deklarasi ini dinyatakan visi pembangunan kelautan Indonesia. Pengganti Habibie
Abdurrahman Wahid membentuk Departemen Eksplorasi Kelautan pada tahun 1999.
Departemen ini menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (KKP) pada awal 2001.
Selain itu dibentuk pula Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang kemudian berganti
nama menjadi Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) pada tahun 2010. Pengganti
Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, menyatakan deklarasi maritime dengan nama
Seruan Sunda Kelapa pada tahun 2001. Deklarasi ini berisi kebijakan industry
maritim nasional.
o Masa Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono
Pada masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihasilkan Instruksi
Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran
Nasional. Melalui Inpres ini, semua kapal yang beroperasi di perairan Indonesia
harus dimiliki secara domestik. Hal ini memungkinkan perusahaan pelayaran lokal
tumbuh di Indonesia. Selain itu, ditetapkan UU No. 17 tahun 2008 tentang
Pelayaran. UU mewajibkan penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan
angkutan laut nasional yang beroperasi di perairan Indonesia. Pada tahun 2014
disahkan UU No.32 tahun 2014 tentang Kelautan. UU ini mengatur pemanfaatan laut
dan sumber daya yang terkandung di dalamnya.
o Masa Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo (Jokowi)
menjadi presiden RI pada tahun 2014 untuk masa bakti 2014-2019. Pemerintahan
Jokowi menyatakan visi kemaritiman sebagai bagian utama pemerintahan. Hal ini
antara lain diwujudkan dengan adanya Kementerian Kelautan dan Perikanan serta
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Presiden Joko Widodo juga mencanangkan
lima pilar pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia pada KTT Asia
Timur, 13 November 2014. Selain itu, di depan forum G-20, kelompok 20 negara
ekonomi utama dunia, pada tahun 2014, Presiden Joko widodo juga menyatakan
Indonesia akan mengoptimalkan pemanfaatan potensi laut Indonesia dengan ekonomi
maritim.
B.
SARAN
Menurut saya, masih banyak hal-hal
di Indonesia yang perlu diperbaiki demi menyambut era globalisasi.
Bidang-bidang dasar khusus-Nya pada bidang kemaritiman harus banyak mengalami perubahan mengarah
kepada yang lebih baik khusus-Nya menambah devisa Negara melalui potensi
maritime di Indonesia.
Globalisasi tidak bisa kita
hindari, kita juga harus berkembang
tetapi kita perlu untuk tetap menanamkan pengamalan nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945 demi terciptanya Indonesia yang lebih maju namun tetap
mempertahankan ciri ke-Indonesia-an-nya. Saya yakin meskipun
secanggih-canggihnya perubahan zaman nanti, apabila kita tetap berpegang teguh
terhadap kedua pedoman tersebut, maka kehidupan negara ini akan menjadi semakin
baik kedepannya, amin
DAFTAR
PUSTAKA
https://dosenekonomi.com/ilmu-ekonomi/contoh-ekonomi-maritim
https://www.kompasiana.com/supiandi/optimalisasi-potensi-ekonomi-maritim-indonesia_5a92401bab12ae7fca09e632
http://simpulanilmu.blogspot.com/2018/02/sejarah-ekonomi-maritim-indonesia.html
https://educationareablog.wordpress.com/2017/05/25/wawasan-kemaritiman-mengenal-potensi-dan-pertahanan-kemaritiman-di-indonesia/
PDF: SEJARAH MARITIM INDONESIA: menulusuri jiwa
bahari bsngsa Indonesia dalam proses integrasi
https://www.academia.edu/8419529/Ekonomi_Maritim
https://www.slideshare.net/AzlanAbdurrahman/4-bab-ii-ekonomi-maritim
http://pmli.co.id/review-book-pembangunan-ekonomi-maritim
https://blog.ruangguru.com/mengembangkan-ekonomi-maritim-dan-agrikultur-di-indonesia
https://dosenekonomi.com/ilmu-ekonomi/contoh-ekonomi-maritim