Hot Posts

6/recent/ticker-posts

WAWASAN KEMRITIMAN ‘’EKONOMI MARITIM INDONESIA DALAM ASPEK SEJARAH’’


Tugas kelompok

WAWASAN KEMRITIMAN
‘’EKONOMI MARITIM INDONESIA DALAM ASPEK
 SEJARAH’’
DOSEN: ELIYANTI MOKODOMPIT, SE, MSi

OLEH
KELOMPOK 10
MUTAWAKKIL                                          B1B1
MUZA ISLAN                                            B1B1
GUSMATANG                                           B1B
SISCA MARDIANI                                    B1B1

PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat menyelesaikan skripsi tentang “Ekonomi Maritim Indonesia Berdasarkan Aspek Sejarah” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.

Kami sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan skripsi yang menjadi tugas kemaritiman kami dengan judul “Ekonomi Maritim Indonesia Berdasarkan Aspek Sejarah”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan skripsi ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah skripsi kami.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap skripsi ini agar kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, skripsi yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangannya




KATA PENGANTAR.. 1
BAB I. 4
PENDAHULUAN.. 4
A. LATAR BELAKANG.. 4
B. RUMUSAN MASALAH.. 5
C. TUJUAN.. 5
D.  MANFAAT. 5
E. SISTEMATIKA PENULISAN.. 6
BAB II. 7
KAJIAN MATERI. 7
A. PENGERTIAN MARITIM DAN EKONOMI. 7
C. SEJARAH MARITIM DI INDONESIA.. 8
D. ASPEK ASPEK KEMARITIMAN.. 10
E. POTENSI MARITIM INDONESIA.. 17
F. CONTOH POTENSI EKONOMI MARTIM DI INDONESIA.. 20
BAB III. 23
PEMBAHASAN.. 23
A. KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA MASYARAKAT PESISIR.. 23
B. BAGAIMANA KEMISKINAN PADA MSYARAKAT PESISIR.. 29
C. KERAJAAN MARITIM DI INDONESIA.. 32
D. EKONOMI MARITIM DI INDONESIA.. 54
BAB IV.. 83
PENUTUP. 83
A. KESIMPULAN.. 83
B. SARAN.. 86
DAFTAR PUSTAKA.. 86
LAMPIRAN.. 88





BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa.Letak geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70%angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik,dan sebaliknya, harus melalui perairan kita. Wilayah laut yang demikian luas dengan 17.500-an pulau-pulau yang mayoritas kecil memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan,terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisatabahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan jugamedia perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis. Panjang pantai 81.000 km (keduaterpanjang di dunia setelah Kanada) merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang secara biologis sangat kaya dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Secarametereologis, perairan nusantara menyimpan berbagai data metrologi maritim yang amat vitaldalam menentukan tingkat akurasi perkiraan iklim global. Di perairan kita terdapat gejalaalam yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau Indonesian yaituarus laut besar yang permanen masuk ke perairan Nusantara dari samudra Pasifik yang mempunyai pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan pembiakannya dan juga pengaruh besar pada iklim benua Australia.

Karena memiliki sejarah kemaritiman dan potensi sumberdaya kemaritiman yang besar maka muncul lah gagasan pembangunan Benua Maritim Indonesia. BMI adalah bagian dari system planet bumi yang merupakan satu kesatuan alamiah antara darat, laut, dan udara diatasnya, tertata secara unik, menampilkan ciri – ciri benua dengan karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan cuaca, keadaan airnya, tatanan kerak bumi, keragaman biota,serta tatanan social budayanya yang menjadi yuridiksi NKRI yang secara langsung maupun tidak langsung akan menggugah emosi, perilaku dan sikap  mental dalam menentukan orientasi dan pemanfaatan unsur-unsur maritim di semua aspek kehidupan. Hal inilah yang kemudian menarik untuk diketahui tentang bagaimana pembangunan Benua Maritim Indonesia. Oleh karena itu penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang pertanyaan tersebut dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat menjadi jawaban dan memberikan pemahaman terkait pertanyaan yang dikaji.











B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang melatar belakangi kondisi social ekonomi dan budaya masyarakat pesisir
2.      Bagaimana proses kejayaan maritime di Indonesia pada masa sejarah
3.      Bagaimana perkebangan kerajaan maritime di Indonesia
4.      Bagaimana Perkembangan ekonomi maritime di Indonesia
C. TUJUAN
1.      Mengetahui apa yang melatar belakangi kondisi social ekonomi dan budaya masyrakat pesisir
2.      Mengetahui proses kejayaan maritim di Indonesia pada masa sejarah
3.      Mengetahui kerajaan maritime di Indonesia
4.      Mengetahui perkembangan ekonomi maritime di Indonesia

D.  MANFAAT
1.      Agar dapat mengetahui apa yang melatar belakangi kondisi social ekonomi dan budaya masyrakat pesisir
2.      Agar dapat mengetahui proses kejayaan maritim di Indonesia pada masa sejarah
3.      Agar dapat mengetahui perkembangan kerajaan maritime di Indonesia dan hubungan dengandunia internasional
4.      Agar dapat mengetahui masalah ekonomi maritime di Indonesia
5.      Agar dapat mengetahui penyebab kemisikinan pada masyrakat pesisir
6.      Agar dapat mengetahui perkembangan ekonomi maritime di Indonesia


E. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memahami lebih jelas laporan ini, maka materi-materi yang tertera pada Laporan Skripsi ini dikelompokkan menjadi beberapa sub bab dengan sistematika penyampaian sebagai berikut :

1.      BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

2.      BAB II KAJIAN MATERI
Bab ini berisikan teori yang berupa pengertian dan definisi yang diambil dari kutipan artikel yang berkaitan dengan penyusunan laporan skripsi serta beberapa literature review yang berhubungan dengan penelitian.

3.      BAB III PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang pembahasan – pembahasan yang berada pada rumusan masalah yang terdapat pada latar belakang.

4.      BAB IV
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.



BAB II
KAJIAN MATERI


A. PENGERTIAN MARITIM DAN EKONOMI
1.                    Pengertian Maritim

               Maritim Berasal dari kata maritime (bahasa Inggris) yang berarti navigasi maritim atau bahari. Maritime adalah segala aktivitas pelayaran dan perdagangan yang berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga, sehingga dapat disimpulka  bahwa maritim adalah berkenaan dengan laut, yang berhubungan dengan pelayaran perdagangan laut. Dilihat dari arti kata secara luas, kata kelautan mungkin lebih cenderung mengartikan laut sebagai wadah,yaitu sebagai hamparan air asin yang sangat luas yang menutup  permukaan bumi,   hanya  melihat fisik Laut Dengan  segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya Dengan demikian ,istilah maritim sesungguhnya lebih komprehensif , yaitu tidak hanya melihat laut secara fisik, wadah dan isi, tetapi !ugamelihat laut dalam konteks geopolitik, terutama posisi Indonesia dalam persilanganantara dua benua dan dua samudra serta merupakan wilayah laut yang sangat penting  bagi  perdagangan  dunia. Pengertian  ini sesuai  pula dengan  Kamus Besar  Bahasa Indonesia yang mengartikan maritim sebagai berkenaan dengan laut berhubungan dengan  pelayaran dan perdagangan di laut.

               Pengertian kemaritiman yang selama ini diketahui oleh masyarakat umum adalah menunjukkan kegiatan di laut yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan,sehingga kegiatan di laut yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi atau penangkapan ikan bukan merupakan kemaritiman. Dalam arti lain kemaritiman berarti sempit ruang lingkupnya, karena berkenaan dengan pelayaran dan perdagangan laut.Sedangkan pengertian lain dari kemaritiman yang berdasarkan padatermonologi adalah mencakup ruang/wilayah permukaan laut, pelagik danmesopelagik yang merupakan daerah subur di mana pada daerah ini terdapat kegiatan seperti pariwisata, lalulintas, pelayaran dan jasa-jasa kelautan.

















2.                    Pengertian Ekonomi
            Ekonomi maritime adalah kegiatan ekonomiyang mencakup  transportasi laut, industry  galangan kapal dan perawatannya, pembangunan  dan pengoperasian pelabuhan  baserta industry dan jasa trekait. Ekonomi maritim merupakan salah satu jenis perekonomian yang seharusnya digenjot oleh pemerintah. Dalam upaya untuk meningkatkan petumbuhan ekonomi. Sebagai negara maritim dengan 70% luas wilayah perairan dibandingkan daratan. Tentunya potensi ekonomi maritim sangat sangat potensial dipakai dalam pendongkrak perekonomian indonesia. Apalagi di tengah lesunya beberapa industri ekonomi. Maka pemerintah harus berupaya lebih keras untuk semakin memperkenalkan ekonomi maritim kepada mereka yang memang notabene menggantungkan penghasilan dari sektor kelautan yang masih minim sehingga sebagai penyebab ekonomi indonesia tidak stabil dan menjadi penyebab ekonomi menurun.

B. SEJARAH MARITIM DI INDONESIA
Sejarah mencatat bahwa kejayaan bahari bangsa Indonesia sudah lahir sebelum kemerdekaan, hal ini dibuktikan dengan adanya temuan-temuan situs prasejarah maupun sejarah. Peneuman situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu-perahu layar,  menggambar kan   bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut, selain itu ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia  dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain yang tentunya menggunakan kapal-kapal yang laik layar. Kerajaan Sriwijaya (683 M – 1030 M) memiliki armada laut yang kuat, menguasai jalur perdagangan laut dan memungut cukai atas penggunaan laut. Pengaruhnya meliputi Asia Tenggara yang mana hal ini dikuatkan oleh catatan sejarah bahwa terdapat hubungan yang erat dengan Kerajaan Campa yang terletak di antara Camboja dan Laos.
Kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah bersama kerajaan lainnya seperti Kerajaan Tarumanegara telah membangun Candi Borobudur yang pada relief dindingnya dapat terlihat gambar perahu layar dengan tiang-tiang layar yang kokoh dan telah menggunakan layar segi empat yang lebar. Kejayaan Kerajaan Singosari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara telah memiliki armada kapal dagang yang mampu mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lintas laut. Perkembangan Kerajaan Singosari dipandang sebagai ancaman bagi Kerajaan Tiongkok dimana saat itu berkuasa Kaisar Khu Bilai Khan. Keinginan untuk menaklukkan Kerajaan Singosari dilakukan Khu Bilai Khan dengan mengirim kekuatan armadanya hingga mendarat di Pulau Jawa. Disaat Kertanegara harus berhadapan dengan kekuatan armada Khu Bilai Khan, Raden Wijaya memanfaatkan momentum ini untuk membelot melawan Kertanegara dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit (1293 M – 1478 M) selanjutnya berkembang menjadi kerajaan maritim besar yang memiliki pengaruh dan kekuasaan yang luas meliputi wilayah Nusantara. Dengan kekuatan armada lautnya, Patih Gajah Mada mampu berperang untuk memperluas wilayah kekuasaan, sekaligus menanamkan pengaruh, melaksanakan hubungan dagang dan interaksi budaya. Bukti-bukti sejarah ini tidak bisa dielakkan bahwa kejayaan bahari Bangsa Indonesia sudah bertumbuh sejak dahulu. Berbagai dokumen tentang kejayaan bahari Bangsa Indonesia pada masa lalu, namun dalam perjalanannya kemudian mengalami keredupan. Setidaknya ada dua sebab terjadinya hal ini, yaitu praktek kebaharian kolonial Belanda pada masa lalu; dan kebijakan pembangunan bahari pada masa rezim Orde Baru. Pada masa kolonial Belanda, atau sekitar abad ke -18, masyarakat Indonesia dibatasi berhubungan dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda, padahal sebelumnya telah muncul beberapa kerajaan bahari nusantara, seperti Bugis-Makassar, Sriwijaya, Tarumanegara, dan peletak dasar kebaharian Ammana Gappa di Sulawesi Selatan. Akibatnya budaya bahari bangsa Indonesia memasuki masa suram. Kondisi ini kemudian berlanjut dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun kembali Indonesia sebagai bangsa bahari. Akibatnya, dalam era kebangkitan Asia Pasifik, pelayaran nasional kita kalah bersaing dengan pelayaran asing akibat kurangnya investasi. Pada era kolonialisme terjadi pengikisan semangat bahari Bangsa Indonesia yang dilakukan oleh kolonial dengan menggenjot masyarakat indonesia untuk melakukan aktivitas agraris untuk kepentingan kolonial dalam perdagangan rempah-rempah ke Eropa.

Mengembalikan semangat bahari itu tidak mudah, diperlukan upaya yang serius dari semua elemen bangsa. Sudah  sepantasnya kita mengoptimalkan Unclos 1982 yang merupakan peluang terbesar negara kepulauan, namun lemahnya perhatian dan keberpihakan pemerintah di laut maka beberapa kerugian yang ditimbulkannya, seperti lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 dengan alasan “ineffective occupation” atau wilayah yang diterlantarkan. Posisi strategis Indonesia setidaknya memberikan manfaat setidaknya dalam tiga aspek, yaitu; alur laut kepulauan bagi pelayaran internasional (innocent passage, transit passage, dan archipelagic sea lane passage) berdasarkan ketentuan IMO; luas laut territorial yang dilaksanakan sejak Deklarasi Djuanda 1957 sampai dengan Unclos 1982 yang mempunyai sumberdaya kelautan demikian melimpah; dan sumber devisa yang luar biasa jika dikelola dengan baik. Minimnya keberpihakan kepada sektor bahari (maritime policy) salah satunya menyebabkan masih semrawutnya penataan selat Malaka yang sejatinya menjadi sumber devisa; hal lainnya adalah pelabuhan dalam negeri belum menjadi international hub port, ZEE yang masih terlantar, penamaan dan pengembangan pulau-pulau kecil, terutama di wilayah perbatasan negara tidak kunjung tuntas, serta makin maraknya praktik illegal fishing, illegal drug traficking, illegal people, dan semakin meningkatnya penyelundupan di perairan Indonesia. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningakatkan kesejahteraan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan merata. Seiring dengan tujuan tersebut maka kemampuan pertahanan dan keamanan harus senantiasa ditingkatkan agar dapat melindungi dan mengamankan hasil pembangunan yang telah dicapai. Pemanfaatan potensi sumber daya nasional secara berlebihan dan tak terkendali dapat merusak atau mempercepat berkurangnya sumber daya nasional. Pesatnya perkembangan teknologi dan tuntutan penyediaan kebutuhan sumber daya yang semakin besar mengakibatkan laut menjadi sangat penting bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia ke arah pendekatan bahari merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. Wilayah laut harus dapat dikelola secara profesional dan proporsional serta senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia di laut. Beberapa fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan berbasi















D. ASPEK ASPEK KEMARITIMAN
1.  Aspek Sosial Budaya
Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan kepentingan umum (kata sifat). Budaya dari kata Sans atau Bodhya yang artinya pikiran dan akal budi Budaya ialah segala hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta, rasa dan karsa. Dapat berupa kesenian, moral, pengetahuan, hukum, kepercayaan, adat istiadat, & ilmu.
        Sosial Budaya adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat Secara  sederhana kebuadayaan dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya  Budaya atau  kebudayaan berasal dari  bahasa Sansekerta yaitu  buddhayah, yang  merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Koentjaraningrat (2002) mendefinisikan kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai budaya.

Taylor dalam bukunya Primitive Culture, memberikan definisi kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan kesenian, moral, hukum,  adat-istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaankebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Herskovits, Budaya sebagai hasil karya manusia sebagai bagian dari lingkungannya (culture is the human-made part of the environment). Artinya segala sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial, maka bisa disebut budaya.

a.       Unsur Kebudayaan     
          
Koentjaraningrat (2002) membagi budaya menjadi 7 unsur : yakni sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan.


b.      Pengaruh Pada aspek Sosial Budaya

Istilah sosial budaya mencakup dua segi utama kehidupan bersama manusia yaitu segi sosial dimana manusia demi kelangsungan hidupnya harus mengadakan kerjasama dengan manusia lainnya. Sementara itu, segi budaya merupakan keseluruhan tata nilai dan cara hidup yang manifestasinya tampak dalam tingkah laku dan hasil tingkah laku yang terlembagakan. Pengertian sosial pada hakekatnya adalah pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat yang mengandung nilai-nilai kebersamaan, senasib, sepenanggungan dan solidaritas yang merupakan unsur pemersatu. Adapun hakekat budaya adalah sistem nilai yang merupakan hasil hubungan manusia dengan cipta, rasa dan karsa yang menumbuhkan gagasan-gagasan utama serta merupakan kekuatan pendukung penggerak kehidupan. Dengan demikian, kebudayaan merupakan seluruh cara hidup suatu masyarakat yang manifestasinya dalam tingkah laku dan hasil dari tingkah laku yang dipelajari dari berbagai sumber. Kebudayaan diciptakan oleh faktor organobiologis manusia, lingkungan alam, lingkungan psikologis dan lingkungan sejarah.


c.       Ketahanan Pada Aspek Sosial Budaya

Ketahanan di bidang sosial budaya diartikan sebagai kondisi dinamik yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional didalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik yang datang dari d’alam maupun dari luar yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Wujud ketahanan sosial budaya nasional tercermin dalam kehidupan sosial budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila, yang mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia. Esensi pengaturan dan penyelenggaran kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia adalah pengembangan kondisi sosial budaya dimana setiap warga masyarakat dapat merealisasikan pribadi dan segenap potensi manusiawinya yang dilandasi nilai-nilai Pancasila.


1.      Aspek Sosial Ekonomi

a.  Sisi Rencana Pembangunan Nasional, Analisis manfaat proyek ditinjau dari sisi ini dimaksudkan agar proyek dapat:
·         Memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat.
·         Menggunakan sumber daya lokal.
·         Menghasilkan dan menghemat devisa.
·         Menumbuhkan industri lain.
·         Turut menyediakan kebutuhan konsumen dalam negeri sesuai dengan kemampuan.
·         Menambah pendapatan nasional.

b.  Sisi Distribusi Nilai Tambah
Yaitu agar proyek yang akan dibangun memiliki nilai tambah. Nilai tambah hendaknya dapat dihitung secara kuantitatif. Dalam perhitungan tersebut, agar lebih mudah dapat diasumsikan bahwa proyek berproduksi  dengan kapasitas normal. Setelah nilai tambah tersebut diketahui besarnya, maka nilai ini selanjutnya dapat didistribusikan. Hendaknya perhitungan-perhitungan tersebut dilakukan secara jelas.

c.   Sisi Nilai Investasi Per Tenaga Kerja
Penilaian berikutnya adalah bahwa proyek mampu meningkatkan kesempatan kerja. Salah satu cara mengukur proyek padat modal atau padat karya adalah dengan membagi jumlah investasi (modal tetap + modal kerja) dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat sehingga didapat nilai investasi per tenaga kerja. Untuk proyek perluasan, perhitungan nilai investasi merupakan jumlah investasi sebelum dan sesudah investasi. Sayangnya, modal ini berpatokan pada nilai rupiah tertentu, misalnya proyek bisnis dengan nilai lebih besar dari X Rupiah adalah padat modal, dan selain itu berarti padat karya.

Adapun hambatan pembangunan yang terjadi di Bidang Ekonomi yaitu:
1.    Iklim tropis

Iklim tropis menyebabkan terjadinya lingkungan kerja yang panas dan lembab sehingga menurunkan usaha atau gairah kerja manusia, banyak muncul penyakit, serta membuat pertanian kurang menguntungkan.

2.  Produktivitas rendah
Produktivitas rendah ini disebabkan oleh kualitas manusia dan sumber alam yang relatif kurang menguntungkan.

3.  Kapital sedikit
Disebabkan oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja yang berakibat kepada rendahnya pendapatan negara, sehingga tabungan sebagai sumber kapital juga rendah.

4.  Nilai perdagangan luar negeri
Ini disebabkan negara miskin mengandalkan ekspor bahan mentah yang mempunyai  elastisitas permintaan atas perubahan harga yang inelastis.

5.  Besarnya pengangguran
Ini disebabkan karena banyaknya tenaga kerja yang pindah dari desa ke kota dan kota tidak mampu menampung tenaga mereka karena kurangnya faktor produksi lain untuk mengimbanginya sehingga terjadilah pengangguran itu.

6.  Besarnya ketimpangan distribusi pendapatan
Misalnya keuntungan lebih banyak dimiliki oleh sebagian kecil golongan
tertentu saja.

7.  Tekanan penduduk yang berat
Hal ini disebabkan karena antara lain naiknya rata-rata umur manusia dibarengi dengan masih besarnya persentase kenaikan jumlah penduduk yang makin lama makin membebani sumber daya lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.

8.  Penggunaan tanah yang produktivitas rendah
Hal ini disebabkan karena sektor pertanian menjadi mata pencaharian utama, di samping itu juga, kualitas alat-alat produksi, pupuk, teknik pengolahan tanah juga masih relatif rendah.

 3.    Aspek Sosial Politik
Politik berasal dari kata politics dan atau policy artinya berbicara politik akan mengandung makna kekuasaan (pemerintahan) atau juga kebijaksanaan. Pemahaman itu berlaku di Indonesia dengan tidak memisahkan antara politics dan policy sehingga kita menganut satu paham yaitu politik. Hubungan tersebut tercermin dalam fungsi pemerintahan negara sebagai penentu kebijaksanaan serta aspirasi dan tuntutan masyarakat sebagai tujuan yang ingin diwujudkan sehingga kebijaksanaan pemerintahan negara itu haruslah serasi dan selaras dengan keinginan dan aspirasi masyarakat.
Politics di Indonesia harus dapat dilihat dalam konteks Ketahanan Nasional ini yang meliputi dua bagian utama yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri.

a.       Politik Dalam Negeri

Politik dalam negeri adalah kehidupan politik dan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang mampu menyerap aspirasi dan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam satu sistem, yang unsur-unsurnya terdiri dari :

·         Struktur Politik
Merupakan wadah penyaluran pengambilan berupa kepentingan masyarakat dan sekaligus wadah dalam menjaring/pengkaderan pimpinan nasional.
·         Proses Politik
Merupakan suatu rangkaian pengambilan keputusan tentang berbagai kepentingan politik maupun kepentingan umum yang bersifat nasional dan penentuan dalam pemilihan kepemimpinan, yang puncaknya terselenggara dalam pemilu.
·         Budaya Politik
Merupakan pencerminan dari aktualisasi hak dan kewajiban rakyat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilaksanakan secara sadar dan rasional baik melalui pendidikan politik maupun kegiatan-kegiatan politik yang sesuai dengan disiplin nasional.
·         Komunikasi Politik
Merupakan suatu hubungan timbal balik antar berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara baik rakyat sebagai sumber aspirasi maupun sumber pimpinan-pimpinan nasional.

b.      Politik Luar Negeri

Politik luar negeri adalah salah satu sarana pencapaian kepentingan nasional dalam pergaulan antar bangsa. Politik luar negeri Indonesia berlandaskan pada Pembukaan UUD 1945 yakni melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial serta anti penjajahan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Politik luar negari merupakan proyeksi kepentingan nasional kedalam kehidupan antar bangsa. Dijiwai oleh falsafah negara Pancasila sebagai tuntutan moral dan etika, politik luar negeri Indonesia diabadikan kepada kepentingan nasional terutama untuk pembangunan nasional. Dengan demikian politik luar negeri merupakan bagian intergral dari strategi nasional dan secara keseluruhan merupakan salah satu sarana pencapaian tujuan nasional. Politik luar negeri Indonesia adalah bebas dan aktif. Bebas dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memeihak kepada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.  
Aktif dalam pengertian tidak bersifat reaktif dan tidak menjadi objek percaturan internasional, tetapi berperan serta atas dasar cita-cita bangsa yang tercermin dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. heterogenitas kepentingan bangsa-bangsa di dunia maka politik luar negeri harus bersifat kenyal dalam arti bersikap moderat dalam hal yang kurang prinsipil maupun tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar seperti yang ditentukan dalam Pembukaan UUD 1945. Dinamika perubahan-perubahan hubungan antar bangsa yang cepat dan tidak menentu di dunia maka dibutuhkan kelincahan dalam arti kemampuan penyesuaian yang tinggi dan cepat untuk menanggapi dan menghadapinya demi kepentingan nasional.


d.      Ketahanan Pada Aspek Politik

Ketahanan pada aspek politik diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan politik bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, gangguan, ancaman dan hambatan yang datang dari luar maupun dari dalam negeri yang langsung maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan hidup politik bangsa dan negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

1.   Ketahanan Pada Aspek Politik Dalam Negeri
·         Sistem pemerintahan yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan yang bersifat absolut, kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat.

·         Mekanisme politik yang memungkikan adanya perbedaan pendapat, namun perbedaaan itu tidak menyangkut nilai dasar sehingga tidak antagonistis yang dapat menjurus pada konflik fisik. Disamping itu harus dicegah timbulnya diktator mayoritas dan tirani minoritas.

·          Kepemimpinan nasional mampu mengakomodasikan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, dengan tetap dalam lingkup Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara.

·          Terjalin komunikasi dua arah antara pemerintah dengan masyarakat dan antar kelompok/golongan dalam masyarakat dalam rangka mencapai tujuan nasional dan kepentingan nasional.


2.  Ketahanan Pada Aspek Politik Luar Negeri

Hubungan luar negeri ditujukan untuk lebih meningkatkan kerjasama internasional di berbagai bidang atas dasar saling menguntungkan, meningkatkan citra positif Indonesia di luar negeri, memantapkan persatuan bangsa dan keutuhan NKRI. Politik luar negeri terus dikembangkan menurut prioritas dalam rangka meningkatkan persahabatan dan kerjasama antar negara berkembang dan atau dengan negara maju sesuai dengan kemampuan dan demi kepentingan nasional. Peranan Indonesia dalam membina dan mempererat persahabatan dan kerjasama antar bangsa yang saling menguntungkan perlu terus diperluas dan ditingkatkan. Citra positif Indonesia terus ditingkatkan dan diperluas antara lain melalui promosi, peningkatan diplomasi dan lobi internasional, pertukaran pemuda, pelajar dan mahasiswa serta kegiatan olah raga. Perkembangan, perubahan dan gejolak dunia terus diikuti dan dikaji denga seksama agar secara dini dapat diperkirakan terjadinya dampak negatif yang dapat mempengaruhi stabitlitas nasional serta menghambat kelancaran pembangunan dan pencapaian tujuan nasional. Langkah bersama negara berkembang untuk memperkecil ketimpangan dan ketidakadilan dengan negara industri maju perlu ditingkatkan dengan melaksanakan perjanjian perdagangan internasioal serta kerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan  internasional

.Perjuangan mewujudkan tatanan dunia baru dan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui penggalangan dan pemupukan solidaritas dan kesamaan sikap serta kerjasama internasional dengan memanfaatkan berbagai forum regional dan global .Peningkatan kualitas sumberdaya manusia perlu dilaksanakan dengan pembenahan secara menyeluruh terhadap sistem pendidikan, pelatihan dan penyuluhan calon diplomat agar dapat menjawab tantangan tugas yang dihada[inya. Disamping itu, perlu ditingkatkan aspek-aspek kelembagaan dan sarana penunjang lainnya. Perjuangan bangsa Indoesia di dunia yang menyangkut kepentingan nasionan seperti melindung kepentingan Indonesia dari kegiatan diplomasi negatif negara lain dan hak-hak warga negara Indonesi di luar negeri perlu ditingkakan.

E. POTENSI MARITIM INDONESIA

LUAS lautan dibandingkan luas daratan di dunia mencapai kurang lebih 70 berbanding 30, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi negara-negara di dunia yang memiliki kepentingan laut untuk memajukan maritimnya. Seiring perkembangan lingkungan strategis, peran laut menjadi signifikan serta dominan dalam mengantar kemajuan suatu negara.

Alfred Thayer Mahan, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, dalam bukunya “The Influence of Sea Power upon History” mengemukakan teori bahwa sea power merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu negara, yang mana jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Sebaliknya, jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan akan berakibat kerugian bagi suatu negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut.

Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Kekuatan inilah yang merupakan potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia.

Data Food and Agriculture Organization di 2012, Indonesia pada saat ini menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah China dan India. Selain itu, perairan Indonesia menyimpan 70 persen potensi minyak karena terdapat kurang lebih 40 cekungan minyak yang berada di perairan Indonesia. Dari angka ini hanya sekitar 10 persen yang saat ini telah dieksplor dan dimanfaatkan.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum merasakan peran signifikan dari potensi maritim yang dimiliki yang ditandai dengan belum dikelolanya potensi maritim Indonesia secara maksimal. Dengan beragamnya potensi maritim Indonesia, antara lain industri bioteknologi kelautan, perairan dalam (deep ocean water), wisata bahari, energi kelautan, mineral laut, pelayaran, pertahanan, serta industri maritim, sebenarnya dapat memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) disebutkan, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Meskipun begitu tidak dapat dipungkiri juga bahwa kekayaan alam khususnya laut di Indonesia masih banyak yang dikuasai oleh pihak asing, dan tidak sedikit yang sifatnya ilegal dan mementingkan kepentingan sendiri.

Dalam hal ini, peran Pemerintah (government will) dibutuhkan untuk bisa menjaga dan mempertahankan serta mengolah kekayaan dan potensi maritim di Indonesia. Untuk mengolah sumber daya alam laut ini, diperlukan perbaikan infrastruktur, peningkatan SDM, modernisasi teknologi dan pendanaan yang berkesinambungan dalam APBN negara agar bisa memberi keuntungan ekonomi bagi negara dan juga bagi masyarakat. Sebagaimana halnya teori lain yang dikemukakan oleh Alfred Thayer Mahan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi untuk membangun kekuatan maritim, yaitu posisi dan kondisi geografi, luas wilayah, jumlah dan karakter penduduk, serta yang paling penting adalah karakter pemerintahannya.
  
Dari sisi pertahanan, penguasaan laut berarti mampu menjamin penggunaan laut untuk kepentingan nasional dan mencegah lawan menggunakan potensi laut yang kita miliki. Pemerintah perlu segera menyelesaikan percepatan batas wilayah laut agar dapat memberikan memberikan kepastian atas batas wilayah negara dan dapat mempererat hubungan bilateral antara negara yang berbatasan, serta mendorong kerja sama kedua negara yang berbatasan di berbagai bidang termasuk dalam pengelolaan kawasan perbatasan, misal  terkait pelayaran, kelautan dan perikanan.

Selain itu dengan adanya kepastian batas wilayah laut dapat terpelihara kedaulatan suatu negara dan penegakkan hukum di wilayah perairan. Seperti yang diketahui, Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan 10 (sepuluh) negara yaitu dengan India (Landas Kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)), Thailand (Landas Kontinen, ZEE), Malaysia (Laut Wilayah, ZEE, Landas Kontinen), Singapura (Laut Wilayah), Vietnam (Landas Kontinen, ZEE), Filipina (ZEE, Landas Kontinen), Palau (ZEE, Landas Kontinen), Papua Nugini (ZEE , Landas Kontinen), Timor Leste (Laut Wilayah, Landas Kontinen, ZEE) dan Australia (ZEE, Landas Kontinen). Dari sejumlah perbatasan itu, Indonesia telah menyelesaikan sebagian penetapan batas maritim dengan India (Landas Kontinen), Thailand (Landas Kontinen), Malaysia (sebagian Laut Wilayah, Landas Kontinen), Singapura (sebagian Laut Wilayah), Vietnam (Landas Kontinen), Filipina (ZEE), Papua Nugini (ZEE, Landas Kontinen) dan Australia (ZEE, Landas Kontinen). Berbagai upaya lainnya perlu dilaksanakan untuk menuju Indonesia sebagai poros maritim dunia, antara lain penyempurnaan RUU Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung, penyelarasan sistem pendidikan dan pelatihan kemaritiman, penguasaan kapasitas industri pertahanan khususnya industri maritim, modernisasi armada perikanan, penguatan armada pelayaran rakyat dan pelayaran nasional, pemantapan pengelolaan pemanfaatan laut melalui penataan ruang wilayah laut, peningkatan litbang kemaritiman, dan diversifikasi sumber energi terbarukan di laut.


             Urgensi Pembentukan Kementerian Maritim

Pada Sidang Paripurna DPR RI 29 September 2014 lalu, RUU Kelautan telah disahkan menjadi UU Kelautan. Hal tersebut merupakan langkah maju bangsa Indonesia sekaligus menandai dimulainya kebangkitan Indonesia sebagai bangsa bahari yang kini tengah bercita-cita menjadi Negara Maritim. UU Kelautan akan menjadi payung hukum untuk mengatur pemanfaatan laut Indonesia secara komprehensif dan terintegrasi. Seiring dengan hal tersebut, Presiden terpilih Joko Widodo, yang baru saja dilantik secara resmi sebagai Presiden Republik Indonesia, memfokuskan pada pentingnya peran Maritim Indonesia dengan visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal ini merupakan kebijakan strategis, mengingat memang Indonesia merupakan negara bahari yang dikelilingi oleh lautan. Seluruh alur pelayaran dunia akan melalui lautan Indonesia sebagai jalur strategis sehingga harusnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai pendekatan diplomasi dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, terdapat ide untuk membentuk sebuah kementerian maritim yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.

Terdapat dua jenis wacana yang muncul terkait dengan ide pembentukkan kementerian maritim, yaitu pembentukkan Kementerian Maritim sebagai salah satu Kementerian di bawah Kabinet Presiden Terpilih Jokowi, dan pembentukkan Kementerian Koordinator Maritim yang membawahi kementerian-kementerian terkait dengan hal maritim guna memfokuskan kabinet pada pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kompleksitas permasalahan serta banyaknya segi yang harus ditangani dalam pembangunan berbasis maritim menuntut kebijakan lintas sektoral yang efektif. Saat ini pengelolaan laut Indonesia melibatkan banyak lembaga, yaitu Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM,Kementerian  Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perindustrian, KementerianPerdagangan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, TNI AL, dan Polri. Dengan begitu banyak lembaga yang berkecimpung di laut sebenarnya dapat menjadi peluang maupun hambatan dalam pembangunan maritim. Menjadi peluang apabila semua  stakeholder maritim bisa bersinergi dan menjadi hambatan apabila yang terjadi sebaliknya.

Menanggapi hal tersebut, ide membentuk Kementerian Maritim sebanarnya dapat menjadi angin segar untuk mewujudkan cita-cita sebagai poros maritim dunia mengingat saat ini yang terjadi adalah K/L yang berkecimpung di dunia maritim Indonesia kurang bersinergi dan terkesan bekerja sendiri-sendiri sehingga tidak efektif dalam mengoptimalisasi potensi maritim Indonesia. Sebagai contoh, sekarang ini Indonesia memiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun tidak memiliki hak untuk melakukan penjagaan wilayah laut karena ada instansi lain yang mengklaim berhak menjaga wilayah laut. Namun yang terjadi kenyataannya adalah puluhan ribu nelayan asing masuk dan mencuri ikan di laut Indonesia. Pentingnya eksistensi Kementerian Maritim ini lebih ditunjukkan pada beban-beban tugasnya di daerah pesisir. Kementerian Maritim mempunyai tugas untuk bisa mengintegrasikan persoalan-persoalan maritim serta solusinya dan menyosialisasikan kepada masyarakat di wilayah pesisir Indonesia sebagai pelaksana pertama terhadap hal-hal yang terjadi di lautan Indonesia. Perlu dicermati juga kelemahan dari ide pembentukan Kementerian Maritim, yaitu dari sisi tugas dan fungsi yang dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait maritim lainnya. Dengan demikian, wacana pembentukan Kementerian Koordinator Bidang Maritim mulai marak muncul untuk menghindari terjadinya tumpang tindih tugas dan fungsi ini. Kementerian Koordinator Maritim itu sangat vital membawahi 18 kementerian yang saling terkait dengan dunia laut, keamanan, teritorial, serta ekonomi. Secara umum, Kementerian Koordinator Bidang Maritim tidak hanya akan menangani persoalan perikanan dan sumber daya maritim, namun juga keamanan, batas wilayah laut, bea cukai, dan banyak hal lain yang selama ini menjadi tanggung jawab sejumlah kementerian lain. Namun, dari sisi keuangan negara, pembentukan Kementerian Koordinator Maritim tentu saja akan menambah beban keuangan negara, mulai dari infrastruktur dan belanja rutin.

F. CONTOH POTENSI EKONOMI MARTIM DI INDONESIA
            Ekonomi maritim merupakan salah satu jenis perekonomian yang seharusnya digenjot oleh pemerintah. Dalam upaya untuk meningkatkan petumbuhan ekonomi. Sebagai negara maritim dengan 70% luas wilayah perairan dibandingkan daratan. Tentunya potensi ekonomi maritim sangat sangat potensial dipakai dalam pendongkrak perekonomian indonesia. Apalagi di tengah lesunya beberapa industri ekonomi. Maka pemerintah harus berupaya lebih keras untuk semakin memperkenalkan ekonomi maritim kepada mereka yang memang notabene menggantungkan penghasilan dari sektor kelautan yang masih minim sehingga sebagai penyebab ekonomi indonesia tidak stabil dan menjadi penyebab ekonomi menurun . Cukup berbangga memang, sebab beberapa tahun belakangan ini sektor kelautan dan sektor usaha mikro kecil dan menengah cukup menyumbang devisa bagi negara. Namun, untuk industri ekonomi maritim, masih harus cukup banyak dipecut. Sebab, masih ada beberapa potensi dari wilayah maritim yang malah tidak dikembangkan oleh pemerintah. Selain itu juga, kurangnya geliat dari pemerintah menyebabkan sektor ini malah dilirik oleh pengusaha swasta atau asing. Padahal jika pemerintah lebih memprioritaskan pengelolaan, maka para warga di wilayah tersebut akan dapat turut serta. Sebenarnya apa sajakah ekonomi maritim tersebut. Berikut 10 contoh ekonomi maritim yang masih perlu dikembangkan di Indonesia. Simak selengkapnya.
Jasa Kapal Penyebrangan Antar Pulau atau Negara
Sebagai negara kepulauan tentunya dibutuhkan sarana untuk sampaj ke pulau lainnya. Salah satu caranya ialah dengan menggunakan jasa kapal penyebrangan. Dalam hal ini, jasa penyebrangan kapal antar pulau atau antar negara termasuk kedalam contoh ekonomi maritim. Sebagai bagian dari ekonomi kemaritiman tentunya usaha jasa penyebrangan ini sangat membantu bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan antar pulau. Di Indonesia sendiri kapal transportasi yang digunakan harus memiliki izin dari instansi terkait apabila kapal yang digunakan merupakan kapal penumpang dengan kapasitas besar. Simak juga penyebab ekonomi lesu , cara mengatur keuangan bulanan dan penyebab ekonomi melemah . Berbeda halnya dengan kapal-kapal kecil yang hanya melayani penyebrangan domestik. Misalnya dari Pulau A ke Pulau B yang masih dalam satu wilayah. Mereka tidak membutuhkan izin resmi dari pemerintah. Jasa kapal penyebrangan beberapa tahun lalu masih tumbuh sangat subur. Namun, seiring berjalannya waktu geliat ekonomi maritim dari sektor ini cenderung surut. Apalagi pada wilayah yang telah dibangun jembatan penghubung antar pulay seperti jembatan Suramadu. Notabene menghubungkan Surabaya dan Madura. Selain itu, pertimbangan utama untuk menggunakan transportasi jenis ini ialah keselamatan. Masih terdapat banyak kecelakaan yang melibatkan kapal penumpang yang melayani penyebrangan antar pulau. Ini menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat untuk kemudian menggunakan sarana ini sebagai saranan pilihan transportasi yang tepat. Nah, tentunya ini menjadi tigas oemerintah dan lembaga terkait yakni PT PELNI yang tentunya harus selalu berupaya meningkatkan pelayanan dan mengutamakan keselamatan para penumpang.







1.      Industri Reparasi Kapal

industri reparasi kapal juga merupakan salah satu jenis contoh ekonomi maritim. Industri ini menjadi salah satu industri yang potensial. Sebab kapal laut tentu sama hal yang dengan mobil.atau mesin lainnya yang bisa saja mengalami kerusakan. Tentunya tidak sembarang orang atau bengkel yang bisa memperbaikinya. Dibutubkan ahli dan kemampuan khusus yang memang paham betul mengenai elemen perkapalan. Pilihan mengapa kemudian banyak orang yang lebih memiliki mereparasi ketimbang harus membeli baru. Anda bayangkan saja, satu kapal laut pasti memiliki harga yang fantastis. Maka tentu pilihannya jika ada kerusakan ya memang harus diperbaiki.
2.      Industri Pembuatan Kapal

Industri pembuatan kapal laut juga menjadi contoh ekonomi maritim yang perlu lebih dikembangkan. Sebab industri ini jika berkembang akan bisa lebih mudah masuk ke pasar internasional. Apalagi jika mampu bersaing dengan negara lain yang notabene sudah lama terjun di bidang ini. Pada faktanya negara dengan industri pembuatan kapal malah lebih banyak negara yang tidak memiliki laut. Sehingga mereka menjual.produlnya ke negara maritim seperti Indonesia. Jika kita bisa menembangkan industri ini, maka nelayan kita akan bisa memiliki kapal penangkap ikan yang lebih canggih tanpa perlu mengekspornya dari luar negeri.
3.      Industri Logistik Pengiriman Barang Lewat Jalur Laut

Seiring dengen semakin majunya teknologi dan informasi. Serta euforia masyarakat terhadap sistem belanja online. Maka industri logistik atau pengiriman me jadi ladang usaha yang subur. Para penjual akan lebih memilih kurir pengiriman barang untuk mengorim paket keluar kota. Karena mereka tidak mungkin mengantarnya sendiri. Oleh karena itu, industri pengiriman logistik barang lewat jalur laut menjadi pilihan para kurir. Meskipun membutukan waktu relatif lama u tul sampai di kota tujuan. Namun jasa iniasih banyak diminati sebab harganya yang lebih ekonomis.
4.      Tol Laut

Tol laut menjadi salah satu konsep yang di gagas oleh presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo. Tol lalu merupakan sarana penyebrangan logistik yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia . Dengan adanya hubungan antara pelabuhan-pelabuhan laut ini, maka dapat diciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok. Selain hal itu, pemerataan harga Logistik setiap barang di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga dengan adanya tol laut maka harga komoditas dan barang-barang diselurub wilayah Indonesia dapat seragam. Simak juga pengertian ekonomi kerakyatan.





5.      Aktivitas Perekonomian Pelabuhan

Pelabuhan merupakan tempat dimana terdapat banyak aktifitas yang terkait dengan aktivitas transportasi kelautan. Entah itu kapal yang akan menyebrang atau sandar, kendaraan dan penumpang yang akan melakukan perjalanan dan juga aktivitas niaga seperti para penjual dan pedagang yang ada diarea pelabuhan, para porter atau tukang angkut barang. Tentunya semua aktivitas ini mendukung aktivitas perekonomian kelautan. Oleh sebab itu, aktivitas perekonomian pelabuhan menjadi salah satu contoh ekonomi maritim.
6.      Terminal Peti Kemas

Terminal peti kemas merupakan terminal dimana dilakukan pengumpulan peti kemas untuk kemudian diangkut ketujuan terminal peti kemas yang lebih besar. Sudah banyak terminal peti kemas yang berkembang di indonesia. Seperti terminal peti kemas JICT, Koja, Bojonegoro, Surabaya , Semarang, Trisakti, Pelaran, Samarinda. Terminal Peti Kemas berkembang sangat pesat selama beberapa tahun belakangan ini. Ini juga merupakan contoh ekonomi maritim
7.      Jasa Pernavigasian Kapal

Jasa pernavigasian merupakan jasa yang mampu menyumbang devisa negara yang cukup besar. Sebagai contoh, Distrik Navigasi Kelas II Banjarmasin, Kalimantan Selatan memberikan pemasukan ke kas negara senilai Rp2 miliar per tahun. Uang tersebut berasal dari jasa Vessel Traffic Services (VTS). Dalam sehari kapal yang lalu lalang di sepanjang alur pelayaran Sungai Barito sebanyak 60 sampai 70 kapal. Rata-rata dalam sehari pemasukan yang diterima sekitar Rp200 juta-Rp250 juta. Seluruhnya masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Simak juga faktor penyebab inflasi .
8.      Industri Pembuatan Senjata dan Kapal Perang

Contoh ekonomi maritim yang lain ialah industri pembuatan kapal dan senjata perang. Industri ini menjadi industri yang cukup besar dan dapat menyumbang devisa yang besar bagi negara. Tentunya peran serta pemerintah sangat krusial. Serta tenaga ahli yang mumpuni untuk mendukung industri ini kian berkembang.
9.      Jasa Pergudangan Laut

Jasa pergudangan laut, merupakan salah satu contoh ekonomi maritim yang juga mampu memberikan kontribusi dalam penyumbang devisa negara. Jasa pergudangan laut memungkinkan mode transportasi untuk bisa menyimpan barang di sekitar area pelabuhan. Sehingga tentunya dapat menghemat biaya transportasi sehingga tidak membebani harga pokok barang.
Itulah 10 contoh ekonomi maritim yang masih perlu dikembangkan di Indonesia. Tentunya dapat menjadi potensi dalam mengenjot perekonomian dalam negeri agar kian tumbuh. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.



BAB III
PEMBAHASAN

 

A. KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA MASYARAKAT PESISIR
INDONESIA adalah negeri kelautan. Namun, masyarakat pesisir masih jauh tertinggal. Warga yang mendiami 8.090 desa itu diperkirakan berjumlah 16,42 juta jiwa. Komunitas yang ditandai dengan angka indeks kemiskinan 0,28. Dengan kata lain, sekitar 28 persen populasi tergolong miskin. Fenomena kemiskinan masyarakat pesisir, sungguh sangat ironis.  Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan yang besar di kawasan pesisir. Paling tidak, potensi bernilai devisa 82 miliar dolar AS dari laut bisa diperoleh setiap tahun. Sayang, potensi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Alhasil, devisa tidak diraih dan 4 juta nelayan tetap hidup miskin. Data menunjukkan, lebih dari 60 persen penduduk miskin berada di wilayah pesisir Nusantara. Sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta nelayan di kawasan pasisir hidup di bawah garis kemiskinan. Bangsa-bangsa lain justru yang memanfaatkan potensi tersebut lewat kegiatan pencurian ikan yang berlangsung hingga saat ini. Krisis yang berkepanjangan tengah melanda negara kita. Pembangunan yang tidak menjaga keseimbangan lingkungan terjadi dan meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Alasan tersebut diperparah dengan ketidakkonsistennya pemerintah dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Akibat dari ketidakacuhan tersebut baru dapat dirasakan akhir akhir ini, ketika banyak terjadi abrasi (pengikisan pantai) dan banjir bandang yang melanda berbagai daerah di negara ini.
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 Km2. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya.

Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasipemanfaatannya karena  secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.

Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Papua telah berulangkali dilakukan (Rimbawan,
1995; Sumarhani, 1995; Fauziah, 1999). Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang dipeorleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup. abadi dengan manusia sebagai intinya dan partisipasi merupakan perwujudan optimalnya. Keberdayaan masyarakat merupakan modal utama masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan ditengah masyarakat lainnya. Masyarakat pesisir yang sebagian besar merupakan masyarakat nelayan memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan ini sdikarenakan keterkaitannya yang erat dengan karakterstik ekonomi wilayah pesisir, slatar belakang budaya dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang.

Pada umumnya masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi selaras dengan alam, sehingga teknologi memanfaatkan sumberdaya alam adalah teknologi adaptif dengan kondisi wilayah pesisir. kehidupan sosial masyarakat pesisirnya tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat pesisir lainnya yang ada di Indonesia, misalnya rendahnya pendidikan, produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usaha, kurangnya sarana penunjang buruknya mekanisme pasar dan lamanya transfer teknologi dan komunikasi yang mengakibatkan pendapatan masyarakat pesisi, khususnya nelayan pengolah menjadi tidak menentu.

Semakin kompleks dan kompetitif, nelayan pengolah dihadapkan pada tantangan yang semakin besar dalam keterkaitan usaha nelayan dengan berbagai aspek lingkungan yang mempengaruhinya serta persaingan dalam pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya yang tersedia. Untuk itu diperlukan usaha pemberdayaan nelayan pengolah untuk peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan. Sumber daya alam masyarakat pesisir mempunyai potensi yang sangat besar, namun terkadang masyarakat pesisir tidak mampu untuk mengelolanya.  Tidak semua masyarakat pesisir tidak mampu mengelola sumber daya alam yang ada disekitarnya.  Sebagian masyarakat pesisir yang mampu mengelola sumber daya alamnya terkadang tidak dihargai.  Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir adalah lagu lama yang tak dapat dielakkan disepanjang sejarah berdirinya republik Indonesia hingga bergulirnya era reformasi, rintihan pilu masyarakat pesisir tidak jua kunjung reda. Semestinya bangsa ini berbangga diri memiliki masyarakat yang rela mencurahkan hidup dan matinya untuk mengelola sumber daya kemaritiman. Mengingat pembangunan kemaritiman bagi bangsa ini merupakan modal besar dan peluang lebar untuk menuju persaingan ekonomi global. Dengan memberdayakan masyarakat pesisir dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah langkah yang sangat mendasar dalam tahap awal pembangunan kemaritiman.

            Namun, pada kenyataannya langkah tersebut belum menunjukkan sinyal yang pasti. Kurangnya akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarkat pesisir adalah suatu pertanda bahwa nasib mereka masih berada dalam ketidak jelasan, sehingga akibatnya sumber daya masyarakat (SDM) yang mereka miliki sangat minim dalam mengelola kekayaan laut yang melimpah. Bukannya mereka tidak memiliki usaha yang keras dan keinginan yang gigih dalam memajukan sosial-ekonominya. Tapi, karena keterbatasan pendidikan, informasi dan teknologi yang membuat mereka harus menerima apa adanya.

            Dari sisnilah pentingnya perhatian berbagai pihak, baik itu konsultan pemberdayaan, aktivis LSM, peneliti, politisi, dan khususnya para penentu kebijakan untuk segera menguak nasib buram masyarakat pesisisir. Sebab, di akui atau pun tidak keterpurukan masyarakat pesisir kurang begitu diwacanakan atau dimunculkan kepermukaan, entah karena letak giografisnya yang terisolir, atau karena tertutup oleh permasalahan-permaalahan aktual yang bersifat sementara, sehingga berbagai pihak melupakan masyarakat yang terpinggirkan; masyarakat yang telah lama menahan sakit berkepanjangan.
            Kepedihan mayarakat pesisir yang diombang-ambing keadaan bangsa yang tidak menentu, di mana pada kenyataannya mereka adalah korban dari kebusukan pikir para pemimpin, hingga masyarakat pesisir harus menderita dalam waktu yang berkepanjangan..  Masyarakat pesisir memiliki keinginan besar untuk terus mengembangkan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi wilayahnya, namun untuk mewujudkan keinginan tersebut terdapat berbagai hambatan besar yang diciptakan dari kesalahan sejarah. Masyarakat pesisir saat ini tidak berposisi sebagai penerima warisan, melainkan bagaimana mereka mencipta dan memberikan warisan untuk anak cucu mereka kelak, seperti pembuatan jalan raya, fasilitas ekonomi perikanan, fasilitas umum-sosial, dan seterusnya.

Realitas banyak terjadi diberbagai wilayah pesisir lainnya. Kelemahan-kelemahan tersebut biasanya terletak pada terbatasnya sarana dan prasarana ekonomi, rendahnya kualitas SDM, teknologi penangkapan ikan yang terbatas kapasitasnya, akses mudal dan pasar produk ekonomi lokal yang terbatas, tidak adanya kelembagaan sosial-ekomi yang dapat membangun masyarakat dan belum adanya komitmen pembangunan kawasan pesisir secara terpadu.

            Strategi Berangkat dari berbagai kelemahan masyarak pesisir itulah, menekankan perlu adanya tujuan program pemberdayaan yang lebih menitik-beratkan pada upaya memperkuat kedudukan dan fungsi kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat pesisir untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan. Adapun ruang lingkupnya antara lain,

(1) memitakan sumber daya pembangunan wilayah yang dapat dijadikan basis data perencanaan kebijakan pembanguanan dan investai ekonomi,
 (2) meningkatkan kemampuan manajemen organisasi dan kualitas wawasan para pengurusnya,
(3) mengembangkan produk unggulan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal, seperti terasi, VOC ( Virgin Coconut Oil) yang higienis dan benilai jual tinggi,
(4) melaksanakan publikasi yang terencana dan tersturktur untuk masyarakat luas, khususnya para pemangku kepentingan (stakeholders), sebagai sarana menjalin kerjasama dengan institusi atau lembaga-lembaga lain dalam rangka menggalang potensi sumber daya kolektif dalam membangun masyarakat pesisir.

Adapun fungsi dan pentingnya kelembagaan sosial-ekonomi dalam pembangunan masyarakat pesisir adalah, sebagai wadah penampung harapan dan pengelola aspirasi kepentingan pembangunan warga; menggalang seluruh potensi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, sehingga kemampuan kolektif, sumber daya, dan akses masyarakat meningkat; memperkuat solidaritas dan kohesivitas, sehingga kemampuan gotong royong masyarakat meningkat; memperbesar nilai tawar (bergaining position) dan; menumbuhkan tanggung jawab kolektif masyarakat atas pembangunan yang direncanakan.

Wilayah yang didominasi lautan dan keterhubungan antarpulau. Berarti, pilihan ekonomi nasional harus mencerminkan karakter negara kelautan dan kepulauan. Jika ingin menyejahterakan dan mengurangi angka kemiskinan, masyarakat  pesisir dan pulau-pulau kecil harus ikut terangkat. Pendekatan pembangunan pun harus komprehensif, jangan hanya memberikan prioritas pada komunitas tertentu. Kebijakan yang  hanya memprioritaskan pembangunan kecukupan pangan, misalnya, tak bakal menyentuh masyarakat pesisir. Memang, kebijakan sistematis dan berkelanjutan di bidang pangan hingga meraih predikat swasembada pangan patut ditanggapi positif. Seharusnya kebijakan yang sama berlaku pula di bidang yang lain, termasuk pada pemberdayaan masyarakat pesisir. Kenyataan memperlihatkan, sejak Indonesia merdeka, kantong-kantong kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, belum juga mendapat sentuhan pemerintah hingga perubahan signifikan pun tak terjadi. Sarana-prasarana informasi yang minim, moda transportasi laut yang tak memadai menjadi gambaran tentang perhatian pemerintah yang kurang terhadap masyarakat pesisir.
Begitu pula, pengelolaan kesejahteraan nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir yang masih buruk. Sumber daya kelautan menjadi mata pencaharian masyarakat pesisir. Sudah saatnya, pemerintah memberikan perhatian penuh pada subsektor perikanan. Industri perikanan yang berkembang bisa menyerap banyak tenaga kerjar. Hasil  ikan juga merupakan komoditas ekspor dengan 100 persen bahan baku dari dalam negeri.Sifat yang khas itu menyebabkan produk perikanan memiliki keunggulan komparatif mutlak. Perikanan yang maju bakal meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya:mineral dan bahan tambang serta pariwisata.. sudah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian khususnya usaha perkebunan.

Pulau-pulau ini sebagian besar ditutupi oleh air laut. Fisiografi kepulauan mempengaruhi ekosistem-ekosistem yang terbentuk di kawasan Kepulauan Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algae berkapur.

Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni sebagai tempat hidup bagi berbagai biota laut tropis lainnya sehingga terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata, selain itu juga dari segi ekologi terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak.
                 
Dengan kata lain, investasi pada subsektor perikanan harus dirangsang lebih keras dengan berbagai kebijakan dan insentif. Terlebih lagi, Indonesia masuk dalam 25 negara yang paling menarik sebagai tujuan investasi asing langsung. Daya saingnya terus meningkat. Yang jelas, produk perikanan tetap diminati, walaupun krisis ekonomi terus berlanjut. Bila investasi berkembang, daya serap tenaga kerja bakal meningkat pula. Wajar bila Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Riza Damanik, mengatakan di Jakarta, Senin (6/7), kemiskinan dan pengangguran dapat diatasi dengan pengenalan lebih dahulu pada karakteristik kewilayahan Indonesia.
Usaha pemberdayaan, menurut Haque, et.al dalam Nikijuluw (2000) adalah pembangunan. Menurut mereka pembangunan adalah collective action yang berdampak pada individual welfare. Dengan kata lain maka membangun adalah memberdayakan individu dan masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang ditingkatkan. Jadi pemsberdayaan masyarakat
berarti membangun collective personality of a society.






Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan
paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu
(1) kemiskinan struktural,
 (2) kemiskinan super-struktural,dan
(3) kemiskinan kultural.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau
Variabel eksternal di luar individu. Variabel-variabel tersebut adalah struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini makakemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Yang jelas bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau di lingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka.
Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabelvariabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabelvariabel superstruktur tersebut diantaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bilasaja tidak disertai keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, serta antar institusi yang membuat sehingga adanya ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, memiliki komitmen khusus dalam bentuk tindakan-tindakan yang bias bagi kepentingan masyarakat miskin.
Dengan kata lain affirmative actions, perlu dilaksanakan oleh pemerintahpusat maupun daerah. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, sertaketaatan pada panutan. Kemiskinan secara struktural ini sulit untuk diatasi. Umumnya pengaruh panutan (patron) baik yang bersifat formal, informal, maupun asli (indigenous) sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural ini. Penelitian di beberapa negara Asia yang masyarakatnya terdiri dari beberapa golongan agama menunjukkan juga bahwa agama serta nilai-nilai kepercayaan masyarakat memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap status sosial ekonomi masyarakat dan keluarga. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristiksumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekauan aset perikanan(fixity and rigidity of fishing assets) adalah asalan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat asetperikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.
Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity costmereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bilaopportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.
Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya.

 B. BAGAIMANA KEMISKINAN PADA MSYARAKAT PESISIR
Kondisi Nelayan Indonesia
Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanidemasih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
a.       Analisa Penyebab Kemiskinan Nelayan
Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Untuk kita, terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan.
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah.
b.      Kondisi Alam
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan setiap tahunnya.
2. Tingkat pendidikan nelayan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.
3. Pola kehidupan nelayan sendiri
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah
4. Pemasaran hasil tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.
5. Program pemerintah yang tidak memihak nelayan
Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan.
Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing.


6. Perbedaan Hukum Antara Si Kaya dan Si Miskin
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari sudut ekonomi saja karena kemiskinan ternyata berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek sosial budaya, bahwa persoalan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan budaya. Dari sudut ini, kita dapat melihat bahwa budaya turut ambil bagian dalam membuat seseorang menjadi miskin.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi, yaitu :
§  Dimensi Ekonomi
Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
§  Dimensi Sosial dan Budaya
Kekurangan jaringan social dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
§  Dimensi Sosial dan Politik
Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem social politik.Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia.
C. KERAJAAN MARITIM DI INDONESIA
1.                  Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya pada dasarnya merupakan suatu kerajaan-pantai, sebuah negara perniagaan dan negara yang berkuasa di laut. Kekuasaannya lebih disebabkan oleh perdagangan internasional melalui Selat Malaka. Dengan demikian berhubungan dengan jalur perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropah yang sejak paling sedikit lima belas abad lamanya, mempunyai arti penting dalam sejarah. Sriwijaya memang merupakan pusat perdagangan penting yang pertama pada jalan ini Kemudian diganti oleh tempat tempat atau kota-kota yang lain dan yang terakhir oleh kota Batavia (sekarang Jakarta) dan Singapura. Menurut berita Cina, kita dapat menyimpulkan bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina yang terpenting.
Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang pernah tumbuh menjadi suatu kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara.Keberadaan Sriwijaya dapat dilacak dari berita Tionghoa yang menyebutkan bahwa di Sumatra pada abad ke-7 sudah ada beberapa kerajaan antara lain Tolang-po-hwa ( Tulangbawang di Sumatra Selatan ), Molo-yeu ( Melayu di Jambi ), Ki-li-p’i-che atau Che-lifo-che ( Criwijaya ). Berita ini diperkuat oleh seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-tsing dalam tahun 671 berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya selama enam bulan, untuk belajar tata bahasa Sansekerta. Kemudian ia singgah di Malaka selama dua bulan, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke India untuk tinggal selama sepuluh tahun. Pada tahun 685 ia kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama empat tahun untuk menterjemahkan berbagai kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. Ini membuktikan bahwa betapa pentingnya Sriwijaya sebagai pusat untuk mempelajari Mahayana. Dari I-Tsing ini dapat kita ketahui bahwa Sriwijaya disamping sebagai pusat perdagangan dan pelayaran juga menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Budha. Seorang guru terkenal yang bernama Sakyakirti, pendeta yang hendak ke India dianjurkan untuk lebih dahulu belajar ke Sriwijaya sekitar satu dua tahun.
Menurut Coedes, dia memandang bahwat ada hubungannya antara perkembangan kerajaan Sriwijaya dengan ekspansi agama Islam dalam periode permulaan. Sebagai akibat dari penaklukan oleh bangsa Arab di Timur-Tengah seperti negeri Arab, Suriah, Mesir dan Mesopotamia, maka jalan laut melalui Asia Selatan menjadi jalan perdagangan biasa yang menggantikan jalan darat. Kerajaan-kerajaan ini menjadi pendorong kemajuan lalu-lintas laut di Asia Tenggara yang maha-besar. Kondisi kemajuan lalu lintas laut ini membuat kerajaan Sriwijaya memperoleh keuntungan cukup besar. Berdasarkan prasasti kota kapur Sriwijaya adalah sebuah nama kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusat di Palembang, dekat sungai Musi. Prasasti yang ditemukan pada umumnya berasal dari abad ke-7 atau ke-8, yaitu masa awal tumbuhnya Sriwijaya sebagai suatu kekuatan. Dari prasasti itu timbul kesan bahwa masa itu adalah masa penaklukan di mana tentara Sriwijaya bergerak di seluruh negeri dalam suatu usaha pasifikasi.Tentang ibukota Sriwijaya dikatakan bahwa letaknya di tepi air,penduduknya terpencar di luar kota, atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratapkan alang-alang. Jika sang raja keluar, ia naik perahu dengan dilindungi payung sutera dan diiringi dengan orang-orang yang membawa tombak emas. Tentaranya sangat baik dan tangkas dalam peperangan, baik di darat maupun di air, keberaniannya tidak ada bandingnya. Adapun I-Tsing berpendapat bahwa Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Di Daerah ini ditemukan bangunan stupa (di Muara Takus) yang sangat mungkin berasal dari abad ke-7. Tempat yang menurut pandangan I-Tsing adalah Palembang karena dipandang penting dalam sejarah terutama sebagai pusat ziarah pemeluk agama Budha. Di Telaga Batu banyak didapatkan batu-batu yang bertulisan Siddhayatra atau perjalanan suci yang berhasil, dan dari bukit Seguntang di sebelah barat Palembang didapatkan sebuah arca Budha dari batu yang besar sekali dan yang berasal dari sekitar abad ke-6.
Letak geografis Sriwijaya yang berhasil menguasai daerah strategis merupakan suatu modal yang baik untuk turut serta dalam perdagangan internasional yang mulai berkembang antara India dengan daratan Asia Tenggara. Berita Cina menyebutkan bahwa adat di Kan-t-o-li sama dengan adat di Kamboja dan Campa. Ini berarti bahwa bagi orang-orang Cina, keadaan di ketiga tempat tadi sama. Besar kemungkinan dunia perdagangan di Sumatera sejak semula telah terlibat langsung dengan perdagangan di India. Letak Selat Malaka mengundang perdagangan di daratan Asia Tenggara untuk meluas ke Selatan. Pada saat negeri Cina terbuka untuk hasil Asia Tenggara, suatu hal yang baru terjadi setelah perdagangan dengan India berkembang, yaitu penduduk Sumatera khususnya di pantai Timur, bukan awam lagi dalam perdagangan Internasional.
c.                   Hubungan Perdagangan, Ekspansi, dan Konflik
Politik ekspansi untuk mengembangkan sayap dan menaklukkan kerajaan lain di Sumatra dilakukan Sriwijaya secara intensif pada abad ke-7, yaitu pada tahun 690 M. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya prasasti dari kerajaan Sriwijaya, yang semuanya ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa Melayu kuno. Prasasti Kedukan Bukit (dekat Palembang), berangka tahun 680 M menceritakan tentang kemenangan penaklukkan beberapa daerah dan kemakmuran Sriwijaya. Menurut Boechori, prasasti ini digunakan untuk memperingati usaha penaklukan daerah sekitar Palembang oleh Dapunta Hyang dan pendirian ibu kota baru yang kedua di tempat ini. Dari beberapa prasasti yang ditemukan menunjukkan, Sriwijaya telah meluaskan daerah kekuasaannya mulai dari daerah Melayu di sekitar Jambi sekarang sampai di pulau Bangka dan daerah Lampung Selatan dalam tahun 686, serta usaha menaklukkan pulau Jawa yang menjadi saingannya dalam bidang Pelayaran dan perdagangan. Penaklukkan Pulau Bangka diduga erat berhubungan dengan penguasaan perdagangan dan Pelayaran Internasional di Selat Malaka. Dengan dikuasainya negara-negara di sekitar pulau Bangka, maka Sriwijaya sepenuhnya dapat menguasai lalu lintasperdagangan dan pelayaran dari negara-negara Barat ke China. Sebaliknya, perahu-perahu asing terpaksa harus berlayar melalui Selat Malaka dan Selat Bangka yang dikuasai oleh Sriwijaya. Keuntungan Sriwijaya dari perahu asing berlimpah-limpah. Kecuali keuntungan dari penarikan bea-cukai, Sriwijaya masih memperoleh keuntunga lain dari perdagangan. Dari pernyataan I-Tsing terlihat bahwa kapal asing itu datang di Kedah dan Melayu pada waktu-waktu tertentu. Mereka tinggal di kedua tempat itu selama beberapa lamanya sambil menunggu datangnya angin baik, baru melanjutkan perjalanan ke tempat tujuannya masing-masing. Selama tinggal di Pelabuhan, kapal dagang itu berkesempatan membongkar dan memuat barang dagangan. Sementara itu dari daerah Sriwijaya sendiri dihasilkan penyu, gading, emas, perak, kemenyan, kapur barus, damar, lada, dan lain-lain. Barang dagangan tadi dibeli oleh pedagang asing atau ditukar dengan porselin, kain katun, dan kain sutera . Kapal-kapal yang melalui Selat Malaka singgah dulu di pelabuhan untuk mengambil air minum dan barang perbekalan lainnya. Beberapa pelabuhan di pantai selat ini penting artinya sebagai pelabuhan perbekalan. Oleh karena itu, Sriwijaya berusaha memonopoli dan menguasai daerah pesisir di kedua belah pantai Selat Malaka. Usaha yang dilakukan Sriwijaya adalah menaklukkan beberapa daerah seperti Jambi, Lampung, Semenanjung Malaka, tanah genting Kra, dan pulau Sailanpun diduduki oleh Sriwijaya setelah berperang dengan raja Cola (India) dalam abad ke-11.
Sebelumnya yaitu pada tahun 767 Sriwijaya berhasil menundukkan Tonkin (Indochina, di Hindia Belakang), dan diperkirakan penguasaan Sriwijaya sampai ke Malagasi. Sebagai kerajaan Maritim, Sriwijaya menggunakan politik laut yaitu dengan mewajibkan kapal-kapal untuk singgah di pelabuhannya. Politik Sriwijaya ini dikenal dengan menggunakan model “paksaan menimbun barang”. Disamping itu raja Sriwijaya juga mempunyai kapal-kapal sendiri. Dengan demikian harta Benda raja serta kaum bangsawan berasal dari perdagangan sendiri, bea-bea yang dipungut dari perdagangan yang melalui kerajaan, dari rampasan hasil peperangan, dan pembajakan lautPada abad ke-13 posisi Sriwijaya sebagai kerajaan Maritim masih cukup kuat. Hal ini dibuktikan dengan adanya buku“Chu-fan-chi“ yang ditulis tahun 1225 oleh Chau-ju-kua. Buku itu menceritakan bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkemuka dan kaya, pertama ialah Jawa dan yang kedua ialah Sriwijaya. Tentang Sriwijaya dikatakan oleh Chou-ju-kua, bahwa Kien-pi ( Kampe di Sumatra Utara) dengan kekuatan senjata telah melepaskan diri dari Criwijaya, dan telah pula mengangkat rajanya sendiri, termasuk sebagian dari Jazirah Malaka. Meskipun demikian Sriwijaya masih merupakan kerajaan yang menguasai bagian Barat kepulauan Indonesia dan tidak kurang dari lima belas negeri fasal San-fo-tsi (Sriwijaya). Wilayahnya meliputi Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganau), Ling-ya-ssi-ka (Lengkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an ( ? ), Ji-lu-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai ( ? ), Pa-ta’ (Batak),Tan-ma-ling (Tamralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi di Utara Semenanjung Malaka), Pa-linfon (Palembang), Sin- t’o (Sunda), La-wu-li (Lamuri, Aceh), Si-lan (Sailan ?), termasuk negara Sunda di Jawa Barat, Nilakant. Meskipun demikian padapermulaan abad ke-13 Sriwijaya masih merupakan kekuatan besar. Chau-ju-kua tidak memasukkan Melayu dan Jambi ke dalam daftarnya.

Dari daftar ini jelaslah, bahwa Sriwijaya dalam permulaan abad ke-13 masih tetap menguasai sebagian besar Sumatra, Jazirah Malaka dan bagian barat pulau Jawa (Sunda).Pada abad ke-13 ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa Sriwijaya masih mengawasi kedua Selat Malaka dan Sunda. Belum sampai putus pengawasannya, kekuasaan Sriwijaya telah musnah. Catatan Chou-ju-kua tentang ibu kota Sriwijaya merupakan semacam tipe kota air penuh anak sungai, penduduk bertempat tinggal di kapal atau rumah-rumah yang dibangun di atas rakit seperti Mrohaung, kota tua Arakan, Bangkok sekarang dan banyak kota-kota tua yang lain yang sama dengan zaman Funan. Tetapi berdasarkan catatan Cina menyebutkan bahwa Palembang tidak lama menjalankan pengawasan ketat atas daerah-daerah yang ada dibawah kekuasaannya seperti pernah dilakukan dulu. Kampar di pantai timur Sumatra telah mengangkat rajanya sendiri dan bahkan Jambi telah mengirim utusannya sendiri ke Cina. Chou-ju-kua tidak memasukan Jambi ke dalam daftar daerah-daerah yang ada dibawah kekuasaan San-fot-si. Cukup aneh, Palembang sendiri termasuk dalam daftar itu. Karena itu timbul masalah apakah pada waktu itu pusat kekuasaan Sriwijaya bukan lagi di Palembang melainkan di Jambi.Demikian jelasnya Sriwijaya, sehingga mempunyai kekuasaan yang cukup luas mulai ke arah Selat Malaka hingga Selat Sunda. Sriwijaya berusaha mempertahankan hegemoni perdagangan atas Indonesia, dengan mengawasi dan menguasai kedua Selat itu, yang harus dilalui oleh semua perjalanan laut antara India dan Cina.
Perkembangan navigasi Arab, dan perdagangan antara India dan Cina, bersama-sama memberikan arti penting baru bagi selat itu. Di sini, Sriwijaya menjadi pelabuhan yang wajar bila disinggahi oleh kapal-kapal dari Cina pada musim timur laut. Rupanya pada waktu inilah, berkembang perdagangan lautan sekaligus dalam mempertahankan hubungan teraturnya dengan India dan Cina. I-sting mengatakan bahwa berlayar dari Cina ke Sriwijaya dengan kapal saudagar Persia, maka pelayaran lanjutannya ke India dengan kapal Raja Sriwijaya. Untuk itu rupanya beralasan hipotesa yang mengatakan bahwa prasasti tahun 683 dan 686 menunjukan pada babakan penting tertentu dalam usaha Raja Jayanasa (atau Jayanaga ), menaklukan Melayu dan mungkin juga Taruma, dan pencipta politik yang membuat Palembang sampai abad XIII menjadi pusat kekuatan kerajaan maritim di pulau-pulau itu. Banyak utusan yang dikirim dari Sriwijaya dan Jawa ke Tiongkok, misalnya dalam abad ke-7 dari Sriwijaya dan dalam abad ke-8 dari Jawa. Utusan-utusan ini membawa barang-barang yang berharga ke Tiongkok sebagai tanda kebaktian atau upeti. Kaisar Tiongkok juga sebaliknya memberi barang-barang yang cukup mewah. Selain itu utusan-utusan dari Indonesia diberi kesempatan berniaga. Kemudian utusan-utusan tadi diikuti oleh saudagar-saudagar swasta. Penulis sejarah bangsa Tionghoa mengerti, bahwa penyampaian upeti itu berlangsung karena ada keuntungan.

Pada tahun 1443 Gubernur Canton melaporkan, bahwa utusan Indonesia memakan biaya negara terlalu banyak, sehingga Kaisar Tiongkok memberi toleransi kepada Sriwijaya untuk menyampaikan upeti cukup satu kali dalam setahun. Kelangsungan kerajaan Sriwijaya lebih tergantung dari pola perdagangan yang berkembang, sedangkan pola-pola tertentu tidak sepenuhnya dapat dikuasinya. Terbukti ketika orang Cina mulai ikut berdagang di kawasan Selatan, peranan Sriwijaya berkurang sebagai pangkalan utama perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina. Peranan ini semakin berkurang hingga Cina membawa sendiri keperluan mereka ke negerinya. Tempat-tempat penghasil barang dagangan yang semula mengumpulkan barang dagangan mereka ke pelabuhan di daerah kekuasaan Sriwijaya, tidak perlu lagi berbuat demikian karena para pedagang Cina menyinggahi pelabuhan-pelabuhan mereka. Pada Abad XII daerah-daerah taklukan Sriwijaya di sepanjang pesisir selat Malaka, mulai bertindak sebagai negeri yang langsung memberikan upeti kepada negeri Cina. Kemunduran Sriwijaya juga disebabkan oleh timbulnya bentrokan dengankerajaan Mataram Jawa Timur pada abad X. Dengan demikian menjadi jelas bahwa posisi Sriwijaya tidaklah sama kedudukannya di Asia Tenggara dengan satu dua abad sebelumnya. Kerajaan lain di Indonesia mulai berusaha memperoleh hegemoni yang berada di tangan Sriwijaya.

Meskipun demikian pad abad XIII Sriwijaya masih dapat berkembang sebagai pusat perdagangan dan pelayaran yang besar dan kuat, serta menguasai bagian besar Sumatera, Semenanjung tanah Melayu, dan sebagian Jawa Barat. Bahkan kerajaan ini menguasai laut dan mengawasi lalu lintas pelayaran asing diSelat Malaka. Jika ada kapal melalui Selat Malaka tanpa singgah, lalu diserang dan semua penumpangnya dibunuh . Kerja sama dengan Cola pada awalnya berjalan dengan baik. Sebagai contoh Raja Balaputra dari Sriwijaya membangun di Negapatam di pantai Coromandel, sebuah candi Bhudda yang diberi nama Vihara Chulamaniwarmadewa. Raja Chola menghadiahkan hasil pajak tahunan sebuah desa besar untuk memeliharanya. Seperti pemberian Nalanda sebelumnya yang di Negapatam dibangun untuk melengkapi sebuah tempat bagi saudagar Sriwijaya yang berdiam dan memuja menurut kepercayaan agama mereka sendiri. Ini membuktikan pentingnya hubungan dagang antara Palembang dan Pantai Coromandel, yang membawa perkembangan perdagangan barang kelontong India di Asia Tenggara.Dalam memberikan hadiah yang berupa uang, raja-raja Negapatam menyatakam bahwa Raja Sriwijaya itu termasuk keluarga Sailendra. Sayangnya tidak ada sebuah catatan pun yang tersisa pada masa pemerintahannya meskipun kerajaan tersebut berada dalam puncak kekuasaan dan prestise. Justru informasi yang berkaitan dengan nama raja-raja diketahui dari sumber. Jadi orang Cina mencatat utusan yang diterima tahun 1008 dari putera Chulamaniwarmadewa, Maravijayottunggawarman, tetapi tidak menyebut tahun kematian ayahnya. Darisumber luar lain juga datang informasi yang menarik bahwa Sriwijaya masih tetap Budha yang terkenal Atisa. Riwayat hidup Atisa di Tibet menyebut Sumatra menjadi pusat terbesar agama Budha dan Dharmakirti merupakan sarjana terbesar masa itu.

2.      Sriwijaya dan Jawa
Usaha Sriwijaya untuk menaklukkan bumi Jawa dapat pula ditafsirkan sebagai
usaha memasukkan Selat Sunda, ke dalam kekuasaan Sriwijaya. Dalam hubungannya dengan Jawa, Sriwijaya berusaha untuk menundukkan ‘Bhumi Jawa’. Diperkirakan Bhumi Jawa yang akan ditundukkannya adalah Tarumanegara. Meskipun dari Jawa Barat sendiri tidak ada keterangan dari abad ke-7 ini. Namun, menurut berita Tionghoa, To-lo-mo (Taruma Negara) dalam tahun 669 masih mengirimkan utusannya ke Tiongkok. Saingan antara kedua negara itu sudah wajar terjadi, mengingat masing-masing ingin menguasai laut sekitar pulau Bangka yang menjadi simpang tiga jalan pelayaran antara Indonesia-Tiongkok-India. Alasan inilah yang membuat Sriwijaya terdorong untuk merebut Palembang dan Jambi, dua pelabuhan laut penting yang terletak di sisi barat jalan pelayaran. Di samping itu Sriwijaya merebut Bangka yang juga merupakan kunci simpang tiga.  Penaklukkan terhadap Bhumi Jawa termuat dalam prasasti Kota kapur yang berangka tahun 686 Masehi. Salah satu isinya adalah mengenai usaha Sriwijaya untuk menaklukkan Bhumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya. Menurut G. Coedes, prasasti ini dibuat pada saat tentara Sriwijaya baru saja berangkat untuk berperang melawan Jawa yaitu kerajaan Taruma. Tetapi Bochari berpendapat lain bahwa prasasti kota Kapur dikeluarkan setelah tentara Sriwijaya kembali dari usahanya menaklukkan daerah Lampung Selatan

Sulaeman mendukung pendapat Coedes, dia menduga bahwa melihat persaingan yang terus-menerus antara Sriwijaya dan Jawa, maka prasasti itu merupakan bukti usaha Sriwijaya untuk pertama kalinya menundukkan Jawa yang sudah ada sejak abad V. Perebutan peran antara Sriwjaya dan Jawa juga terjadi pada masa Marawijayotunggawarman. Dia tidak mau mengakui kekuasaan Dharmawangsa, dan ia mengikuti jejak Balaputradewa dengan mencari persahabatan dengan Kerajaan Colamandala (India). Pada tahun 1275 “Pamaluyu“ dimulai, yaitu suatu ekspedisi perang dari Jawa Timur ke Sumatra dengan membawa panji-panji merah dan putih. Angkatan perang ini bertolak dari Tuban. Sebagai hasil dari ekspedisi ini, maka kita dapati dalam tahun 1286 sebuah negara Melayu yang takluk kepada kerajaan Jawa, yang lambat laun mengalahkan Sriwijaya. Pada tahun 1300 Sriwijaya kehilangan tanah genting Kra yang direbut oleh raja Siam.17 Konflik Sriwijaya dan Jawa pada abad ke-10 pernah menempatkan Sriwijaya dalam bahaya besar hingga tahun 1006. Dharmawangsa memandang Sriwijaya perlu diwaspadai dan diserang. Ancaman ini tidak membuat gentar Sriwjaya, bahkan dia juga membalas serangan dengan menghancurkan keratonnya dan mengakibatkan kematian Dharmawangsa. Kerajaan Jawa Timur laut sementara lenyap. Tempatnya diambil oleh sejumlah para pemimpin perang, yang masing-masing menjadi unggul di daerahnya sendiri. Duta Sriwijaya yang muncul di Istana Kaisar tahun 988 dan kembali tahun  990, mendengar ketika tiba di Canton bahwa negrinya sedang diserang oleh orang-orang Jawa. Setelah menunggu satu tahun di Canton, ia berlayar pulang. Tetapi ketika tiba di Champa mendengar kabar buruk dan ia kembali lagi ke Cina minta dikeluarkannya pernyataan atau dekrit yang menempatkan negrinya dibawah pengawasan kaisar. Pada tahun 992 pasukan Jawa muncul sebelum kaisar mengeluh tentang perang yang berkelanjutan di San-fo-tsi. Perang itu dikobarkan oleh Dharmawangsa pada abad ke-11. Raja Jawa Timur mempunyai tujuan menghancurkan Sriwijaya dan membuat Jawa berkuasa di pulau itu.

Sedikit sekali diketahui tentang peperangan tersebut, meskipun mungkin Nampak untuk beberapa tahun serangan orang Jawa itu membuat Palembang dalam keadaan bahaya maut. Tetapi mereka dapat dipukul mundur. Kemudian diduga, Sriwijaya dibantu raja-raja bawahannya dari Semenanjung Melayu, menyusun serangan balasan besar-besaran dan membakar keraton Dharmawangsa. Ia sendiri terbunuh dan kerajaannya hancur. Keberhasilan Sriwijaya dalam peperangan yang panjang dengan Dharmawangsa karena hubungan baik bersahabat dengan Cina disatu pihak dan dengan Chola di India dipihak lain. Jika tidak ada bantuan, maka serangan Jawa hasilnya tentu akan berbeda. Dalam mengirimkan upeti ke Cina tahun 1003 Raja Criwijaya mengumumkan bahwa beliau telah mendirikan candi Budha untuk mendoakan kehidupan Kaisar.

 Dari peninggalan budaya Sriwijaya menunjukkan ada hubungan yang erat antara Sriwijaya dengan Kerajaan Sailendra. Diperkirakan kesenian Sailendra sejak balaputradewa telah dibawa dan dikembangkan di Sriwijaya. Selain itu, di gunung tua (Padang Sidempuan ) ditemukan arca perunggu yang langgamnya sesuai benar dengan langgam Jawa Tengah. Pada lapiknya ada tulisan yang menyatakan bahwa arca itu dibuat oleh Mpu Surya pada tahun 1024.19 Tentang Sunda diceritakan lebih lanjut, bahwa bandarnya baik sekali, ladanya dari jenis yang paling baik, rakyatnya bertani dan rumahnya bertonggak. Sayang bahwa disana banyak perampok, sehingga perdagangan tidak lancar. Chau-ju-kua mengatakan bahwa Sunda pemerintahannya tidak teratur dan banyak penduduk yang menjadi bajak laut, sehingga menyebabkan tidak ada kapal dagang yang berani berlabuh di sana. Semua perdagangan antara Tiongkok dan India harus melalui San-fo-tsi, negeri penguasa selat Malaka yang tidak ada saingannya. Sebagai akibat penguasaan selat Malaka yang menghubungkan tidak saja India dan Tiongkok, tetapi juga negeri-negeri barat, maka San-fo-tsi memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Chau-ju-kua juga menyebut Sho-po dan Suki-tan yang oleh Hirth dan Rockhill diidentifikasikan dengan Jawa dan Jawa Tengah. Di antara negeri-negeri yang tunduk pada Su-ki-tan ialah Huang-ma-chu dan Niu-lun yang ditempatkannya di Maluku. Di samping itu mereka menafsirkan Si-lung sebagai Seran, Ji-li-hu sebagai Jailolo dan Tan-yu sebagai Ternate. Alasan mereka menempatkan nama-nama itu di Maluku, ialah berita yan menyebutkan bahwa makanan penduduknya ialah “sha-hu” yang berupa tepung, yang diambil dari bagian dalam dari pohon tua.



d.      Tradisi Diplomasi dan Pola Pengamanan
Tidak dapat dipungkiri bahwa Sriwijaya sebagai sebuah negara maritim yang besar telah mengembangkan ciri-ciri yang khas, yaitu mengembangkan suatu tradisi diplomasi yang menyebabkan kerajaan tersebut lebih metropolitan sifatnya. Dalam upaya mempertahankan peranannya sebagai negara berdagang, Sriwijaya lebih memerlukan kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisioner dari pada negar agraris. 22 Hal ini didukung dengan letaknya yang strategis, yaitu pada jalan perhubungan laut India–Tiongkok. Ini menunjukkanbahwa posisi Sriwijaya jauh lebih lebih baik dari pada kedudukan pulau Jawa yang agak memojok. Berita-berita dari Tiongkok yang paling tua menceritakan hal Sumatra, akan tetapi tak memuat apa-apa tentang pulau Jawa. Sebelum kerajaan Jawa mengembangkan kekuasaannya, maka Sriwijaya adalah Negara yang utama di Indonesia. Adapun pola perdagangan Kerajaan Sriwijaya mempunyai sifat yang sama dengan perdagangan kuno di negeri yang lain . Dalam bentuk hubungan luar negeri, terlihat bahwa hubungan dengan Cina cukup dominan dan intensif. Dari data yang ada menunjukkan pada abad V Sriwijaya yang dulu ditafsirkan Kan-t-o-li telah mengirimkan utusan ke Cina sejak abad V hingga pertengahan abad VI. Pada abad berikutnya Sriwijaya juga sering mengirimkan utusan ke negeri Cina. Selain dengan Cina, Sriwijaya juga menjalin persahabatan dengan Bengala dan Cola pada abad IX hingga abad XI. Bentuk hubungan Sriwijaya dilakukan secara aktif, sehingga dampak dari hubungan ini adalah menjadikan Sriwijaya sebagai pusat pengajaran agama Budha. Pada abad ke-11 dengan bantuan raja Cola, Sriwijaya berhasil mengembalikan kewibawaan Sriwijaya atas jazirah Malaka, sehingga ia disebut “raja Kataha, yaitu raja Kedah di Malaya dan Sriwijaya“. Setelah jalan pelayaran ke negeri Tiongkok semakin dikenal dan dikembangkan, maka letak geografis pantai timur pulau Sumatra menjadi bertambah penting. Hegemoni di bagian barat kepulauan Indonesia, mulai menjadi incaran para raja dan para penguasa setempat yang ingin menguasai kedudukan yang amat strategis itu. Di dalam sejarah Indonesia, kekuatan pertama yang berhasil menguasai daerah selat Malaka yang memegang kunci pelayaran perdagangan baik ke negeri Tiongkok maupun ke negeri– negeri barat, adalah kerajaan Sriwijaya. Penguasaannya atas daerah Tanah Genting Kra di Semenanjung Melayu bukan hanya dimaksudkan untuk mengendalikan lalu lintas laut yang keluar masuk selat Malaka saja, tetapi juga ditujukan untuk menguasai penyeberangan darat yang melintas melalui Tanah Genting Kra. Sriwijaya mengandalkan pada sektor perdagangan dan pelayaran. Dengan demikian jika suatu negara hidup dari perdagangan, berarti penguasanya harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan tempat barang ditimbun untuk diperdagangkan. Penguasan jalur perdagangan dan pelabuhan ini dengan sendirinya memerlukan pengawasan langsung dari penguasa. Sriwijaya tumbuh karena memang di sekitar area itu tidak ada alternatif lain. Berkat armadanya yang kuat ia berhasil menguasai daerah yang potensial dapat menjadi saingannya. Dengan cara ini ia menyalurkan barang dagangannya ke pelabuhan yang dikuasainya.

Perdagangan dengan Cina dan India telah memberikan keuntungan besar kepada Sriwijaya. Kerajaan ini telah berhasil mengumpulkan kekayaan yang besar. Raja Sriwijaya termashur karena kekayaannya, sehingga kekayaan kerajaan itu suatu hal yang banyak dipercakapkan banyak orang. Selain itu untuk menjamin perdagangan di wilayahnya juga memenuhi kewajibannya kepada mereka yang berdagang dengannya, yaitu memastikan jalur pelayarannya aman dari bajak laut. Sampai abad ke-10, Sriwijaya mampu mengatasi gangguan keamanan sehingga tidak ada keluhan berkaitan dengan bajak laut. Pola pengamanan yang dilakukan adalah memasukkan kepala bajak laut dalam ikatan dengan kerajaan. Mereka mendapatkan bagian yang ditentukan oleh raja dari hasil perdagangan. Dengan demikian mereka menjadi bagian dari organisasi perdagangan kerajaan. Cara ini menjadikan bajak laut sebagai pengaman jalur-jalur pelayaran. Metode ini efektif bila raja mempunyai kewibawaan riil, dan ini dimiliki oleh Sriwijaya. Kewibawan yang dimiliki antara lain adalah hasil diplomasinya dengan Cina (halaman 78). Sriwijaya merupakan sebuah negara yang mengirim upeti ke negara Cina, sehingga Cina berkewajiban memberi perlindungan jika diperlukan. Hubungan dengan Cina tersebut tentu disebarluaskan dan menjadi suatu faktor pencegah keinginan merugikan Sriwijaya oleh negara-negar lain, khususnya di Asia Tenggara. Walaupun hal ini tidak dapat mencegah serangan dari raja Cola. Untuk kepentingan perdagangan, Sriwijaya tidak keberatan mengakui Cina sebagai negara yang berhak menerima upeti. Ini adalah sebagian usaha diplomatiknya untuk menjamin agar Cina tidak membuka perdagangan lain dengan negara lain di Asia Tenggara, sehingga akan merugikan perdagangan Asia Tenggara. Demikian baiknya kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan dengan Cina hingga melalui perutusannya ia dapat mengusulkan beberapa perubahan terhadap perlakuan para pejabat perdagangan Cina di Kanton terhadap barang barang Sriwijaya yang dirasakan merugikan.  Sementara itu Sriwijaya tetap menjadi pusat agama Budha yang mempunyai nilai Internasional. Dari tahun 1011 M hingga tahun 1023 M di Sriwijaya telah tinggal seorang bhiksu dari Tibet bernama Atica, untuk menimba ilmu. Dari raja Sriwijaya ia diberi hadiah sebuah kitab agama Budha. Di ibu kota Sriwijaya terdapat lebih dari seribu pendeta Budha, dimana aturan dan upacara mereka sama dengan yang ada di India. Pelayaran teratur antara Sriwijaya dengan pulau-pulau Indonesia dilakukan antara Malaka dan Anam. Di samping itu Sriwijaya juga menyelenggarakan pelayaran ke India. Pada masa itu, pelayaran hanya dilakukan di dalam wilayah Indonesia saja, yaitu dari Maluku ke Malaka, suatu prestasi yang besar, karena jaraknya cukup panjang yaitu seperdelapan dari lingkaran bumi. Hingga permulaan abad XI kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Budha yang bertaraf internasional. Raja Sri Cudamaniwarman yang masih keturunan raja Sailendra dalam menghadapi ancaman di Asia Tenggara menjalin persahabatan dengan Cina dan Cola. Pada tahun 1003, raja tersebut mengirim dua utusan ke Cina untuk membawa upeti. Adapun hubungan persahabatan antara Sriwijaya dengan Cola tidak berlangsung lama, terbukti pada tahun 1017 raja Cola menyerang Sriwijaya. Pada serangan yang kedua, raja Rajendracola pada tahun 1825 raja Sriwijaya dapat ditawan oleh tentara Cola. Meskipun demikian Sriwijaya tidak menjadi daerah jajahan kerajaan Cola. Serangan dari raja Cola tidak membuat Sriwijaya jatuh, bahkan sebaliknya, mampu membangun kembali negara agar menjadi besar. Kebesaran Sriwijaya dibuktikan dengan adanya bangunan suci di Jambi yang mungkin lebih besar dari Borobudur, tetapi yang tinggal hanyalah sebuah stupa dan makara-makaranya. saja, salah satu diantaranya memuat angka tahun 1064. Menilik corak dan bentuk stupa dan makaranya, cenderung serupa dengan apa yang terdapat di Jawa Tengah Selatan.






e.       Masa Akhir Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya mulai merosot beberapa waktu sesudah abad ke-14. Pada tahun 1125 kerajaan ini masih menguasai daerah Palembang, Malaka, Sailan dan Sunda (Jawa Barat). Setelah itu timbul persengketaan dengan raja di Chola (di pantai Coromandel di India Selatan) yang mengejar kekuasaan laut di Teluk Benggala. Pada akhir abad ke-13 pergulatan antara Sriwijaya dengan Jawa Timur mengenai kekuasaan di Indonesia mulai berkobar. Sebelum itu Sriwijaya hanya bergerak dan berkuasa di Indonesia sebelah barat dan Jawa Timur hanya mementingkan kepulauan sebelah Timur. Pada kurang lebih tahun 1325 peranan Sriwijaya sebagai suatu pusat internasional sudah berakhir. Bahkan ditahun 1365 kerajaan ini menjadi daerahtakluk dari Jawa. Pada tahun 1377 ia mencoba memberontak, akan tetapi didera oleh suatu armada Jawa sehingga tidak berdaya lagi, lalu menjadi miskin. Sesudah tahun 1377 timbullah kekacauan sehingga pasukan-pasukan Jawa tak dapat bertahan di sana. Daerah itu ditinggalkan tak terurus, sehingga orang-orang Tionghoa yang berada di sana merebut kekuasaan pemerintahan. Seorang panglima bangsa Tionghoa, yang bertahun-tahun lamanya hidup mengembara di laut, lalu menempati negeri tadi dengan beberapa ribu orang Tionghoa pengikutnya sebagai kepala negeri. Sriwijaya menjadi negara Tionghoa kecil yang sebenarnya hanya merupakan suatu sarang perompak. Demikianlah keadaannya pada kurang lebih tahun 1400, dan ini pulalah akhir riwayat kerajaan Sriwijaya yang mengharukan sesudah berdiri tujuh abad lamanya. Di Jawa Timur, pada kurang lebih tahun 1300, muncul kerajaan Mojopahit yang melebarkan sayap kekuasaannya dengan cepat dan mencapai puncak kemegahannya pada tahun

3.      Kerajaan Melayu di Sumatra

Dari kitab sejarah dinasti Tang kita menjumpai untuk pertama kalinya pemberitaan tentang datangnya utusan dari daerah Mo-lo-yeu di Cina pada tahun 644 dan 645. Nama Mo-lo-yeu ini mungkin dapat dihubungkan dengan kerajaan Melayu, yang letaknya di Pantai Timur Sumatra dengan pusatnya di sekitar Jambi. Sekitar tahun 672 Masehi I-tsing seorang pendeta Budha dari Cina, dalam perjalanannya dari Kanton menuju India, singgah di She-li-fo-she (Sriwijaya)selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sansekerta. Dari She-li-fo-she Itsing berlayar ke Melayu dengan menggunakan kapal raja. Ia tinggal di Melayu selama dua bulan. Selanjutnya ia berlayar ke Kedah selama lima belas hari. Pada bulan ke-12 ia meninggalkan Kedah menuju ke Nalanda, ia berlayar selama dua bulan. Ketika kembali dari Nalanda pada tahun 685, It-sing singgah lagi di Kedah. Kemudian pada musim dingin ia berlayar ke Mo-la-cu yang sekarang telah menjadi Fo-she-to dan tinggal di sini selama pertengahan musim panas, lalu ia berlayar selama satu bulan menuju Kanton. Dari keterangan tadi dapat disimpulkan bahwa sekitar tahun 685 kerajaan Sriwijaya telah mengembangkan kekuasaannya , dan salah satu negara yang ditaklukkannya adalah Melayu.  Dari studi tentang pelayaran menyusuri pantai Champa dan Annam menunjukkan adanya beberapa toponim pada pantai-pantai itu yang berasal dari bahasa Melayu. Pendapat ini memperkuat dugaan kita bahwa pelayaran ke negeri Tiongkok dilakukan oleh kapal-kapal dari pelaut-pelaut Melayu. I-Tsing dalam salah satu bukunya yang ia selesaikan antara tahun 690 ada keterangan yang menyatakan bahwa sementara itu Melayu telah menjadi kerajaan Sriwijaya.Sementara itu perdagangan berpindah tempat. Mula-mula kedudukan Sriwijaya diganti oleh Malayu (Jambi ), yang juga berkuasa di semenanjung Malaka dan mengirimkan utusan-utusan ke Tiongkok. Akan tetapi Malayu lalu memindahkan pusat kekuasaannya ke daerah pedalaman, yaitu ke Minangkabau, sehingga pengawasan terhadap Selat Malaka berkurang.


f.       Hubungan Kerajaan Melayu dengan yang Lain

Setelah ditaklukkan Sriwijaya pada tahun 685, nama Melayu menjadi hilang, dan baru muncul pada pertengahan terakhir abad ke-13. Di dalam kitab Pararaton dan Nagarakertagama disebutkan bahwa pada tahun 1275 Raja Kertanagera mengirimkan tentaranya ke Melayu. Pengiriman pasukan ini dikenal dengan sebutan Pamalayu. Letak Malayu yang sangat strategis di pantai Timur Sumatera dekat Selat Malaka, memegang peranan penting dalam dunia pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka yaitu antara India dan Cina dengan beberapa daerah di Indonesia bagian Timur. Sementara itu pengaruh kerajaan Mongol sudah tidak terbendung lagi. Pada tahun 1280, 1281, 1286 dan terakhir tahun 1289 Kubhilai Khan mengirimkan utusan ke Singasari minta agar raja Kertanegara mau mengakui kekuasaannya. Tetapi semua perutusan tadi diusir kembali setelah mukanya dirusak.  Negarakertagama mengatakan bahwa expedisi tahun 1292 itu bukan saja menuju Melayu tetapi juga ke pantai barat Kalimantan dan Semenanjung Malayu. Disebutkan bahwa, Kertanegara telah mendapat Bakulapura yaitu Tanjungpuri di Kalimantan dan Pahang, nama yang dipakai untuk seluruh bagian selatan Malaya pada jaman Prapanca. Ekspedisi Pamalayu mempunyai hubungan erat dengan ekspansi kerajaan Mongol yang sedang giat dilancarkan oleh Kubhilai Khan untuk menguasai daerah Asia Tenggara dan juga dalam rangka politik perluasan kekuasaan kerajaan Singasari. Ekspedisi ini berhasil menjalin hubungan persahabatan antara Singasari dan Melayu. Untuk mempererat hubungan ini pada tahun 1208 S atau 1286 Masehi raja Sri Kertanegara, mengirimkan sebuah arca Buddha Amoghapasalokeswara beserta empat belas pengiringnya ke Melayu (suvarnabhumi) sebagai hadiah. 35 Penempatan arca ini di Dharmasraya dipimpin oleh 4 orang pejabat tinggi dari Jawa. Pemberian hadiah ini membuat seluruh rakyat Malayu sangat bergirang hati terutama rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Keterangan mengenai hadiah dari raja Kertanegara ini tertulis pada lapik (alas)arca Amoghpasa itu sendiri. Arca ini diketemukan kembali di daerah sungai Langsat dekat Sijunjung, di daerah hulu sungai Batanghari. Menurut Krom, tahun 1275 ia mengirim ekspedisi besar yang dikenal sebagai Pamalayu, untuk memulai menaklukan pulau itu, dan ekspedisi itu belum kembali sampai tahun 1293 yaitu tahun kematiannya. Tahun 1286 penaklukan itu berhasil baik sehingga ia mengirim tiruan patung ayahnya Visnhu vardhana di Candi Jago untuk ditempatkan dengan hikmat di Dharmasraya di kerajaan Melayu untuk menjamin hubungan antara kerajaan itu sebagai kerajaan bawahannya, dan dinastinya melalui pemujaan nenek-moyang. Dalam menggambarkan delapan kerajaan Sumatra itu Marco Polo memberikan kesan bahwa itu adalah reruntuhan sebuah kerajaan. Dan meskipun Kertanegara dan Singhasari tiba-tiba berakhir tahun 1292, ketika diserbu oleh ekspedisi besar dari Cina yang bertujuan untuk memberikan hukuman, yang dikirim oleh Kubilai Khan, baik Melayu maupun Palembang tidak dalam keadaan mampu melaksanakan oprasi yang bertujuan mempertahankan miliknya. Melayu adalah satu-satunya negara Sumatra yang amat penting dalam abad XIV, dan beberapa tulisan menunjukan bahwa Melayu masih merupakan tempat pengungsian kebudayaan “ Hindu “. Tetapi tidak lagi sebagai kerajaan internasional yang besar. Setelah peristiwa ini, kita tidak memperoleh keterangan lainnya mengenai keadaan di Sumatera, baru kemudian pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350) kita memperoleh sedikit keterangan tentang daerah Melayu. Rupa-rupanya kerajaan Malayu ini muncul kembali sebagai pusat kekuasaan di Sumatera, sedangkan Sriwijaya setelah adanya ekspedisi Pamalayu dari raja Kertanegara, tidak terdengar lagi beritanya. Adityawarman yang kemudian memerintah sebagian besar Sumatra dan dengan kebajikan perkawinan ganda ibunya dianggap sebagai anak tertua dari ayahnya yang orang Sumatra itu pada waktu itu dan “anak bungsu” dari Kertarajasa. Ia dibesarkan di Keraton Majapahit dan bertugas sebagai Komandan tentara Jawa yang mengalahkan Bali. Tahun 1343 ia mengabdikan di Candi Jago sebuah patung Manjusri, yaitu Bodhisattwa yang berjuang melawan kebodohan. Stutterheim menginterprestasikan ini sebagai suatu gambaran pembinaan dimasa mudanya di istana. Segera setelah itu ia memerintah di Melayu, di sana mungkin ia menggantikan ayahnya. Beliau tidak berusaha menghidupkan lagi kekuasaan di laut yang dulu pernah dipegang oleh Sriwijaya, tetapi memusatkan dirinya terutama pada perluasan kekuasaannya di beberapa bagian daratan Sumatra. Untuk mengekalkan kekuasan Majapahit di Bali, maka perlu ada pemerintahan yang lebih langsung. Atas dasar ini Gajah Mada memutuskan untuk menempatkan Adityawarman di Melayu. Pada mulanya di Majapahit Adityawarman menjabat sebagai wrddhamantri dengan gelar arrya dewaraja pu Aditya.. Segera setelah Adityawarman tiba di Sumatra, ia menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal dari tahun 1286. Ia memperluas kekuasaannya sampaai daerah Pagarruyung (Minangkabau), dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun terhadap Rajapatni ia masih tetap mengaku dirinya sang mantri yang masih terkemuka dan masih sedarah dengan raja putri itu. Berkaitan dengan hubungan kerjasama antara Sumatra dengan Majapahit, hanya sedikit saja yang diketahui kembalinya ekspedisi Pamalayu Kertanegara itu. Tetapi dari apa yang telah diketahui, rupanya menentukan pencantuman nama pulau itu dalam Negarakertagama sebagai tanda berada dalam kekuasaan Majapahit tahun 1365. Abad sebelumnya telah diketahui munculnya Melayu di Palembang. Kepada Kepala Negara yang terdahululah Kertanegara mengirimkan patung Amoghaphasa yang banyak dibicarakan itu. Pada Tahun 1286, ketika persiapan pendirian “persekutuan suci“ untuk menentang ancaman Mongol, Raja Mauliwarnadewa yang bertakhta waktu itu mengirim dua orang putri ke Majapahit bersama kembalinya armada Pamalayu. Salah seorang diantaranya bernama Dara Perak, yang kawin dengan Kertarajasa Jayawardhana dan menjadi ibu dari Jayanegara. Yang lain bernama Dara Jingga menurut Stutterheim, kawin
dengan salah seorang keluarga keraton dan melahirkan seorang putera yg menggantikan Mauliwardhana melalui upacara. Adapun Hubungan antara Melayu dengan Sriwijaya dapa  diketahui melalui Prasasti yang ditinggalkan. Menurut J.L Moens prasasti Kedukan Bukit dimaksudkan untuk memperingati kemenangan Sriwijaya terhadap Melayu. Karena ibukota Melayu itu di Palembang, maka kemenangan Sriwijaya atas Melayu dapat juga dikatakan sebagai penguasaan daerah Palembang atas Sriwijaya.

4.      Kerajaan Samudra

Penulis Arab terkenal adalah Ibnu Battuta yang antara tahun 1345-1346 menjadi utusan Sultan Delhi Muhammad Tughlak untuk menghadap kaisar Tiongkok.
Dalam perjalanannya ke Tiongkok, begitu pula ketika kembalinya, ia singgah di kerajaan Samudra di Sumatra. Kalau kita ikuti catatan dari sumber Arab ini akan dapat diketahui bahwa sejak kira-kira abad ke-8, pedagang Arab sudah mulai mengenal Indonesia, sekurang-kurangnya Indonesia bagian barat seperti Lamuri, Samudra, Badrus, Kedah, dan Sriwijaya. Di antara para pedagang Arab itu tentuny ada yang menetap di kota tersebut. Apabila di Kanton di tempat yang begitu jauh dan asing, mereka bisa menetap dan membangun masyarakatnya. Tidak mustahil mereka pun ada yang menetap di kota-kota pelabuhan di Indonesia. Mereka dapat diketahui berada di Tiongkok berkat adanya kebiasaan orang-orang Tionghoa mencatat secara teliti segala kejadian yang mereka lihat.
Kebiasaan semacam itu tidak dimiliki oleh bangasa Indonesia, sehingga tidak ada satupun kemungkinan itu yang dapat kita ketahui. Sebagai akibat dari merosotnya kekuasaan Sriwijaya (Burger, hlm. 31), di Sumatra Utara muncul beberapa kerajaan maritim kecil. Kerajaan-kerajaan yang terdapat kira-kira tahun 1300 adalah Samudra, Perlak, Paseh dan Lamuri ( yang kemudian menjadi Aceh ). Kerajaan-kerajaan pelabuhan ini kesemuanya mengambil keuntungan dari perdagangan di Selat Malaka. Saudagar yang beragama islam dari India mendatangkan agama Islam, dan Sumatra Utara menjadi daerah islam yang pertama di Indonesia. Berbagai keluarga raja Indonesia satu demi satu masuk agama islam. Prosesnya dipercepat melalui hubungan kekeluargaan dengan saudagar islam tersebut. Di beberapa kerajaan Sumatra Utara agama islam lalu berkuasa (burger, hlm. 31). Bukti yang menunjukkan itu adalah adanya nisan Sultan Al Malik as Saleh yang meninggal dalam bulan Ramadhan tahun 1297 Masehi. Ini berarti, bahwa segera sesudah kunjungan Marco Polo, Samudra telah diislamkan, sedangkan yang memerintah adalah orang yang bergelar sultan.

Dengan Sultan Malik as Saleh maka Samudra adalah kerajaan yang pertamadi Indonesia yang beragama Islam. Pada tahun 1297 Sultan pertama itu diganti oleh puteranya, Sultan Muhammad, yang memerintah sampai tahun 1326. Sulta ini lebih terkenal dengan nama Malik al-Thahir. Dari catatan yang ditinggalkan oleh Ibnu Battuta itu, dapat kita ketahui, dewasa itu Samudra merupakan pelabuhan yang sangat penting sebagai tempat kapal dagang bertemu untuk membongkar dan memuat barang dagangannya. Istana raja Samudra disusun dan diatur secara India, sedangkan diantara para pembesarnya terdapat pula orangorang Persia. Adapun Patihnya mempunyai gelar Amir. Sampai tahun berapa Malik al-Thahir ini memerintah, tidak diketahui dengan pasti. Pun penggantinya, Sultan Zain al-Abidin, yang juga bergelar Malik
al-Thahir, tidak ada keterangannya. Kita hanya dapat mengetahui namanya saja dari batu nisan yang tersurat di Samudra, yang menghias jirat, kuburan anak perempuannya yang meninggal dalam tahun 1389.

5.      Kerajaan Samudra dan Majapahit :
Sekitar tahun 1350 adalah masa memuncaknya kebesaran Majapahit. Bagi Samudra, masa itupun merupakan masa kebesarannya. Kerajaan Samudra di Aceh yang beragama islam yang menjadi bagian dari Majapahit itu, rupanya tidak menjadikan soal bagi Majapahit. Begitu pula Samudra berhubungan juga secara langsung dengan Tiongkok, sebagai siasat untuk mengamankan diri terhadap  Siam yang daerahnya meliputi jazirah Malaka, juga oleh Majapahit tidak dihiraukan. Pedagang dari Majapahit banyak yang datang di Samudra. Saudagar Islam dari India dan dari Samudra banyak yang beraktivitas dagang di pelabuhan Tuban dan Gresik, yang merupakan daerah asal Majapahit (de Graaf hlm. 166).

Bahkan hubungan darah antara Majapahit dengan Samudra ( dan nantinya juga dengan pusat-pusat Islam lainnya ) tidak merupakan hal yang ganjil. Tentang seorang raja dari Pase, misalnya yang bernama Zain al-Abidin. diketahui bahwa waktu ia dalam tahun 1511 terpaksa melarikan diri dengan meninggalkantahtanya, tempat berlindungnya adalah Majapahit, dimana rajanya masih termasuk saudaranya. Seperti sudah kita ketahui, Ma Huan – seorang Tionghoa Islam yang dating di Majapahit dalam tahun 1413 dengan jelas menyatakan, bahwa penduduk kotaMajapahit terdiri atas 3 (tiga ) golongan, yaitu orang-orang Islam yang datang dari Barat, orang-orang Tionghoa yang kebanyakan memeluk agama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala.Keterangan “yang datang dari Barat “ rupanya mengenai orang-ortang Gujarat atau mungkin pula Samudra dan Malaka, memang di Gresik kampong Gapura ada kuburan yang serupa dengan kuburan yang serupa dengan kuburan di Samudra, jirat import dari Gujarat dengan tulisan Arab, yaitu makam Syech Maulana Malik Ibrahim, yang wafat dalam tahun 1419 Masehi.





6.      Kerajaan Majapahit

Menurut Krom, kerajaan Majapahit ini berdasar pada kekuasaan di laut. Laut-laut dan pantai yang terpenting di Indonesia dikuasainya. Jika suatu kerajaan yang kecil menjadi daerah takluk Majapahit, maka pada umumnya pemerintah Majapahit tidak mencampuri keadaan dalam negeri tersebut. Negeri yang takluk ini cukup mengirimkan utusan pada waktu tertentu sebagai tanda takluk serta mengambil sikap yang sesuai dengan kehendak pemerintah Majapahit terhadap negeri Indonesia lainnya. Bagian dari kerajaan besar ini yang jauh letaknya cukup dijadikan daerah pengaruh saja. Segala pengaruh asing dalam kerajaan ditolak.

Daerah taklukannya diwajibkan menyampaikan upeti atau uang takluk. Jadi, selain sebagai negara agraris, pada waktu yang sama Majapahit juga merupakan suatu kerajaan perdagangan. Negara ini memiliki angkatan laut yang besar dan kuat. Pada tahun 1377 mengirim suatu ekspedisi untuk menghukum raja Palembang dan Sumatra. Majapahit juga mempunyai hubungan dengan Campa, Kampuchea, Siam Birma bagian Selatan dan Vietnam serta mengirim dutanya ke Cina. Kenang-kenangan tentang kejayaan Majapahit itu masih tetap hidup di Indonesia, dan hal itu dianggap sebagai suatu preseden bagi perbatasan politik Republik Indonesia dewasa ini.

Menurut berita Cina dalam buknya Tao-I chih-lueh yang ditulis sekitar tahun 1349 M menyebutkan Majapahit yang dikenal dengan nama She-po (Jawa) sangat padat penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan padi, lada, garam, kain dan burung kakak tua yang semuanya merupakan barang eksport utama. Dari luar She-po mendatangkan mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik dan barang dari besi. Banyak daerah yang mengakui kedaulatan She-po antara lain beberapa daerah di Malaysia, Sumatra, Kalimantan Timur, dan beberapa daerah di Indonesia bagian Timur.

Dalam memperoleh gambaran tentang Majapahit, maka sumber yang relevan untuk dipakai adalah Kitab Nagarakertagama. Dari kitab ini menunjukkan bahwa banyaknya pedagang dari Jambu Dwipa, Kamboja, Cina, Yawana,Champa, Karnataka (Mysore), Goda, dan Siam yang datang ke Majapahit. Dari keterangan itu juga dijelaskan bahwa pedagang Majapahit juga berlayar ke pelabuhan di luar negeri tersebut. Penjelasan tentang wilayah kekuasaan Majapahit menyebutkan pula pulau demi pulau di Nusantara yang tunduk pada kerajaan Majapahit. Dari pemberitaan tersebut, sekurang-kurangnya kita dapat menjelaskan bahwa pelayaran sebagai sarana perhubungan antar pulau pada waktu itu sudah dikenal. 43 Ini membuktikan bahwa Majapahit juga merupakan kerajaan Maritim yang cukup kuat dan disegani di Nusantara.
Sebagai tambahan daerah yang mengakui kekuasaan Majapahit, Prapanca memberikan nama-nama daerah yang tetap mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit. Daerah itu antara lain Siam, Burma, Champa dan “ Javana “ yaitu Vietnam  disamping negeri-negeri yang lebih jauh lagi seperti Cina, Karnatik dan Benggala, yang mengadakan hubungan dagang dengan Majapahit. Orang-orang Cina pada tahun 1382 mencatat utusan-utusan Jawa waktu itu pada saat naik tahtanya Dinasti Ming,. Ma-huan, seorang sekretaris dan juru bahasa dari Cheng-ho pernah mengunjungi Majapahit pada tahun 1413. Dalam laporannya dia menulis bahwa pelabuhan dagang Majapahit di pantai Utara Jawa, banyak didiami oleh pedagang Tionghoa dan pedagang setempat yang kaya. Banyak barang-barang dagangan diperjualbelikan di situ. Tetapi yang paling laku dan digemari ialah barang pecah belah dari porselin Cina. Pendiri dari kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya pada abad ke-13. Kariernya dimulai dengan menghambakan dirinya pada Jayakatwang. Kemudian dia dianugerahi tanah di desa Tarik, yang dengan bantuan orang-orang Madura dibuka dan menjadi desa yang subur dengan nama Majapahit. 

Berakhirnya kerajaan Singasari bukan berarti hilangnya Dinasti Singasari dalam percaturan sejarah kerajaan di Indonesia. Terbukti Wijaya sebagai keturunan dari Singasari mampu melumpuhkan pasukan Khubilai Khan sekaligus melumpuhkan lawan politiknya yaitu dengan meruntuhkan Kerajaan Kediri (Daha). Dengan demikian maka dia menjadi pendiri dan raja Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana pada abad ke-13. Dalam waktu relatif singkat pasukannya dikirim untuk menaklukkan seluruh Nusantara dan membawa hasil yang gemilang. Terbukti banyak raja di nusantara yang tunduk dan member upeti. Raja Melayu mempersembahkan dua orang puteri. Pada masa Kertaraja sini muncul banyak pembrontakan di kalangan intern karena ketidakpuasan para pengikut raja yang telah berjasa. Para pemberontak ini pada mulanya adalah pengikut setia yang mengantarkan Majapahit berkembang pesat. Mulai dari pembrontakan Sora, Ronggo Lawe, dan Kebo Anabrang. Meskipun demikian Kertaraja adalah peletak dasar kerajaan Majapahit sekaligus menempatkan diri sebagai Kerajaan Maritim di Jawa .Pengganti Kertanegara adalah puteranya yang bernama Jayanegara. Dia pun juga dirongrong dengan berbagai pemberontakan namun berkat bantuan Gajah Mada berbagai pemberontakan itu dapat diatasi. Pada masa itu hubungan dengan Cina telah pulih, ditandai datangnya utusan dari Jawa ke Cina setiap tahun. Keadaan Majapahit oleh Odorico tahun 1321 digambarkan bahwa istananya penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. Jayanegara tidak memerintah lama karena pada tahun 1328 dia telah meninggal dunia. Masa pemerintahan Hayam Wuruk pada dasarnya merupakan zaman keemasan Majapahit. Pada masa kekuasaannya itulah Negarakertagama ditulis, setelah itu beberapa kejadian menjadi kurang jelas. Tampaknya terjadi perang
saudara pada tahun 1405-1406; pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an; dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468. Akan tetapi garis keturunan raja Majapahit (atau cabang dari garis keturunan itu) semuanya tetap memegang tampuk pemerintahan.

a.       Eskpansi dan Diplomasi

Tokoh Majapahit yang terkenal adalah Gajah Mada, sehingga dia memainkan peranan penting. Hasrat Gajah Mada untuk menunjukkan pengabdiannya kepada Majapahit yang ia cita-citakan sebagai satu-satunya kerajaan yang berkuasa, dapat kita ketahui dari sumpahnya yang terkenal, ialah : bahwa ia tidak akan merasakan palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit. Palapa artinya garam dan rempah-rempah, jadi maksud Gajah Mada ialah untuk “mutih”, makan nasi tanpa apa-apa). Berg telah memecahkan teka-teki kata sumpah palapa. Kata itu, berarti pembunuhan nafsu dan dipakai untuk menggambarkan upacara Budha Bhairrava yang meliputi hubungan kelamin dengan yogini. Pengumuman itu menunjukan hukuman politik yang didasarkan atas upacara Bahairava, atau dengan kata lain, perwujudan politik penaklukan dengan kekuatan militer, meliputi meletakan kekuasaan Jawa atas Nusantara, karena rencana Kertanegara untuk persekutuan Pan-Indonesia dilaksanakan melalui sistem Yoga. Bukti pengaruh kebudayaan Jawa , yang berasal dari waktu ini, diduga terdapat juga di Dopo, Sumbawa, dan beberapa tempat yang lain, yang tradisinya menunjukan pada Majapahit. Negeri-negeri yang tergantung pada Majapahit banyak tersebut dalam Negarakertagama. Mencakup seluruh Sumatra, kelompok nama-nama di Semanjung Malayu. 48 Langkah pertama mempersatukan daerah yang belum bernaung di bawah panji-panji Majapahit dilakukan dalam tahun 1343 dan tertuju kepada Bali, yang setelah ditaklukkan Kertanagara telah bebas kembali. Serangan terhadap Bali dipimpin oleh Gajah Mada sendiri, bersama dengan Adityawarman, putera  Majapahit keturunan Melayu. Sepeninggal Tribhuwanottunggadewi turun dari takhta kerajaan, penggantinya adalah anaknya, yaitu Hayam Wuruk. Hayam Wuruk didampingi seorang patih yang bernama Gajah Mada. Masa ini adalah jaman keemasan Majapahit. Sumpah Gajah Mada dapat terlaksana, dan seluruh kepulauan Indonesia – bahkan juga jazirah Malaka – mengibarkan panji-panji Majapahit. Adapun hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung dengan baik.

Masa pemerintahan Hayam Wuruk nampak menampilkan usahanya untuk meningkatkan kemakmuran bagi rakyatnya. Berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi dan kebudayaan sangat diperhatikan. Untuk keperluan peningkatan kesejahteraan di bidang pertanian, raja telah memerintahan pembuatan bendungan, dan saluran pengairan, serta pembukaan tanah-tanah baru untuk perladangan. Di beberapa tempat sepanjang sungai-sungai besar diadakan tempattempat penyeberangan yang sangat memudahkan lalu lintas antar daerah. Raja Hayam Wuruk sangat memperhatikan pula keadaan daerah kerajaan. Beberapa kali ia mengadakan perjalanan kenegaraan meninjau daerah wilayah Majapahit, disertai para pembesar kerajaan. Kunjungan itu antara lain ke Pajang pada tahun 1351, Lasem tahun 1354, ke daerah pantai Selatan (Lodaya) tahun 1357, daerah Lamajang tahun 1359, daerah Tirib dan Sempur tahun 1360, tahun 1361 dan 1363 mengunjungi Simping. Kebesaran Majapahit mulai redup setelah kematian Gajah Mada pada tahun 1364 .

Daftar daerah yang telah dikuasai Majapahit adalah Mendawai, Brunai dan Tanjung Puri di Kalimantan serta sebuah daftar panjang mengenai nama-nama di timur Jawa, mulai dari Bali, Makasar, Banda, dan Maluku. Banyak dari namanama
itu hanya dapat diduga saja persamaannya. Kita mendapat gambaran sebuah kerajaan seluas Indonesia sekarang ditambah daerah Malaya. Krom, Stuterheim dan banyak penulis mengakui kekuasaan yang dimiliki Majapahit tersebut. Vlekke, misalnya, telah memberikan suatu gambaran tertulis tentang kerajaan agung yang dipertahankan dengan mengalahkan kekuatan di lautan. Katanya, setelah keruntuhannya, tidak pernah ada yang sebesar itu dicapai lagi “sampai orang-orang Belanda menyempurnakan penaklukannya “.Kerajaan Majapahi pada umumnya besar wilayahnya sama dengan “Nederlands Indie“ dahulu atau Republik Indonesia sekarang, ditambah Semenanjung Malaka dan sampai Irian.

b.      Pola Pengamanan Laut

Dengan uraian perluasan wilayah kekuasaan Majapahit, seperti dijelaskan oleh Prapanca, kita telah menggunakan hipotesa bahwa pelayaran perdagangan pada abad XIV berada di tangan pedagang Majapahit. Artinya pada waktu itu, Majapahit memiliki kapal-kapal dagang dan menjalankan pelayaran sendiri,disamping pelayaran yang dilakukan juga oleh pedagang asing. Tentu saja kesimpulan ini bukanlah kesimpulan yang luar biasa, oleh karena banyak pula penulis sejarah yang tidak mengingkari pernyataan ini.

Dalam menjamin keamanan, dia menjalankan tindakan yang tegas. Sebagai contoh, ketika bagian Barat Kalimantan dalam tahun 1369 dikacau oleh bajakbajak dari Sulu (Pilipina) yang dibantu oleh Tiongkok, segera armada Majapahit muncul di lautan Tiongkok Selatan, dan daerah itu terhindar dari pengacauan lebih lanjut. Dalam tahun 1370 tiga orang raja di Nusantara berusaha melepaskandiri dari Majapahit, dan mengirimkan utusannya sendiri ke Tiongkok. Akibat tindakan raja tersebut, maka Majapahit mengirimkan armada, sehingga pada tahun 1377 raja-raja itu dibinasakan sama sekali. Dengan tindakan ini maka habislah riwayat Sriwijaya.Jika ada pegawai Majapahit, seperti wali negeri, adipati atau menteri dikirim ke daerah takluk, maka maksudnya ialah untuk mempertegas kekuasaan serta memungut sumbangan daerah itu. Adanya suatu armada yang kuat perlu sekali untuk mengadakan ekspedisi-dera, pengawasan kepolisian, dan untuk bertindak terhadap negara asing yang hendak mencampuri keadaan dalam negeri. Sebagai penguasa daerah kepulauan, daerah Majapahit mempunyai angkatan darat dan laut yang kuat. Baik dari Hindia Belanda dahulu, maupun bagi Indonesia sekarang, perhubungan laut ini juga merupakan angka dari struktur negara.
c.       Masa Kelabu Majapahit

            Kemunduran Majapahit terjadi karena adanya perang saudara. Kondisi ini diketahui oleh Tiongkok yang segera berusaha memikat daerah luar Jawa untuk merngakui kedaulatannya. Kalimantan Barat, yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak-bajak dari Sulu sebagai alat dari kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 telah tunduk sama sekali dengan Tiongkok tanpa sesuatu tindakan dari Majapahit. Dalam tahun itu juga, Palembang dan Melayu mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan Majapahit. Dengan posisi dan predikat Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting, mereka yang beragama Islam, di samping Samudra, jazirah Malaka pun boleh dikata sudah hilang. Demikian pula daerah lain, satu persatu melepaskan diri dari Majapahit.


Beberapa daerah memang masih mengakui Majapahit sebagai atasannya, tetapi dalam praktek, tidak banyak juga hubugannya dengan pusat. Masa seratus tahun yang terakhir dari kerajaan Majapahit tidak banyak yang diketahui. Sumber sejarah sangat sedikit, dan keterangan Pararaton sangat kacau.Yang nyata ialah, sejak Wikramawardhana sebagai bintang Majapahit mulai suram, maka makin lama Majapahit menjadi semakin pudar. Perang saudara antar keluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di luar daerah sekitar ibukota Majapahit, penyebaran agama Islam yang sejak + 1400 berpusat di Malaka serta timbulnya beberapa kerajaan Islam yang menentang kadaulatan Majapahit, adalah berbagai peristiwa yang menandai masa runtuhnya kerajaan yang tadinya mempersatukan seluruh Nusantara.

Sepeninggal Hayam Wuruk, Majapahit selalu dilanda perang saudara. Diawali dengan perebutan kekuasaan antara menantu Hayam Wuruk, Wikramawardhana yang menjadi raja dengan Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selir. Meskipun Majapahit dilanda perang saudara, hubungan diplomatik dengan Cina tetap berjalan baik yang berlangsung pada tahun 1403 hingga tahun 1499. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi perang saudara itu tidak memungkinkan Majapahit berkembang. Bahkan ada kecenderungan mengalami kemunduran karena banyak daerah yang mulai melepaskan diri,terutama di daerah pesisir. 56 Menurut de Graaf, jatuhnya kerajaan Majapahit ialah pada tahun 1478 Masehi ( atau 1400 Caka). Dengan Demikian cocok dengan Babad Jawa. Akan tetapi berlainan dengan isi babad ini, ia berpendapat bahwa jatuhnya kerajaan Majapahit tak disebabkan oleh negara-negara Islam di daerah pesisir, melainkan oleh kerajaan Hindu lain, yaitu Daha-Kediri yang dapat melepaskan diri sebelumnya dari Majapahit. Kerajaan Kediri ini pada tahun 1526 ditaklukan oleh Sultan Demak, yang berarti pula berakhirnya zaman kerajaan Hindu yang besar di pulau Jawa. Hanya di ujung timur masih terdapat kerajaan Hindu yang kecil, yaitu Belambangan hingga abad ke-17. Jadi, sebelum kedatangan bangsa Portugis di Indonesia, kerajaan Majapahit sudah runtuh.

7.      Kerajaan Malaka
Malaka merupakan suatu kota pelabuhan besar yang letaknya menghadap ke laut. Posisi seperti ini juga dimiliki oleh kerajaan Maritim lain seperti Banten, Batavia, Gresik, Makasar, Ternate, Manila, atau sungai besar yang dapat dilayari. Daerah inti yang berbenteng, juga dilintasi oleh atau berdekatan dengan sungai kecil, yang menyediakan air untuk mandi dan memasak, juga jalan masuk untuk perahu kecil. Jembatan yang melintasinya merupakan jalur menuju ke kompleks utama kerajaan pusat yang sering merupakan daerah kemacetan. Di Malaka pada bagian tepinya terdapat kedai kecil dan menjadi perluasan pasar maupun jalan raya.  Awal mula Malaka dimulai dari kehidupan seorang raja yang beragama Hindu-Bhuda yang bernama Parameswara. Ada suatu perdebatan mengenai kepindahannya ke agama Islam. Tampaknya pada masa akhir pemerintahannya (1390-1413/14 M) dia menganut agama Islam dan memakai nama Iskandar Syah.

Dua orang penggantinya, Megat Iskandar Syah ( 1414-1423/24 ) dan Muhammad Syah ( 1424-44? ), adalah raja-raja yang beragama Islam. Akan tetapi, ada kemungkinan telah terjadi suatu reaksi Hindu-Budha selama masa pemerintahan raja yang keempat. Parameswara Dewa Syah (1445-46 ), tampaknya terbunuhdalam suatu kudeta Islam. Malaka mulai muncul sebagai pusat perdagangan dan kegiatan Islam baru pada awal abad ke-15. Pendiri kerajaan Malaka adalah seorang Pangeran Majapahit dari Blambangan yang bernama Paramisora (Parameswara). Dia melarikan diri dari Blambangan karena adanya gempuran yang dilakukan oleh Majapahit terhadap Blambangan. Parameswara berhasil meloloskan diri sewaktu terjadi serangan Majapahit pada tahun 1377 dan akhirnya tiba di Malaka sekitar tahun 1400. Di tempat ini dia menemukan suatu pelabuhan yang baik yang dapat dirapati kapal-kapal di segala musim dan terletak di bagian Selat Malaka yang paling sempit. Beserta para pengikutnya dalam waktu singkat dusun nelayan ini dengan bantuan bajak-bajak laut menjadi kota pelabuhan, yang karena letaknya yang sangat baik di Selat Malaka, merupakan saingan berat bagi Samudra Pase.

Dengan demikian Malaka diberi kesempatan berkembang menjadi pusat perniagaan baru. Sebelum itu, Malaka hanyalah merupakan sebuah tempat nelayan kecil yang tak berarti. Pada awal abad ke-14 tempat tersebut mulai berarti buat perdagangan, dan dalam waktu yang pendek saja menjadi pelabuhan yang kerajaan pusat yang sering merupakan daerah kemacetan. Di Malaka pada bagian tepinya terdapat kedai kecil dan menjadi perluasan pasar maupun jalan raya.  Awal mula Malaka dimulai dari kehidupan seorang raja yang beragama Hindu-Bhuda yang bernama Parameswara. Ada suatu perdebatan mengenai kepindahannya ke agama Islam. Tampaknya pada masa akhir pemerintahannya (1390-1413/14 M) dia menganut agama Islam dan memakai nama Iskandar Syah. Dua orang penggantinya, Megat Iskandar Syah ( 1414-1423/24 ) dan Muhammad Syah ( 1424-44? ), adalah raja-raja yang beragama Islam. Akan tetapi, ada kemungkinan telah terjadi suatu reaksi Hindu-Budha selama masa pemerintahan raja yang keempat. Parameswara Dewa Syah (1445-46 ), tampaknya terbunuh dalam suatu kudeta Islam.

Malaka mulai muncul sebagai pusat perdagangan dan kegiatan Islam baru pada awal abad ke-15. Pendiri kerajaan Malaka adalah seorang Pangeran Majapahit dari Blambangan yang bernama Paramisora (Parameswara). Dia melarikan diri dari Blambangan karena adanya gempuran yang dilakukan oleh Majapahit terhadap Blambangan. Parameswara berhasil meloloskan diri sewaktu terjadi serangan Majapahit pada tahun 1377 dan akhirnya tiba di Malaka sekitar tahun 1400. Di tempat ini dia menemukan suatu pelabuhan yang baik yang dapat dirapati kapal-kapal di segala musim dan terletak di bagian Selat Malaka yang paling sempit. Beserta para pengikutnya dalam waktu singkat dusun nelayan ini dengan bantuan bajak-bajak laut menjadi kota pelabuhan, yang karena letaknya yang sangat baik di Selat Malaka, merupakan saingan berat bagi Samudra Pase.

Dengan demikian Malaka diberi kesempatan berkembang menjadi pusat perniagaan baru. Sebelum itu, Malaka hanyalah merupakan sebuah tempat nelayan kecil yang tak berarti. Pada awal abad ke-14 tempat tersebut mulai berarti buat perdagangan, dan dalam waktu yang pendek saja menjadi pelabuhan yang negara ini harus mengimport bahan pangan untuk menghidupi rakyatnya, namun dengan kondisi demikian justru membuat Malaka dengan cepat menjadi pelabuhan yang berhasil. Hal ini terjadi karena kerajaan Malaka dapat menguasai Selat Malaka, yaitu salah satu trayek yang sangat menentukan dalam system perdagangan internasional yang membentang dari Cina, Maluku di Timur sampai Afrika Timur dan Laut Tengah di Barat.
Usaha pertama Paramisora adalah mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari Tiongkok, guna melindungi diri dari bahaya dari Siam dan Majapahit. Dalam tahun 1405 ia diakui sebagai raja Malaka oleh Kaisar Tiongkok, dan enam tahun kemudian ia sekeluarga berkunjung ke Tiongkok. Menurut cerita, sesaat sebelum meninggal ( dalam tahun 1414 ) Paramisora masuk agama Islam, dan berganti nama menjadi Iskandar Syah. Jadi dengan jalan yang mudah sekali, perniagaan berpindah dari Sriwijaya ke Jambi, Sumatra Utara dan Malaka. Perpindahan serta perkembangan pesat dari pusat perniagaan semacam ini sering terjadi kemudian. Hal ini berhubungan erat dengan sifat perdagangan laut Indonesia. Perdagangan ini pertama-tama sifatnya transito; pelabuhan yang ada pada dasarnya hanya menjadi tempat pemindahan barang ke kapal lain. Oleh karena itu bagi perniagaan Indonesia waktu itu, tidak ada perbedaannya, apakah pemindahan barang dagangan tadi terjadi di Palembangataukah di Malaka.  Berbagai saudagar dari Tuban, Gresik, Surabaya, Jepara, dan Palembang berkampung di kota Malaka. Di sana mereka mempunyai kepala kampung sendiri.

Orang-orang Jawa tak jarang memangku jabatan penting di sana dan mempengaruhi jalannya pemerintahan. Banyak juga bangsa asing yang berdiam di Malaka, seperti misalnya : orang-orang Tionghoa, India, Arab dan Parsi. Golongan terpenting di Malaka adalah bangsa-bangsa Gujarat ( dari India ). Mereka mempunyai kekuasaan politik yang besar. Inilah lukisan kota Malaka yang dijumpai oleh bangsa Portugis ketika mereka pertama kali sampai di sana pada tahun 1509.
Ancaman utama bagi Malaka sejak awal adalah Siam, tetapi Malaka sudah minta dan mendapat perlindungan Cina sejak tahun 1405. Setelah itu, Malaka berulang kali mengirim duta-dutanya ke Cina. Begitu pula kunjungan armada Cina ke Malaka terus berlanjut hingga tahun 1434. Perlindungan Cina yang nyata ini telah membantu Malaka dapat berdiri tegak. Pada pertengahan abad XV Malaka bergerak menaklukan daerah di kedua tepi Selat yang menghasilkan bahan pangan, timah, emas dan lada sehingga meningkatkan kemakmuran dan posisi strategisnya. Pada tahun 1470-an dan 1480-an kerajaan ini menguasai pusat-pusat penduduk yang penting di seluruh Semenanjung Malaya bagian selatan dan pantai timur Sumatra bagian tengah.

8.      Kota-Kota Maritim di Pantai Utara Jawa

a.       Tuban
Sejak abad ke-11 Tuban disebut sebagai kota pelabuhan. Gerombolan Cina Mongolia yang pada 1292 M datang menyerang Jawa Timur konon mendarat di Tuban. Pada masa lalu Tuban juga menjadi pintu gerbang sungai besar di Jawa Timur, seperti Bengawan Solo dan Brantas. 64 Tuban menurut Tome Pires pada permulaan abad ke-16 sebagai tempat kedudukan raja, namun perdagangan dan pelayarannya tidak begitu kuat bila dibandingkan Gresik. Keluarga raja sejak abad ke-15 masih menjalin hubungan dengan kerajaan Majapahit, dimana pada masa itu sebagian besar penduduk masih kafir, tetapi penguasanya sudah masuk islam. Ini artinya abad itu Tuban masih merupakan bagian dari Majapahit65 (151). Mulamula perdagangan seberang laut bangsa Jawa terutama diselenggarakan dari kota Tuban, akan tetapi kemudian muncul kota-kota lain seperti Gresik, Jepara, Surabaya, dan lain-lain.
Pada tahun 1527, ketika Majapahit direbut oleh orang Islam, konon Tubanjuga sudah diduduki oleh Sultan Demak, tetapi babad Tuban tidak menyebutkan hal itu. Berabad-abad lamanya kota maritim di pantai utara Jawa, termasuk Tuban cukup memegang peranan penting. Kota Tuban dipandang sebagai pelabuhan terbesar di Jawa. Di samping itu ada tanda-tanda yang menyatakan, bahwa Tuban dalam abad ke-11 mempunyai aktivitas perdagangan laut. Kota ini lama sekali menjadi pelabuhan Jawa yang terpenting. Pada abad ke-12 kapal-kapal dagang Jawa, termasuk kapal dari Tuban dan Sumatra sampai di negeri Annam (Hindia Belakang).

Dalam hubungannya dengan Majapahit, kota Tuban hingga Surabaya ini menjadi pusat armada laut Majapahit untuk menaklukkan pelabuhan-pelabuhanutama lainnya di Nusantara. Termasuk pusat muslim yang telah mantap di Pasai, dimana banyak orang muslim yang berbakat dibawa pulang pada tahun 1360-an guna menambahkan suatu unsur Melayu pada minoritas muslim di Jawa. Jiwa ekspansionisme Tuban tidak lepas dari kebijakan yang diterapkan oleh Majapahit sebagai pelindung daerah itu.

9.      Hubungan Pesisir Utara Jawa dengan Majapahit

Perluasan wilayah kekuasaan oleh Majapahit juga membawa akibat meningkatnya hubungan perdagangan antara pusat dan daerah. Saudagar-saudagar Jawa khususnya dari Tuban, Gresik, dan Surabaya pada waktu itu sudah mengadakan hubungan perdagangan dengan daerah di luar Jawa, yaitu dengan Banda, Ternate, Ambon , Banjarmasin, Malaka, dan Filipina. 68 Posisi kota-kota di pesisir Utara Jawa itu adalah vasal atau bawahan dari Majapahit. Keadaaan ini masih terus berlangsung hingga menjelang akhir abad ke-15. Daerah yang terletak di pesisir Utara pulau Jawa sudah Islam semuanya, dengan pusatnya Jepara, Tuban dan Gresik, dibawah pemerintahan para adipati yang masih tunduk kepada pemerintah pusat. Dari gambaran itu menunjukkan bahwa kerajaan Jawa yang utama tidak bersedia dengan sukarela menerima Islam. Sekalipun ada orang Islam di Ibukota Majapahit seperti terbukti dari nisan mereka di abad ke-14, namun elite penguasa Jawa adalah yang paling banyak menolak pengislaman di Nusantara dibandingkan dengan lainnya. Sumber-sumber Jawa mengenai abad ke-15 dan abad ke-16 terkenal sangat tidak jelas, dan kebiasaan untuk menyebut tahun 1478-1479 sebagai saat ditaklukannya Majapahit oleh pasukan Islam adalah keliru. Adapun yang terjadi, tahun itu jelas bukan kemenangan akhir Islam. Kronik pertama yang dapat dipercaya bermula dari jatuhnya Majapahit yang konvensional itu, baru menyebut orang-orang muslim seabad kemudian, ketika pada tahun 1577- 1578 “para syuhada Islam“ mengalahkan Kediri. Tome Pires melaporkan masih ada seorang raja “kafir“ di Jawa yuang berpusat di Daha ( Kediri ), sementara delapan puluh tahun kemudian orang Belanda melaporkan, bahwa orang-orang Islam di Jawa hanya terdapat di pantai utara, sedang “yang dipedalaman adalah kafir “.

Jadi hubungan antara daerah pesisir Utara Jawa dengan Majapahit pada mulanya adalah hubungan atasan dan bawahan, hubungan antara pusat dan vasal. Dalam tahapan selanjutnya yaitu akhir abad ke-15 terjadi perubahan politik dimana para penguasa pesisir mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit

10.  Demak : Kerajaan Maritim Islam Pertama di Jawa

Sesudah raja Hayam Wuruk mangkat pada tahun 1389, kerajaan Majapahit
merosot. Kemunduran kerajaan ini, disertai dengan kehilangan bagian daerahnya yang berturut-turut melepaskan diri, dapatlah dikatakan bertepatan dengan kedatangan agama Islam. Setelah memperoleh kedudukan yang kokoh di Sumatra Utara pada kurang lerbih tahun 1300 dan sesudah 1400 juga di Malaka, lambatlaun agama baru ini tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Hanya pulau Irian yang boleh dibilang belum didatangi agama Islam pada waktu itu. Berdasarkan cerita babad, Brawijaya, raja Majapahit itu adalah ayah Raden Patah, Raja Demak. Brawijaya telah memperingatkan Raden Patah akan kewajiban untuk taat kepada raja lewat adipati Terung. Peringatan ini tidak berhasil, justru adipati Terung bersekutu dengan umat islam, yang berkumpul di Bintara, Demak. Dari situ mereka bersama-sama menyerang Majapahit. Tanpa pertempuran, Raden Patah dapat menggantikan kedudukan ayahnya di singgasana kerajaan.

Menurut cerita, setelah Raden Patah berhasil merobohkan Majapahit, kemudian dia memindahkan semua alat upacara kerajaan dan semua pusaka Majapahit ke Demak. Tujuan pemindahan ini adalah sebagai lambang tetap berlangsungnya kerajaan kesatuan Majapahit itu tetapi dalam bentuk yang baru di Demak. Letak Demak sangat menguntungkan baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat di antara pegunungan Muria dan Jawa. Sebelumnya selat itu agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Dalam versi yang lain disebutkan bahwa sekitar tahun 1500 seorang bupati Majapahit bernama Raden Patah, yang berkedudukan di Demak dan memeluk agama Islam, terang-terangan memutuskan ikatannya dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi. Dengan bantuan daerah lainnya di Jawa Timur yang sudah Islam pula, seperti Japara, Tuban dan Gresik, ia mendirikan kerajaan Islam dengan Demak sebagai Pusatnya. Berdasarkan tradisi Mataram Jawa Timur, raja Demak yang pertama, Raden Patah adalah putra raja Majapahit yang terakhir, yang dalam Legenda bernama Brawijaya. Ibu Raden Patah konon seorang putri Cina dari kraton raja Majapahit. Waktu hamil putri itu dihadiahkan kepada seorang anak emasnya yang menjadi gubernur di Palembang. Di situlah Raden Patah lahir. Menurut Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental menganggap kakek Raja Demak yang memerintah pada tahun 1513 adalah seorang “budak belian” dari Gresik yang telah mengabdi di Demak saat masih menjadi vasal Majapahit. Dalam karirnya dia diangkat menjadi capitan dan dipercaya memimpin ekspedisi melawan Cirebon, sehingga dapat berhasil pada tahun 1470.
Menurut cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, pengganti Raden Patah adalah “Pangeran Sabrang Lor”. Nama itu ternyata berasal dari daerah tempat tinggalnya di “Seberang Utara”. Tetapi menurut Tome Pires penguasa kedua di Demak adalah Pate Rodim Sr. Dia mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung. Pada masa ini beberapa daerah dapat ditaklukkan. Berdasarkan babad, penguasa ketiga adalah Tranggana atau Trenggana. Raja ini telah meresmikan Masjid Raya di Demak. Dalam berita Portugis menyebutkan, pada tahun 1546 dia gugur dalam ekspedisi ke Panarukan di ujung timur Jawa.
Tome Pires menyebut nama sultan ini Pate Rodin Jr atau Patih Rodin Muda. Dalam kurun waktu itu wilayah kerajaan telah diperluas ke barat dan ke timur, dan masjid Demak telah dibangun sebagai lambang kekuasaan islam.
 Kekuatan Demak terpenting adalah kota pelabuhann Jepara, yang merupakan kekuatan laut terbesar di laut Jawa. Pada masa Trenggana, dia berusaha memimpin suatu Koalisi Islam yang mungkin menghancurkan kerajaan Hindu-Budha utama terakhir yang berpusat di Kediri. Ia memang tidak merebut suatu kerajaan Jawa yang mapan, tetapi sekembali di pusat kekuasaannya di Demak Sultan Trenggana terus menerus menyerang sejumlah musuh Hindu. Gelar Sultan yang menurut tradisi disandangnya sejak tahun 1524 dengan hak (otorisasi) yang di bawa Sunan Gunung Jati dari Mekkah merupakan indikasi bahwa Demak adalah sebuah kerajaan bentuk baru di Jawa Dari gambaran itu menunjukkan Demak benar-benar kekuatan signifikan di Jawa pada abad ke-16. Pada masa Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, tepatnya tahun 1512 dan 1513 dia menyerang Malaka dengan menggunakan gabungan seluruh angkatan laut bandar-bandar jawa, namun berakhir dengan hancurnya angkatan laut dari Jawa. Kerajaan Demak dipandang sebagai pengganti Majapahit yang pada tahun 1515 wilayahnya meliputi daerah pesisir utara pulau Jawa dari Demak hingga Cirebon, dan Palembang. Kerajaan Demak juga meliputi Japara, merebut Banten pada tahun 1524, dan Sunda Kelapa tahun 1526. Adapun daerah-daerah sebelahtimur Demak ditaklukan dengan peperangan antara tahun 1525– 1546. Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh daerah pesisir utara pulau Jawa, di sebelah timur hingga Panarukan.

Selama abad ke 16, terjadi pula suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di kota-kota pelabuhan di Jawa, yang ketika itu merupakan pusat kekayaan dan ide yang menarik minat orang Jawa yang berbakat. Masjid dan makam suci dibangun dengan paduan batu bata dan seni hias Majapahit dan pilar pilar raksasa dari kayu meniru pendopo Jawa untuk keperluan ritual Islam. Kreativitas seni panggung Jawa diubah atau diciptakan boleh jadi berupa penggantian bentuk manusia dengan bentuk wayang yang disesuaikan agar tidak mengganggu orang-orang Islam yang saleh. Norma-norma Islam tentunya bukan satu-satunya yang terdapat di kota pesisir di abad 16. Dapat dibayangkan adanya sebuah inti orang saleh di sekitar masjid di kota-kota pelabuhan yang memiliki hubungan internasional, arus tidak terputus-putus (konstan) dari orang-orang Jawa Non Muslim dari pedalaman, dan keraton yang berupaya mendapat dukungan baik dari Islam maupun dari orang Jawa.

D. EKONOMI MARITIM DI INDONESIA
Pembanggunan ekonomi maritim merupakan studi yang sangat luas, meliputi berbagai bidang, berbagai unsur, dan berbagai aspek pembangunan yang sangat luas, berbagai bidang meliputi bidang-bidang ekonomi, sosial (dan budaya), dan politik. Mengingat sangat pentingnya peranan dan fungsi pembangunan maritim, maka pembangunan ekonomi maritim perlu dipelajari sebagai suatu studi tersendiri, dalam upaya mendukung pengembangan dan pengelolaan sumber-sumberdaya kemaritiman dan kelautan secara lebih optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat matitim yang lebih tinggi.
Diawal buku ini membahas mengenai pengertian, peranan, dan fungsi pembangunan ekonomi maritim. Pada bab ini dipaparkan mengenai pengertian pembangunan ekonomi maritim adalah kajian yang mempelajari bahasan tentang peningkatan kapasitas produksi untuk melakukan pembangunan laut, sebagai media atau arena pembangunan, sebagai tempat dilakukannya  pembangunan. Orientasi bahasanya lebih banyak ke arah pembangunan di perairan atau laut daripada ke arah daratan.
Menurut Rahardjo Adisasmita, konsep pembangunan yang lebih tepat diterapkan untuk Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah yang sangat luas, adalah konsep pembangunan ekonomi arhipelago (Archipelogic Economy). Archipelago berarti kenusantaraan. Kenusantaraan berarti suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari daratan dan perairan, atau pulau-pulau dan laut. Jadi Ekonomi Archipelago diartikan sebagai pembangunan ekonomi yang diorientasikan ke arah daratan (landward development) dan ke arah laut (seaward development) secara bersama-sama. Menurut hasil pengkajian secara koseptual, dapat dikatakan bahwa Ekonomi Archipelago ternyata lebih luas dibandingkan dengan Ekonomi Kepulauan, Ekonomi Kelautan, dan Ekonomi Maritim, karena pendekatannya yang lebih komprehensif, yaitu serentak, serempak, simultan, dan proporsional, dan sasaran pembangunannya yang diorientasikan ke arah darat sekaligus diorientasikan pula ke arah perairan/laut.
Pembahasan bab-bab selanjutnya adalah mengenai peranan dan fungsi pembangunan ekonomi maritim. Pembangunan ekonomi maritim memiliki peranan yang sangat penting, antara lain sebagai berikut :
·                     Merupakan wadah atau arena (media) kegiatan penangkapan ikan dan hasil-hasil laut lainnya, yang dilakukan oleh kelompok nelayan, yang menggunakan perahu penangkap ikan, kapal motor penangkap ikan, bagang, jaring ikan, pancing (kail) dan lainnya.
·                     Melayani kegiatan transportasi laut menggunakan kapal laut, kapal motor atau perahu layar bermotor untuk mengangkut barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan, dari daerah produksi ke daerah pemasara yang tersebar letaknya.
·                     Melayani kegiatan perdagangan antar pulau, melayani pengiriman komoditas hasil pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan) dan barang manufaktur dari pelabuhan di daerah produksi ke pelabuhan-pelabuhan di daerah konsumsi.
·                     Kegiatan pembangunan sektor maritim sangat luas, meliputi berbagai sektor usaha (yaitu pelayaran antar pelabuhan, perdagangan antar pulau (antar daerah), kegiatan pelabuhan dan di daerah pelabuhan, kegiatan wisata bahari, dan sebgainya) melibatkan tenaga kerja yang jumlahnya sangat banyak, modal usaha dan investasi yang sangat besar.
 ekonomi maritim adalah sangat penting atau sangat besar dalam perekonomian Indonesia, yang sering dikaitkan dengan volume angkutan barang yang dilakukan melalui laut. Angkutan barang melalui laut mencapai sekitar 75 persen dari totak angkutan barang di Indonesia. Fungsi transportasi maritim (atau sering dikatkan transportasi laut) dapat dibedakan menjadi dua, atau dapat dikelompokan menjadi 2 fungsi utama, yaitu fungsi penunjang dan fungsi pendorong.
Fungsi yang pertama adalah fungsi penunjang, yaitu bahwa transportasi maritim melayani  pengembangan kegiatan kegiatan lain yang menggunakan fasilitas (sarana dan prasarana) transportasi  maritim. Berbagai kegiatan yang menggunakan jasa transportasi maritim, seperti angkutan barang dan manusia, perdagangan (pemasaran) berbagai komoditas hasil bumi dan barang manufaktur antar daerah, dan kegiatan lain yang terkait lainnya.
Adapun fungsi yang kedua adalah fungsi pendorong. Fungsi pendorong maksudnya adalah bahwa transportasi maritim diharapkan dapat membantu membuka keterisolasian daerah-daerah, selain daerah terisolasi meliputi pula daerah terpencil, daerah perbatasan, dan daerah tertinggal. Indonesia  sebagai negara kepulauan terbesar di dunia belum mampu memberdayakan potensi ekonomi maritim. Negeri ini juga belum mampu mentransformasikan sumber kekayaan laut menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Indonesia bagaikan negara raksasa yang masih tidur. 
In­donesia juga memiliki posisi strategis, antar benua yang meng­hubungkan negara-negara ekonomi maju. Posisi geopolitis stra­tegis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai jalur eko­no­­mi. Pasalnya beberapa selat strategis yang merupakan jalur pe­r­­ekonomian dunia berada di wilayah NKRI, yakni, Selat Malaka, Se­­lat Sunda, Selat Lombok, Selat Makassar dan Selat Ombai-Wetar. Po­­tensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan In­do­nesia dalam percaturan politik dan ekonomi antar bangsa.  Se­bagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wi­la­yah laut seluas 5,8 juta km persegi yang terdiri dari wilayah ter­itorial sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km persegi. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km persegi. Dengan cakupan yang demikian besar dan luas, tentu saja maritim Indonesia mengandung keanekaragaman alam laut yang potensial, baik hayati dan nonhayati.
Sehingga, sudah seharusnya sektor kelautan dijadikan sebagai pe­nun­­jang perekonomian negara ini. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sumbangan sektor perikanan ter­hadap produk domestik bruto (PDB) memiliki peranan strategis. Terutama diban­dingkan sektor lain dalam sektor perikanan maupun PDB nasional. Pada tahun 2008 saja tercatat PDB pada subsektor perikanan men­capai angka Rp 136,43 triliun. Nilai ini memberikan kontribusi ter­hadap PDB kelompok pertanian menjadi sekitar 19,13 persen atau kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 2,75 persen. Hingga tri­wulan ke III 2009 PDB perikanan mencapai Rp128,8 triliun atau mem­berikan kontribusi 3,36 persen terhadap PDB tanpa migas dan 3,12 persen terhadap PDB nasional.

Di antaranya, tanaman bahan makanan sebesar Rp347,841 triliun, per­­ikanan Rp136,435 triliun, tanaman perkebunan Rp106,186 tri­liun, pe­ter­nakan Rp82,835 triliun, dan kehutanan Rp32,942 triliun. Ke­mudian hing­ga triwulan III 2009, PDB kelompok pertanian, pe­ter­nakan, ke­hutanan, dan perikanan sebesar Rp654,664 triliun. Dengan rin­cian, ta­naman bahan makanan Rp331,955 triliun, per­ikanan Rp128,808 triliun, tanaman perkebunan Rp84,936 triliun, pe­ter­nakan Rp 76,022 triliun, dan kehutanan Rp 128,808 triliun. Dari je­nis sektor dalam kelompok pertanian, perikanan yang memiliki ke­naikan rata-rata tertinggi sejak tahun 2004–2008 sebesar 27,06 per­sen. Kemudian sektor tanaman bahan makanan 20,66 persen, ta­naman perkebunan 21,22 persen, peternakan 19,87 persen,dan ke­hutanan 18,81 persen.
Catatan ini, semakin menguatkan ang­gapan bahwa sektor maritim sangat potensial dikembangkan se­ba­gai penunjang ekonomi nasio­nal. Tentu saja, sektor kelautan ti­dak hanya menghasilkan produk perikanan. Ironis, sebagai ne­gara kepulauan terbesar di dunia dengan sumber daya alam ber­limpah, perekonomian Indonesia ma­lah semakin terpuruk. Hu­tang negarapun terus menggunung. Jum­lahnya tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp164,4 triliun atau mengambil 13,68 persen dari anggaran belanja negara 2011.
Melambungnya hutang tahun ini disebabkan adanya peningkatan hutang jatuh tempo. Total hutang pemerintah yang membengkak pada Januari 2011 mencapai Rp1.695 triliun atau naik Rp17,13 triliun dibanding akhir 2010. Bila dikonversi ke kurs dolar Amerika Serikat, hutang Indonesia sekitar 187,19 miliar dolar AS. Sementara jika mengacu pada pendapatan kotor negara sebesar Rp6,422 triliun, rasio hutang Indonesia sebesar 26 persen. Jelas ini angka yang tidak kecil. Pertanyaan besar muncul, seberapa besar pemanfaatan sumber kekayaan Indonesia sebagai negara kepulauan bisa menutupi hutang yang menumpuk tersebut? Guna menuju langkah ini diperlukan komitmen yang mengarahkan pe­merintah harus fokus pada perekonomian nasional di bidang ma­ritim. Ini karena Indonesia memiliki potensi pembangunan eko­nomi maritim yang besar dan beragam serta belum sepenuhnya di­kelola. Berbagai sektor dapat dikembangkan dalam upaya me­ma­­jukan dan memakmurkan perekonomian negara, mulai dari pe­rikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan ha­sil perikanan, industri bioteknologi maritim, pertambangan dan ener­gi, pariwisata bahari, angkutan laut, jasa perdagangan, industri ma­­ritim, pembangunan maritim (konstruksi dan rekayasa), benda ber­harga dan warisan budaya (cultural heritage), jasa lingkungan, konser­vasi sampai dengan biodiversitasnya.

Konsenterasi pembangunan perekonomian di bidang maritim di­ha­rapkan dapat mengatasi keterbatasan pengembangan ekonomi ber­­basis daratan dan stagnasi pertumbuhan ekonomi. Terlebih, laut Indonesia memiliki potensi besar yang mampu menghasilkan produk-produk unggulan. Banyak pihak memprediksi, permintaan produk maritim akan te­rus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk dunia. Sehingga, ekonomi maritim diyakini dapat menjadi ung­gulan kom­petitif dalam memecahkan persoalan bangsa. Berdasarkan kajian yang dilakukan Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB dan Badan Perencanaan Pem­ba­ngun­an Nasional dan Puslitbang Oseanologi LIPI pada tahun 1997-1998, Incremental  Capital Output Ratio (ICOR) untuk sektor per­ikanan berkisar antara 2,75-3,95. Ini mengindikasikan subsektor ter­sebut mempunyai prospek cukup baik bagi investasi. Sementara sek­tor pariwisata bahari, merupakan sektor yang paling efisien dan mempunyai resiko paling kecil dalam penanaman modal di­ban­dingkan dengan sub sektor lain. Kajian tersebut merekomendasikan tiga hal yang harus dila­kukan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasio­nal berbasis maritim, yaitu memperbesar dan memperluas di­versifikasi sektor-sektor maritim, memperbanyak investasi de­ngan memberikan stimulus pada sektor-sektor yang mempunyai Incre­mental  Capital Output Ratio  (ICOR) yang relatif rendah (per­ikanan dan pariwisata) serta meningkatkan efisiensi yang men­cakup alokasi usaha optimum berdasarkan jenis usaha, lokasi dan compatibility antar sektor maritim.
Adapun selama ini kontribusi bidang maritim masih didominasi sektor pertambangan, diikuti perikanan dan sektor-sektor lain.  Hal itu mengindikasikan jika sektor tersebut dipisah, maka sub bi­dang yang ada akan memiliki kontribusi signifikan terhadap per­tumbuhan PDB nasional.
Ekonomi Maritim Indonesia Dikuasai Asing
Salah satu potensi perekonomian maritim terbesar yang dimiliki Indonesia adalah sumber minyak bumi dan gas. Sayangnya, In­donesia belum bisa memanfaatkannya secara maksimal. Ironisnya, se­bagian besar sumber-sumber energi tidak terbaharukan ini di­kuasai pihak asing. Padahal sangat jelas, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyebut “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di­dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-be­sar kemakmuran rakyat”. Alih-alih memakmurkan rakyat, mem­bayar hutang negara pun tidak mampu. 

Salah satu contoh sikap pemerintah yang pro terhadap kepen­tingan asing adalah polemik blok Migas West Madura. Sekadar informasi, mulanya saham West Madura dimiliki Pertamina (50 persen), Kodeco (25 persen), dan CNOOC (25 persen). Sebulan menjelang ha­bisnya masa kontrak, Kodeco mengalihkan sebagian sahamnya ke PT Sinergindo Cahaya Harapan dan CNOOC ke Pure Link Ltd, masing-masing sebesar 12,5 persen. Meski bukan pemegang sa­ham mayoritas, selama ini blok West Madura dikelola Kodeco, peru­sahaan minyak asal Korea Selatan.
Sikap pemerintah yang berpihak pada kepentingan perusahaan asing terlihat dari beberapa kebijakannya. Pertama, Pertamina se­jak Mei 2008 telah lima kali meminta kepada pemerintah agar blok West Madura sepenuhnya dikelola BUMN. Sayang, hingga ki­ni pemerintah belum mengabulkan permintaan tersebut. Di sisi lain proses pengalihan saham dari Kodeco dan CNOOC ke PT Sinergindo Citra Harapan (SCH) dan Pure Link Investment Ltd (PLI) hanya berlangsung dalam beberapa hari saja. Itupun tanpa tender yang transparan.
Kedua, porsi saham Pertamina di West Madura adalah yang paling besar. Namun pada kenyataannya yang menjadi pengelola adalah Kodeco dengan kemampuan produksi hanya berada pada level 13-14 ribu bph. Di sisi lain, Pertamina menyatakan sanggup menyedot minyak di ladang itu hingga 30 ribu barel per hari. 

Ketiga, potensi cadangan blok tersebut menurut Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) cukup besar, yakni 22,22 juta barel minyak dan gas sebesar 219,8 BCFG. Jika diasumsikan harga minyak mentah 100 dolar AS per barrel dan gas 4 dolar AS per MMbtu, maka nilai potensi migas blok tersebut dapat mencapai Rp28 triliun. 

Jika blok tersebut dapat diproduksi 30 ribu barel migas perhari, ca­dangan tersebut baru habis selama enam tahun. Setelah dipotong cost recovery 10 dolar AS perbarel, kekayaan yang dapat diraup sekitar Rp4 triliun pertahun. Menyerahkan pengelolaan kepada Kodeco, Pertamina sebagai BUMN tidak mendapat keuntungan sebagai operator. Inilah ironi negara yang kaya migas namun pengelolaannya justru didominasi pihak asing. Padahal Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan yang tak kalah he­batnya dibanding perusahaan asing. Kondisi ini terjadi karena ter­­pasung regulasi yang kapitalistis, khususnya UU Migas No 22/2001, Pertamina disejajarkan dengan perusahaan-perusahan swas­ta termasuk asing. Dalam praktiknya bahkan cenderung di­anak­tirikan. Walhasil kekayaan negara ini tidak dapat dikuasai dan di­manfaatkan secara optimal untuk kepentingan rakyat. Dari aspek sumber daya alam, Indonesia merupakan negara kaya. Tanah subur kaya mineral, lautan kaya ikan, berbagai barang tam­bang strategis, minyak dan gas tertimbun di perut bumi Indonesia. Namun jika dicermati satu-persatu, intervensi dan pe­nguasaan oleh asing masih begitu besar dalam pemanfaatan sumberdaya alat tersebut.  Berdasarkan data Indonesia Energy Statistic 2009, yang dikeluarkan Kementerian ESDM, total cadangan minyak Indonesia mencapai 7,998 MMSTB (million standard tanker barrel). Jumlah ini me­nem­patkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Sementara cadangan gas mencapai 159,63 TSCF (triliun standard cubic feet) atau terbesar ke-11 dunia. 
Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ke-15 dunia. Per 2009 cadangan batubara mencapai 126 miliar ton. Indonesia juga kaya dengan energi panas bumi (geotermal) yang tersebar di berbagai penjuru nusantara, potensinya mencapai 28,1 GW. Barang tambang seperti nikel, emas, perak, timah, tembaga dan biji besi juga jumlahnya sangat melimpah. Bahkan Indonesia diketahui memiliki kualitas nikel terbaik di dunia. Namun, kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati ne­gara lain ketimbang penduduk Indonesia. Berdasarkan Neraca Energi 2009 dari 346 juta barrel minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri, 38 persen diekspor ke luar negeri. Ironisnya pada saat yang sama Indonesia harus mengimpor minyak mentah 129 juta BOE, atau 35 persen dari total produksi dalam negeri. Ini terjadi karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai swasta terma­suk asing. Di sisi lain, rakyat terus dibuat sengsara akibat harga minyak dinaikkan agar sesuai dengan standar internasional.
Demikian pula dengan gas alam Indonesia. Produksinya dimonopoli swasta asing. Sebagian besar hasilnya dijual ke luar negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari total produksi 459 juta BOE (barrel of oil equivalent) pada 2009, hampir 60 persen diekspor ke luar negeri yang terdiri dari gas alam (12 persen) dan dalam bentuk LNG 48 persen. Sisanya dibagi-bagi untuk industri (19 persen), PLN (10 persen) dan lain-lain.  Padahal, dengan jumlah tersebut, kebutuhan domestik sangat tidak memadai. Sejumlah industri menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama juga dialami PLN. Akibat kekurangan gas, PLN terpaksa menggunakan minyak yang biaya produksinya jauh lebih mahal. Negeri ini amat kaya, namun perut penduduknya kelaparan. Ibarat anak ayam mati di lumbung padi.
Industri dan Jasa Maritim
Sebagai negara maritim terbesar di dunia sudah seharusnya Indo­ne­sia menjadi bangsa yang makmur dan disegani. Namun, ke­nya­taan­­nya dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah, ne­ga­­ra ini seakan tak berdaya. Apalagi di bidang industri maritim, ro­­da perekonomian Indonesia lumpuh terpenjara oleh kepentingan asing. Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km persegi, ter­diri dari 0,3 juta km persegi perairan teritorial, 2,8 juta km persegi perairan pedalaman dan kepulauan 2,7 juta km persegi Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), serta dikelilingi lebih dari 17.504 pulau, me­nyimpan kekayaan yang luar biasa. Jika dikelola dengan baik, po­tensi kelautan Indonesia diperkirakan dapat memberikan peng­hasilan lebih dari 100 miliar dolar AS per tahun. Namun yang di­kem­bangkan kurang dari 10 persen.
Melihat besarnya potensi laut nusantara, sudah seharusnya Indonesia mem­punyai infrastruktur maritim kuat, seperti, pelabuhan yang lengkap dan modern; sumber daya manusia (SDM) di bidang ma­ritim yang berkualitas; serta kapal berkelas, mulai untuk jasa pe­ngangkutan manusia, barang, migas, kapal penangkap ikan sampai dengan armada TNI Angkatan Laut (AL).  Namun, kondisi ideal tersebut sulit tercapai. Hal ini terjadi karena industri maritim Indonesia tidak dikelola dengan benar. Sehingga tak satu pun negara yang segan dan menghormati Indonesia sebagai bangsa maritim. Negara asing menempatkan bangsa Indonesia sebagai pasar produk mereka. Ironisnya, pemerintah hanya berdiam diri tanpa melakukan langkah perbaikan.
Padahal, kedepan industri kelautan Indonesia akan semakin stra­tegis, seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini terlihat 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun. Potensi ini dimanfaatkan Singapura, dengan membangun pelabuhan pusat pemindahan (transhipment) kapal-kapal perdagangan dunia. Negara yang luasnya hanya 692.7 km persegi, dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu telah menjadi pusat jasa transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan ekspor barang dan komoditas Indonesia 70 persen melalui Singapura.
Selama ini sudah menjadi rahasia umum bila industri dan jasa maritim Indonesia berada di bawah kendali Singapura. Lihat saja sebagian kapal yang berlayar menghubungkan antar pulau sebagian besar menggunakan bendera negeri The Red Dot, khususnya kapal yang memuat barang-barang terkait dengan berbagai macam industri.

Sebagai contoh industri perkapalan yang bertebaran di beberapa tempat di Kepulauan Riau, khususnya di pulau Batam dan beberapa pulau sekitarnya, termasuk pulau Karimun. Di sana terdapat inves­tasi bidang perkapalan dan mayoritas pelakunya berasal dari negeri yang sangat takut terhadap KKO/Marinir Indonesia. Pertanyaannya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Tidak sulit un­tuk menjawabnya yaitu bisa jadi karena ada pembiaran dari pem­buat ke­bijakan di bidang investasi. Bisa pula karena para pembuat ke­bijakan di negeri ini tidak paham strategisnya dunia maritim ba­gi Indonesia. Tersiar kabar pula, ada agen-agen dari Singapura di beberapa tempat strategis yang siap memotong bila ada kebija­kan maritim yang menguntungkan Indonesia atau sebaliknya merugi­kan negeri tersebut. Keadaan semakin rumit karena sebagian indus­tri perkapalan di dalam negeri masih harus berurusan dengan Singapura.  Mengenai pembangunan kapal misalnya, seperti propeler, sistem pendorong, radar dan lain sebagainya, pabrikan subsistem tersebut terkadang tidak mau galangan Indonesia berhubungan langsung dengan kantor pusat mereka di Eropa atau Amerika. Tapi, harus me­lewati perwakilan regional mereka yang berada di negeri pencuri pa­sir itu. Pertanyaan besar muncul, kapan bangsa Indonesia sadar akan hal ini dan bertindak memutus rantai pengendalian negeri kecil tersebut?
Penghambat Industri Maritim
Di sisi lain, banyak faktor yang menghambat pembangunan in­dus­­tri maritim nasional. Pertama, sistem finansial. Kebijakan sek­­tor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia, yang se­ba­gian be­sar keuntungannya diperoleh dari penempatan dana di Ser­tifikat Bank Indonesia (SBI), untuk pembiayaan industri ma­ri­tim sangat ti­dak mendukung. Ini karena bunga pinjaman sangat ting­gi. Berkisar antara 11-12 persen per tahun dengan 100 persen ko­lateral (senilai pinjaman). 
Bandingkan dengan sistem perbankan Singapura yang hanya me­nge­nakan bunga dua persen+LIBOR dua persen (total se­ki­tar 4 persen) per tahun. Equity-nya hanya 25 persen sudah bi­sa mendapatkan pinjaman tanpa kolateral terpisah. Sebagai con­toh bagi pengusaha kapal, kapal yang dibelinya bisa menjadi jaminan. Tidak heran, jika pengusaha nasional kesulitan mencari pembiayaan untuk mem­beli kapal, baik baru maupun bekas mela­lui sistem perbankan Indonesia.
Kedua, sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan Atas Im­por dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Pe­­nyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun, semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16, tentang Pajak Per­­tambahan Nilai yang terhutang pada impor atau pada saat per­­olehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan. Artinya, kebijakan tersebut banci. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum 5 tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen dari harga penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea masuk 5 persen). Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung rugi berkepanjangan mereka ha­rus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus membayar pajak ter­hutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika demikian, in­dus­tri maritim negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang dianut. Sebaliknya, di Singapura pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas 20 juta dolar AS. Mereka sadar bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura juga membebaskan pajaknya. Pemerintahan di negara maju telah berpikir meski penerimaan pa­jak menurun, tetapi penerimaan dari sektor lain akan bertambah. Mi­salnya, semakin banyak tenaga kerja asing tinggal dan bekerja pada akhirnya akan banyak uang yang dibelanjakan di negara ter­sebut. Selain itu, transaksi perbankan biasanya akan semakin ba­nyak, sehingga pendapatan negara akan meningkat. Ini adalah pola pi­kir dan langkah pemerintahan yang dikelola oleh negarawan cerdas.
Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebab­kan biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia sepertiga gaji dari tenaga kerja asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggungjawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100 persen orang Indonesia (sesuai dengan UU No 17/2008 tentang Pe­layaran) sangat tinggi. Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.
Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim di tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), membuat industri maritim Indonesia semakin terpuruk. Semua kapal yang diklasifikasi atau disertifikasi PT BKI, diduga tidak diakui asuransi perkapalan kelas dunia. Kalaupun diakui, pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat mahal. Disinyalir, kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi, PT BKI kurang profesional. Penilaiannya diragukan semua pihak. Patut diduga PT BKI masih menganut pemahaman  dengan uang pelicin semuanya beres. Sebab itu, sebagian pemilik kapal memilih tidak meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di Hongkong, Malaysia atau Singapura. Akibatnya pelaksanaan UU No 17/2008 hanya retorika. Karena mereka menganggap klasifikasi yang dike­luarkan PT BKI sebuah ‘pepesan kosong’ yang diragukan in­dustri maritim global. 
Jika industri maritim Indonesia mau berkembang dan siap ber­saing dengan industri sejenisnya, maka pemerintah khususnya Ke­menterian Perhubungan, Kementerian Pendidikan Nasional, Ke­menterian BUMN dan Kementerian Keuangan harus membuka mata dan jangan mau dipengaruhi para pelobi yang mewakili pi­hak-pihak pencari keuntungan, tanpa memikirkan nasib bangsa. Lang­kah pertama, me­lakukan revitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif. Kecuali bangsa ini mau menjadi pecundang terus.  Selanjutnya lakukan perombakan total di lingkungan lembaga pem­­beri klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asu­ran­­si kerugian mengakui keberadaannya. Kemudian, susun ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendiknas agar Indonesia mempunyai sumber daya manusia maritim yang ber­kualitas dan bertanggung jawab. Jika tidak industri maritim Indonesia hanya tinggal nama.
Industri Perkapalan
Indonesia dengan perairan yang luas, membutuhkan sarana trans­portasi kapal yang mampu menjangkau pulau-pulau yang jum­lahnya mencapai lebih dari 17.504 pulau. Tidak heran jika kebutuhan industri perkapalan setiap tahun terus meningkat. Sebagai negara ke­pulauan, sudah seharusnya Indonesia mengembangkan industri per­kapalan nasional. Kebijakan ini didukung dengan adanya Inpres No 5/2005 yang intinya bahwa seluruh angkutan laut dalam negeri harus diangkut kapal berbendera Indonesia. Tetapi, permintaan ter­sebut tidak diimbangi dengan kemampuan memproduksi kapal. Industri perkapalan merupakan industri padat karya dan padat modal yang memiliki daya saing tinggi. Karena itu, dukungan pe­­me­rintah sebagai pemegang kewenangan sangat penting. Fak­tor kebijakan moneter dan fiskal, masih sulitnya akses dana perbankan dan tingginya bunga menjadi beban para pelaku usaha. Industri kapal juga diharuskan membayar pajak dua kali lipat. Masalah lain adalah minimnya keterlibatan perbankan. Perbankan enggan menyalurkan kredit kepada industri perkapalan. Mereka beranggapan, industri perkapalan penuh risiko karena kontrol terhadap industri ini sulit.
Selain itu, masalah lahan yang digunakan industri perkapalan ter­­­utama galangan kapal besar berada di daerah kerja pelabuhan dan hak pengelolaan lahan (HPL) dikuasai PT Pelindo. Sehingga In­­dustri perkapalan masih sangat tergantung pada HPL. Padahal, jika ada  keleluasaan lahan di pelabuhan bukan tidak mungkin in­dustri ka­pal lebih berkembang. Dalam pengembangan jasa maritim hen­daknya diarahkan untuk me­raih  empat tujuan secara seimbang, yak­ni: (1) pertumbuhan eko­no­mi tinggi secara berkelanjutan dengan industri dan jasa ma­ritim sebagai salah satu penggerak utama (prime mover); (2) pe­ning­katan kesejahteraan seluruh pelaku usaha, khususnya para pe­­mangku kepentingan yang terkait industri dan jasa maritim; (3) ter­peliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya maritim; dan (4) menjadikan industri dan jasa maritim sebagai salah satu mo­dal bagi pembangunan maritim nasional. Sehingga, ada benang me­rah yang dapat terlihat antara ocean policy dan pengelolaan sumber daya maritim dengan industri dan jasa maritim sebagai penggerak bagi pertumbuhan sektor maritim. Pertumbuhan industri perkapalan dan pelayaran nasional masih terkendala berbagai faktor, baik dari sisi politik maupun pendanaan. Dukungan politik bersumber dari political will  pemerintah dan lembaga DPR melalui regulasi seperti  kewajiban menggunakan produk dalam negeri serta kemudahan perbankan nasional melalui bantuan pembiayaan industri pekapalan. Selama ini perbankan tidak mau ambil resiko  terhadap bisnis ini, padahal bisnis industri perkapalan sa­ngat jelas akan mendorong pertumbuhan ekonomi sektor maritim.  
Produksi industri galangan kapal tahun 2011 ini diprediksi bakal meningkat mencapai 850.000 dead weight ton (DWT). Menurut data Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Per­tahanan Kementerian Perindustrian RI, hingga tahun 2009, kapasitas pro­duksi terpasang industri galangan kapal Indonesia adalah sebesar 650.000 DWT. Peningkatan order ini salah satunya dipicu oleh adanya order pembuatan kapal dari Pertamina. Untuk tahun 2010 saja, Pertamina telah memesan enam unit kapal dari industri galangan kapal dalam negeri. Bahkan, hingga 2015 nanti, Pertamina berencana menambah 35 unit kapal tankernya. Pertamina mengubah paradigma dengan mengurangi kapal sewaan karena pengalaman tahun 2006 lalu saat terjadi bencana tsunami di Aceh. Saat itu kapal sewaan tidak ada yang mau mengantar barang ke lokasi bencana, padahal Pertamina sebagai agent of development pemerintah harus melakukan pengantaran ke daerah manapun di NKRI termasuk di wilayah yang terkena bencana. Pemerintah berupaya mendorong agar industri galangan kapal nasional dapat menikmati pasar di dalam negeri yang terus ber­kem­bang. Terlebih lagi, adanya kebijakan asas cabotage sebenarnya memberi peluang bagi pelaku industri untuk meningkatkan pro­duk­si. Seperti yang diketahui, pada Agustus 2010 empat galangan kapal nasional mendapat kepercayaan untuk membangun lima unit kapal baru milik Pertamina senilai 87,38 juta dolar AS. Kelima kapal baru yang dikerjakan di galangan PT PAL Indonesia, PT DPS, PT DRU dan PT Dumas Tanjung Perak tersebut, masing-masing berukuran 3.500 Long Ton Dead Weight (LTDW), 6.500 LTDW, dan 17.500 LTDW. Pertambahan kapasitas akan dilakukan oleh beberapa perusahaan seperti PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) dan Galangan Brondong Lamongan akan menambah kapasitas sebesar 300 ribu DWT. Saat ini, pembangunan fasilitas galangan kapal baru oleh DPS di Lamongan sudah mencapai 80 persen sehingga akan ada tambahan kapasitas terpasang sebesar 300.000 DWT. Bahkan Galangan Lamongan sudah mampu menampung pesanan kapal Pertamina berukuran 17.500 hingga 30.000 DWT. Di samping itu, PT Samudra Marine Indonesia juga akan menambah kapasitas galangan kapal Banten menjadi sekitar 150 ribu DWT-200 ribu DWT. Saat ini kapasitasnya baru sekitar 100.000 DWT. Galangan kapal lainnya berada di Kepulauan Riau. Sementara itu, PT Dok Perkapalan Koja Bahari (DPKB), ekspansinya akan diarahkan untuk masuk dalam proyek elpiji Blok Masella, dan kemungkinan ka­pasitasnya akan tambah sekitar 300 ribu DWT. Pengerjaannya akan bekerja sama dengan perusahaan Korea Selatan.
Industri Perikanan dan Bioteknologi
Industri perikanan dan bioteknologi diperkirakan memiliki nilai eko­nomi sebesar 82 miliar dolar AS per tahun.  Namun karena pe­merintah belum serius menggarap sub sektor ini (berdasarkan ka­jian PKSPL IPB; 2006), Indonesia diperkirakan  kehilangan potensi pen­dapatan dari produk-produk bioteknologi maritim sekitar 1 mi­liar dolar AS  per tahun. Hal ini disebabkan karena lemahnya aplikasi bioteknologi maritim serta jarangnya pengusaha yang terjun ke sektor tersebut. Padahal berdasarkan inventarisasi Divisi Bioteknologi Kelautan PKSPL IPB, terdapat 35.000 biota laut, sehingga Indonesia mempu­nyai potensi pendapatan miliaran dolar per tahun dari produk-produk bioteknologi. Negara-negara maju yang memiliki sumberdaya maritim terbatas, seperti produk bioteknologi maritim Amerika Serikat, mereka men­dapat pendapatan hingga 4,6 miliar dolar AS, sedangkan Inggris meraup keuntungan dari sektor ini sekitar 2,3 miliar dolar AS. Pemanfaatan industri perikanan dan bioteknologi ini meliputi industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika dan bio-energi. Semua bisa disediakan Indonesia dengan sumber daya alam yang ada.  Adapun produk-produk yang bisa dihasilkan dari hasil rekayasa biota laut antara lain makanan, tablet, salep, suspensi, pasta gigi, cat, tekstil, perekat, karet, film, pelembab, shampo, lotion dan produk wet look. Sebagai contoh, pemanfaatan kurang maksimal yang dilakukan Indonesia adalah rumput laut.  Padahal rumput laut selain sebagai bahan makanan, juga dapat diolah menjadi lebih dari 500 produk komersil. Sayangnya, Nilai ekspor rumput laut Filipina bisa men­capai 700 juta dolar AS, sementara Indonesia hanya 45 juta dolar AS saja. Padahal 65 persen bahan mentah mereka diimpor dari Indonesia termasuk dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.  Artinya,  Indonesia kurang kuat dalam industri end product  ma­ri­tim karena dukungan teknologi serta formulasi yang tertinggal. Indonesia hanya mampu memanfaatkan potensi maritim sebatas ba­han baku. Hal ini antara lain disebabkan tidak padunya strategi pe­­ngelolaan produk. Misalnya, sebagian besar kawasan potensi rum­­put laut ada di Indonesia Timur, namun pabrik-pabriknya jus­tru masih berpusat di Bekasi, Jakarta, Tangerang dan Surabaya. Melihat keterbatasan sumber daya alam daratan, melalui bioteknologi usia pemanfaatan sumber-sumber kehidupan dapat dipertahankan lebih lama. Potensi itu masih berlimpah dan terpendam di dalam laut. Di bidang perikanan juga banyak aspek yang bisa digali lebih lanjut. Konsumsi ikan rata-rata orang Indonesia juga masih berkisar di 2 kilogram per orang per tahun (2002). Bandingkan dengan Jepang dengan rata-rata konsumsi di atas 100 kilogram per orang per tahun.  Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, dalam “Jamil” (2004) pernah memprediksi potensi perikanan Indonesia adalah 32 miliar dolar AS per tahun. Sementara hingga 2000, realisasi ekspor hanya 1,76 miliar dolar AS. Daniel Mohammad Rosyid, dari Institut Teknologi Surabaya (ITS), menggambarkan potensi tuna Indonesia mencapai 25 persen dari total produksi dunia yang mencapai 500.000 ton setahun atau setara 160.000 ton per tahun. Namun realisasi yang ada justru baru ribuan ton saja. Belum lagi praktik illegal fishing ribuan kapal telah merugikan Indonesia  triliunan rupiah setiap tahun dan pemanfaatan tambak yang jauh dari efektif. 
Hal ini menggambarkan masih besarnya peluang pengembangan usaha sekaligus memaparkan betapa Indonesia telah kehilangan miliar­an dolar AS setiap tahun akibat pengelolaan yang belum op­timal, yang harusnya bisa berkontribusi aktif membayar hutang negara dari in­dustri pengolahan ikan, kurangnya bahan baku men­jadi penyebab ti­d­ak berkembangnya industri ini. Utilitas pab­rik yang rata-rata hanya 45 persen. Menjadi masalah karena banyak ha­sil tangkapan ikan yang langsung diekspor ke luar negeri, terutama ke Thailand dan Jepang.  Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No 5/2008 yang melarang eks­por langsung hasil tangkapan perikanan. Peraturan ini, secara otomatis mewajibkan perusahaan asing untuk bermitra dengan pe­rusahaan lokal dalam membangun industri pengolahan di Indonesia. Namun yang menjadi persoalan implementasi Permen ter­sebut tidak ber­jalan sebagaimana mestinya.
Sumber permasalah lainnya adalah penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), oleh pihak asing yang nilainya ditaksir mencapai Rp30 triliun per tahun. Hal ini bisa diatasi bila Indonesia memiliki kapal-kapal tangkapan ikan dengan skala menengah ke atas. Saat ini jum­lah kapal ukuran tersebut hanya tiga persen dari kebutuhan.  Pe­me­rintah harus segera membangun dan memperbaiki infrastruk­tur pe­rikanan dan kelautan yang masih lemah ini. Tanpa upaya itu, sektor perikanan Indonesia akan tertinggal jauh negara lain. Se­bagai contoh, pem­bangunan infrastruktur di Lampung yang merupakan lumbung udang terbesar harus menjadi perhatian se­rius pemerintah. 
Industri Pertahanan
Berbicara mengenai konsep negara maritim tidak lepas dari industri pertahanan. Sebagai negara yang disatukan lautan, Indonesia tidak hanya harus bisa menjaga kedaulatan, tetapi juga melindungi se­luruh kekayaan alam yang dimilikinya. 
Connie Rahakundini Bakrie, Analis Pertahanan Maritim melihat ba­nyak sumber daya alam yang dimiliki Indonesia bisa dimanfaatkan un­­tuk kepentingan industri maritim. Salah satunya adalah baja. Me­nu­rut­nya baja adalah dasar dari industri pertahanan suatu negara. Seperti yang dilakukan negara Taiwan. Mereka membangun indus­tri baja, di se­belahnya dibangun pabrik kapal. Ini strategis karena kapal-kapal besar yang mereka bangun sewaktu-waktu bisa menjadi kapal perang. Dalam tiga menit, mereka mampu membuat satu lempengan baja. Taiwan tercatat sebagai pembuat baja tercepat di dunia. Mereka bisa dengan mudah mendistribusikan baja ke pabrik pembuatan kapal yang ada di sebelahnya. Mereka mengekspor kapal-kapal besar ke luar negeri dengan proses pembuatan hanya butuh waktu 10 minggu. Sehingga Connie menilai industri baja sebagai national security, da­sar dari pembangunan industri militer. Baja menjadi bahan da­sar kapal-kapal perang, termasuk kapal induk milik Amerika. Salah jika bangsa Indonesia menjualnya begitu saja. Sebaiknya po­tensi logam ini diolah dengan baik, untuk mendukung indus­tri maritim nasional. Sebelumnya perlu dimengerti paham penting­nya pertahanan, kita tidak akan pernah sampai semua itu. Kita perlu tentara, guna memprotek kedaulatan, tentara perlu alutista, khu­sus­nya udara dan laut. Alutista harus kita produksi dengan membangun industri baja sebagai dasar dari pembangunan pertahanan kita.
Namun, pihak asing tidak menginginkan Indonesia besar dengan menguasai bahan logam berharga ini. Sebagai bukti banyak industri pertambangan dalam negeri dikuasi pihak asing. Mereka memiliki kepentingan dengan sumber-sumber daya alam dan energi di tanah air. Mereka berusaha dengan berbagai cara menguasai bangsa ini.
Barang Muatan Kapal Tenggelam
Geografis Indonesia yang strategis yakni di antara dua benua,  Asia dan Australia, dan di antara dua samudra Hindia dan Pa­sifik, menjadikan wilayah perairan Indonesia sejak dahulu kala se­bagai jalur lalu lintas pelayaran internasional yang ramai yang meng­hubungkan negara-negara di wilayah Eropa, Afrika, Timur tengah, Asia Selatan dan Asia Timur. Tidak mengherankan wilayah perairan Indonesia dikenal sebagai salah satu wilayah perairan yang dipenuhi ratusan hingga ribuan kapal karam, terutama di jalur pelintasan dan sekitar pusat-pusat perdagangan. Di antara kapal-kapal karam tersebut diperkirakan membawa benda-benda artefak berupa keramik, logam mulia (emas, perak, dan perunggu), batuan berharga dan benda lainnya yang diperkirakan memiliki nilai tinggi, sehingga banyak terjadi  pencurian dan penjualan benda-benda asal kapal tenggelam secara ilegal.  Kapal-kapal karam berikut muatannya yang dikenal sebagai Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) tersebut merupakan aset negara yang sangat berharga, baik ditinjau dari nilai ekonomi maupun nilai sejarah dan budaya, Pemerintah me­lalui Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Ber­harga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (PANNAS BMKT) me­nyelenggarakan pengelolaan BMKT agar kekayaan laut tersebut da­pat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk negara. 
Kegiatan pengelolaan BMKT telah berhasil mengangkat BMKT sebanyak 12 (dua belas) dari beberapa lokasi kapal karam yang se­lanjutnya menjadi prioritas utama PANNAS BMKT untuk pe­manfaatannya, dengan mempertimbangkan kepentingan pelestarian nilai-nilai sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan ekonomi. Bedasarkan data dari Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri menyebutkan bahwa ada sekitar 700 sampai 800 titik harta karun yang potensial untuk diangkat, namun yang teridenfikasi baru 463 titik. Sampai sekarang lebih kurang 46 titik yang sudah diangkat atau sekitar 10 persen. Tapi yang terjual melalui proses pelelangan dengan baik belum ada. Direktur Institute for National Strategic Interest & Development (INSIDe), Muhammad Danial Nafis, mengatakan persoalan BMKT, merupakan persoalan yang sangat kompleks, dan membutuhkan penanganan secara khusus. Aktivitas terhadap kegiatan ini skalanya besar, yaitu meliputi proses penelitian, survei, pengangkatan, sam­pai pada lelang. Untuk itu, kata Nafis, Pemerintah RI perlu membentuk lembaga yang legitimate dan mandiri yang bertanggung jawab lang­­sung kepada presiden dan operasionalnya dibebankan melalui APBN. Lembaga yang terbentuk, tetap melakukan koordinasi de­ngan pejabat-pejabat terkait. 
Selain pengelola BMKT yang masih berbentuk panitia nasional, BMKT juga dikelola oleh perwakilan berbagai instansi. Hal itu akan menyulitkan dalam berkoordinasi. Melanjutkan keterangannya, Na­fis mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tidak memperlihatkan keseriusannya dalam mengelola BMKT. Sehingga bagaimana mau menyelamatkan harta karun yang di­bawah laut apabila di internal mereka saja masih banyak yang harus dibenahi

Selain persoalan tersebut, BMKT juga tidak didasari dengan pe­raturan yang jelas. Menurutnya, Keppres yang sudah ada (Keppres No 107/2000) tidak memberikan aturan secara detil. Padahal, kata dia, jika BMKT itu mampu dikelola dengan baik, maka man­faat yang didapatkan negara sangat besar. Tidak hanya sekadar ke­un­tungan yang bersifat materi yang didapat, tapi juga keuntungan yang sifatnya nonmateri, seperti kebudaayan, pendidikan dan lainnya. Menurutnya, keuntungan yang didapat dari satu kapal saja, mampu menembus angka Rp1 triliun. Maka, tak jarang pencurian barang berharga di dalam laut menjadi incaran para oknum yang tidak bertanggung jawab. Yang sudah banyak di keruk di kawasan Bangka Belitung, dan laut utara Jawa. Karena itu, dia berharap agar pemerintah mampu memberikan ruang gerak dan kepedulian  terhadap BMKT. Wajib ada badan tersendiri yang menangani BMKT dan langsung di bawah presiden serta ada alokasi pendanaan secara jelas. Nafis menambahkan, diperlukan segera revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada termasuk UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya maupun peraturan-peraturan diba­wah­nya yang berhubungan dengan kelangsungan pengelolaan BMKT.
Selain itu, perlu adanya sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang tidak berkomitmen terhadap pemeliharaan warisan budaya de­ngan mengedepankan kepentingan ekonomi. Mengomentari itu, Sekjen PANNAS BMKT, Sudirman Saad mengatakan sesuai Ke­pu­tusan Presiden Nomor 19/2007 tentang Panitia Nasional Pe­ngang­katan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Ka­pal Yang Tenggelam (PANNAS BMKT), disebutkan bahwa salah satu tugas PANNAS BMKT adalah menyelenggarakan koordinasi kegiatan pemantauan, pengawasan, dan  pengendalian atas proses survei, pengangkatan dan pemanfaatan BMKT.  Khusus untuk  menjaga keamanan laut Republik Indonesia, peme­rin­tah telah membentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut yang ang­gotanya lintas sektor di bidang keamanan laut seperti, TNI AL, Polisi Perairan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Ke­lautan dan Perikanan. Pengamanan di laut sendiri, Sudirman Saad mengakui masih sangat terkendala dengan sarana dan pra­sa­­rana pendukung yang tidak seimbang antara luas laut dan jum­lah armada un­tuk pengawasan di laut, khususnya BMKT. Se­hingga, lanjut Sudirman,  perlu dioptimalkan pengawasan yang melibatkan ma­syarakat, khususnya nelayan. Saat ini Ke­menterian Kelautan dan Perikanan telah merintis kelompok pe­ngawas masyarakat (POKWASMAS) di daerah pesisir di ba­wah pembinaan Direktorat Jenderal PSDKP.
Disinggung mengenai kurang optimalnya PANNAS BMKT dalam melakukan penanganan, Sudirman biasa disapa dengan tegas membantahnya. Menurutnya, penanganan BMKT sudah dilakukan serius dengan cara proses perizinan survei dan perizinan pengang­katan harus melalui penilaian tim teknis dan harus disetujui instansi yang terkait. Kemudian telah dimiliki warehouse BMKT untuk penanganan BMKT hasil pengangkatan. 
Tidak hanya itu, Sudirman juga mengakui telah dilakukan pen­distribusian sebagian hasil pengangkatan ke 10 lembaga, khususnya lembaga pendidikan dan penelitian untuk tujuan pengkayaan ko­leksi dan menunjang ilmu pengetahuan. Sudirman mengatakan saat ini kami terus mengoptimalkan, pengawasan dan pengendalian yang didukung dengan sumberdaya yang memadai dari segi sa­rana, prasarana dan SDM. Kemudian pelibatan masyarakat da­lam mengawasi BMKT. Sementara mengenai revisi Keppres No 107/2000, Sudirman me­ngatakan Keppres No 107/2000 sudah me­ngalami dua kali revisi sejak tahun 2007, yaitu Keppres No. 19 Tahun 2007 yang kemudian direvisi menjadi Keppres No 12/2009. Sudirman menambahkan, mengenai penggunaan kata harta karun, menurutnya perlu diklarifikasi, dimana penggunaan istilah harta karun kurang tepat. Mengingat, penggunaan istilah harta karun cenderung dikaitkan dengan aspek ekonomi yang nantinya akan menjadi incaran banyak para pemburu harta karun. Harta karun yang dikelola PANNAS BMKT sendiri merupakan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam yang mengandung aspek sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan ekonomi. Sampai sejauh ini, Sudirman mengakui jika kegiatan pencurian BMKT di pantai Utara Jawa, dikarenakan di perairan tersebut banyak mengandung potensi kapal tenggelam yang mengandung BMKT. Dijelaskan olehnya, bahwa diwilayah perairan utara Jawa tersebut sejak dahulu kala su­dah ramai dilalui kapal-kapal baik dari Cina, Eropa, Spanyol, Portugis, VOC, yang membawa barang-barang berharga untuk kegiatan perdagangan dan pengangkutan dimana merupakan jalur pelayaran yang relatif aman dari keganasan perairan.
Mengenai proses penjualan BMKT itu sendiri, Sudirman me­nga­ta­kan sesuai dengan Keputusan Presiden No 19/2007 Pasal 1 angka 5. Untuk tahap pertama, dilakukan penjualan BMKT Cirebon yang diangkat dari Perairan Laut Jawa, 70 mil utara Cirebon pada koordinat 05o 14’ 55”LS dan 108o 58’ 39” BT, hasil pengangkatan sejak April 2004 sampai Oktober 2005, kurang lebih 271.834 artefak yang sebagian besar berupa keramik, gelas, logam mulia dan batuan berharga dari Abad ke-10 dari Lima Dinasti Cina (The Five Dynasties or Sung Dynasty), Sasanian Empire dan Fatimid Dynasty dari Timur Tengah dan Afrika 
Pelelangan BMKT Cirebon bersifat terbuka, dapat diikuti per­se­orangan atau lembaga baik dari dalam maupun luar negeri yang di­lakukan dalam satu lot dengan harga limit 80 juta dolar AS. Peserta le­lang harus menyetor uang jaminan penawaran lelang sebesar 20 per­sen dari harga limit atau 16 juta dolar AS.
Perikanan
Berdasakan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, potensi sum­­berdaya perikanan tangkap 6,4 juta ton per tahun, produksi pe­­rikanan tangkap di laut sekitar 4,7 ton per tahun dari jumlah tang­­kapan yang diperbolehkan maksimum 5,2 juta ton per tahun, se­hingga hanya tersisa 0,5 juta ton per tahun. Produksi Tuna naik 20,17 persen pada 2007, akan tetapi produksi Tuna hanya 4,04 per­sen dari seluruh produksi perikanan tangkap. Jum­lah nelayan (laut dan perairan umum) sebesar 2.755.794 orang, akan tetapi lebih dari 50 persen atau 1.466.666 nelayan berstatus sam­bilan utama dan sambilan tambahan. Jumlah nelayan naik terus, yaitu 2,06 persen pada tahun 2006-2007, sedangkan ikan makin langka. Jumlah RTP/Perusahaan Perikanan Tangkap 958.499 buah, naik 2,60 persen, tetapi sebanyak 811.453 RTP atau 85 persen RTP berskala kecil tanpa perahu, perahu tanpa motor, dan motor tempel. Armada perikanan tangkap di laut sebanyak 590.314 kapal, akan tetapi 94 persen berukuran kurang dari 5 GT dengan SDM berkualitas rendah dan kemampuan produksi rendah. Potensi tambak seluas 1.224.076 ha, akan tetapi realisasi baru seluas 612.530 ha. Potensi budidaya laut seluas 8.363.501 ha, akan tetapi realisasi hanya seluas 74.543 ha. Jumlah industri perikanan lebih dari 17.000 buah, akan tetapi sebagian besar tradisional, berskala mikro dan kecil.
Tenaga kerja budidaya ikan sebanyak 2.916.000 orang, akan tetapi kepemilikan lahan perkapita rendah dan hidupnya memprihatinkan. Industri pengalengan ikan yang terdaftar lebih dari 50 perusahaan, akan tetapi yang berproduksi kurang dari 50 persen dengan kapasitas produksi maksimum sekitar 60 persen. Ekspor produk perikanan 857.783 ton dengan nilai 2.300.000 dolar AS, akan tetapi produksi turun 7,41 persen pada tahun 2006-2007, bahkan volume ekspor udang turun 5,04 persen dan nilainya pun turun 6,06 persen. Sehingga, sudah seharusnya sektor kelautan dijadikan sebagai p­e­nun­jang perekonomian negara ini. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sumbangan sektor perikanan ter­ha­dap Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki peranan strategis. Ter­utama dibandingkan sektor lain dalam sektor perikanan maupun PDB nasional. Tentu saja, sektor kelautan tidak hanya menghasilkan produk perikanan. Menurut pengamat maritim Universitas Dipo­ne­goro (Undip), Sahala Hutabarat, untuk mengembangkan po­ten­si sumber kekayaan laut pemerintah harus memiliki visi maritim. Karena jika potensi sumber kekayaan laut dioptimalkan mampu mensejahterakan masyarakat pesisir. 
Indonesia itu negara kepulauan, artinya laut Indonesia itu lebih luas dari daratannya. Jika laut dimanfaatkan dengan optimal, mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Untuk mengembangkan potensi maritim, pemerintah harus memiliki visi negara maritim yang jelas. Sahala juga mengkritik peran pemerintah yang tidak memiliki konsep visi negara maritim. Seharusnya, kata Sahala, kementerian/lembaga yang terkait kemaritiman harusnya sudah mulai membangun konsep negara maritim. Apabila melihat nasib nelayan kita. Mereka hidup di bawah garis kemiskanan. Jika cuaca buruk, nelayan tidak bisa melaut dan otomatis mereka tidak ada penghasilan.  Sahala mengungkapkan bahwa terdapat 12 kementerian yang terkait dengan kemaritiman dan harus memiliki konsep membangun ne­gara maritime agar dapat mengoptimalkan sumber kekayaan laut, di­antaranya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Per­dagangan, Kementerian Perindustrian, Kementrian Lingkungan, Ke­menterian PU, Kementerian Perhubungan, Menteri Kordinator Kesejahteraan rakyat, dan  Kementerian Koperasi.
Orientasi ekspor pada kebijakan perikanan nasional telah menggerus bahan baku ikan pada akhirnya memaksa perusahaan dan konsumen domestik untuk bergantung pada produk perikanan impor. Hal ini dibuktikan dengan tingginya permintaan izin impor ikan dalam dua bulan terakhir yang mencapai tiga juta ton atau 60 persen da­ri produksi perikanan tangkap nasional. Volume yang sangat be­sar, sehingga dapat dipastikan menghancurkan perekonomian na­sio­nal, khususnya nelayan tradisional. Pemerintah dalam hal ini, me­nu­rut dia Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak perlu mengambil langkah kontraproduktif. 
Inisiatif pertama yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan dan mengamankan kuota kebutuhan ikan nasional, termasuk dengan mempertimbangkan peningkatan konsumsi ikan untuk lima tahun ke depan sehingga kebutuhan domestik akan tetap terjaga. Data Ke­­menterian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan, nilai eks­por hasil perikanan pada periode Januari-Juli 2010 mencapai 1,62 miliar dolar AS atau naik 16,68 persen dibanding periode yang sa­ma pada 2009. Volume ekspor hasil perikanan sebesar 657.793 ton naik 31,95 persen dibanding tahun 2009. Sejumlah komoditas yang nilai ekspornya meningkat antara lain ikan tuna, kepiting dalam ka­leng, rumput laut kering, kepiting beku, mutiara dan udang beku. Bahan baku ikan masih merupakan persoalan yang diminta untuk segera dipenuhi. Saat ini ada 114 Unit Pengolahan Ikan (UPI), de­ngan utilisasi hanya 50 persen akibat kekurangan pasokan ikan, kata siaran pers tersebut. Dalam satu UPI terdiri dari 500-1.000 tenaga kerja dan bila dioptimalkan dapat memenuhi kebutuhan nasional atas ikan olahan, sekaligus menyerap tenaga kerja nasional. Persoalan ini terjadi pula di Industri pengalengan.
Ironi Impor Ikan
Di tengah upaya membangun industrialisasi perikanan dalam ne­geri, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) justru tidak bisa mem­bendung masuknya ikan impor. Bahkan, ikan dalam kemasan pun bebas masuk ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan dijual di pasar-pasar tradisional. Secara teori, apa yang diwacanakan soal industrialisasi sangat ideal. Sah-sah saja jika ada anggapan bah­wa di perairan Indonesia timur potensi ikan tangkapan masih ber­lim­pah, sekalipun tidak ada data pendukung yang menguatkan asum­si tersebut. Kajian stok ikan nasional sudah lama tidak pernah di­la­kukan, sehingga validitas klaim tersebut diragukan. Jika menyimak kajian yang dilakukan Badan Pangan Dunia (FAO), status perikanan dan populasi ikan pelagik-demersal di perairan Indonesia sudah tidak sehat. Fakta yang terjadi, dengan kapal be­sar, nelayan memperluas jangkauan, meningkatkan kapasitas pe­nangkapan, dan menambah jumlah hari melaut, namun hasilnya tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini me­nun­jukkan bagaimana kondisi ikan yang sebenarnya. Kebutuhan konsumsi ikan yang semakin meningkat setiap tahun, maupun pa­sar internasional, juga membuat eksploitasi sektor perikanan ber­langsung secara besar-besaran.
Hasil penelitian yang dilakukan FAO pada 2010 menyebutkan kondisi sumber daya ikan nasional dan dunia saat ini menyusut drastis. Pada 2008, stok ikan laut dunia yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tinggal 15 persen. Sebanyak 53 persen stok ikan sudah dimanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lagi. Sisanya, sudah over-exploited atau stoknya menurun. Gambaran pemanfaatan sumber daya ikan di seluruh perairan Indonesia yang diterbitkan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan pada 2006 menunjukkan hal yang sama. Ti­dak mengherankan jika sering terjadi bentrokan fisik antara ne­layan tradisional dan ABK kapal asing akibat berebut wilayah pe­nangkapan di tengah laut. Tidak hanya itu, konflik antar nelayan tra­disional pun kerap terjadi. Berkaitan dengan industrialisasi, mem­bangun gudang ikan, sebagaimana diusulkan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), di sentra-sentra perikanan tangkap, khu­susnya di Indonesia Timur,ada dua perspektif industrialisasi perikanan. Pertama, industrialisasi perikanan dalam arti sempit, yakni mem­bangun pabrik-pabrik pengolahan ikan, yang tujuannya me­ning­katkan produksi ikan olahan, baik untuk pasar domestik maupun ekspor.  Hal terpenting adalah pertumbuhan produksi terjadi, siapa pun pelakunya dan dari mana pun sumber bahan bakunya. Perspektif ini mirip gaya foot-loose industry yang menjadi ciri industrialisasi di Indonesia selama ini. Kedua, industrialisasi perikanan dalam arti luas, yakni transformasi ke arah perikanan yang bernilai tambah. Tujuannya, meningkatkan nilai tambah produksi perikanan lokal yang dinikmati para pelaku usaha kecil dan menengah. Terpenting adalah transformasi pelaku di hulu ataupun hilir sehingga nelayan dan pembudidaya ikan juga menjadi bagian penting dalam proses ini. Karena itu, industrialisasi tak sekadar membangun pabrik, tetapi lebih pada terciptanya sistem yang menjamin meningkatnya mutu produk perikanan nelayan dan pembudidaya ikan yang bernilai tambah, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Sehingga, industri tak semata teknologi, tetapi orientasi nilai budaya baru. Perspektif ini mirip resources-based industry. Di mana industri terkait dengan sumber daya lokal secara mendalam yang menjamin keberlanjutan produksi. Namun langkah ini terhambat oleh masalah teknis, seperti stok ikan dan pasokan listrik. Gudang ikan kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet dengan biaya Rp1,5 miliar, memerlukan listrik 40 ribu watt, dan biaya operasional Rp20 juta per bulan. Pasokan listrik sebesar itu masih belum tersedia di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bahkan, PLN sendiri  masih kesulitan menerangi permukiman pen­duduk tingkat kecamatan di wilayah timur. Idealnya, gudang pe­nyimpanan dilengkapi freezer selain cold storage. Mesin freezer bisa membekukan ikan hingga minus 40 derajat celcius untuk mem­pertahankan kualitas ikan dan mencegah berkembangbiaknya bak­teri. Proses pembekuan ini mutlak dibutuhkan sebelum ikan di­pindahkan ke cold storage dengan suhu minus 18 derajat celcius sam­bil menunggu dikapalkan.
Biaya lain yang harus dihitung adalah beban transportasi. Untuk men­cukupi kebutuhan bahan olahan industri perikanan di Jawa dan Sumatera, dibutuhkan kapal carrier berukuran 200 gross tonage (GT), mesin minimal 450 PK dengan kapasitas kapal 80-100 ton. Biaya solar (BBM) kapal tersebut sekitar Rp100 juta untuk kebutuhan selama 10 hari melaut trayek pulang-pergi. Biaya gudang dan transportasi sebesar itu menyebabkan harga ikan le­bih mahal, belum termasuk biaya Investasi kapal dan biaya rutin yang ha­rus dikeluarkan, seperti menggaji ABK dan biaya perawatan ka­pal. Se­mentara masalah pada budidaya ikan, industri tambak harus me­ngeluarkan biaya ekstra agar bisa bertahan. Untuk menyiasati pe­nyakit dan virus yang merebak akibat kontaminasi zat kimia dari kon­sentrat pakan, lahan tambak harus dilapisi terpal plastik. Air laut yang sarat pencemaran untuk bahan baku tambak udang, bandeng, atau kerapu lumpur memerlukan perawatan khusus pula agar ikan tetap sehat.
Tidak hanya itu, mereka juga dihadapkan persoalan melambungnya harga pakan. Sebaliknya, industri pengolahan pakan juga mem­punyai risiko lebih tinggi akibat kenaikan tarif listrik, mahalnya bahan baku, dan tuntutan peningkatan kesejahteraan karyawan. Jika pemerintah mampu menurunkan harga pakan hingga 40 per­sen atau menciptakan pakan alternatif (organik), budidaya udang dengan sendirinya tumbuh subur. Pengusaha budi daya laut akan tertolong untuk mengembangkan usahanya. Atas kondisi ini se­harusnya pemerintah Indonesia malu. Sebagai negara kepulauan terbesar yang memiliki potensi perikanan berlimpah, justru meng­im­por ikan. Malaysia, walau menganut negara daratan, mereka mam­pu mengekspor ikan kerapu ke Hong Kong dengan harga lebih murah. Padahal, bibitnya diimpor dari Indonesia. Bahkan, mampu menyuplai ikan lele ke Batam dengan harga Rp9.000 perkilogram, sedangkan lele lokal dijual di atas Rp10 ribu perkilogram.





Krisis Ikan Mengancam
Sebagai negara maritim Indonesia semestinya menjadi penghasil ko­­mo­ditas ikan yang diperhitungkan. Namun, yang terjadi justru se­­balik­nya, negara ini terancam krisis ikan. World Wide Fund for Na­ture (WWF) Indonesia melihat potensi paceklik sumber daya ikan di laut Indonesia semakin tinggi. Indikasinya terlihat dari ke­tidak­tersedian ikan yang diekspor, sementara permintaan ikan dari im­portir luar negeri semakin meningkat. Jika hal ini dibiarkan, be­be­rapa tahun ke depan masyarakat hanya bisa makan sup plankton. WWF merujuk pada penurunan tangkapan ikan di perairan Ka­bupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Lokasi ter­sebut meru­pakan salah satu tempat penangkapan ikan Tuna di Indonesia, khu­susnya jenis tuna sirip kuning (yellowfin–Thunnus albacares).
Berdasarkan data dari 15 koordinator penerimaan potongan (loin) ikan tuna pada 2008-2011 terjadi penurunan hasil tangkapan. Pada 2008 jumlah tuna yang ditangkap rata-rata 4,73 ekor per armada. Pada 2009, 4,61 ekor per armada. Pada 2010 hanya 4,29 ekor per ar­mada, dan pada 2011 jumlah tangkapan semakin berkurang men­jadi 3,30 ekor per armada. Dari evaluasi WWF, kondisi tersebut disebabkan kurangnya penge­tahuan masyarakat mengenai pentingnya menjaga ekosistem laut dalam menangkap ikan. Nelayan sering menangkap ikan berukuran kecil sehingga ikan tidak bisa berkembang biak dan lama kelamaan jumlahnya terus berkurang. WWF pun meluncurkan buku panduan mengenai cara menangkap ikan yang benar, cara menangani hewan hasil tangkapan sampingan, dan bagaimana cara mengolah ikan agar bisa dipasarkan baik ke pasar lokal maupun internasional.
Perusahaan importir asal Belanda, Anova Asia melihat kekurangan bahan baku di Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi hal yang sangat disayangkan. Padahal, pasar internasional sedang ba­gus. Permintaan ikan tuna terbesar datang dari Amerika, Jepang, dan Eropa. Saat ini Indonesia sedang dilirik pasar dunia karena diang­gap sangat potensial menjadi negara pengekspor ikan. Sebagai importir, Anova Asia berharap nelayan dan pengusaha lebih memahami pentingnya menjaga kelestarian komoditas pe­rikanan. Karena ada ratusan ribu pelaku usaha nelayan yang akan menganggur jika Indonesia tidak bisa menghasilkan ikan. Krisis ikan diperkirakan akan mulai dirasakan Indonesia pada 2014. Tahun itu kekurangtersediaan ikan mencapai 11,15 juta ton. Ini akibat meningkatnya konsumsi ikan, tetapi tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi dan perlindungan pasar dalam negeri. Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim melihat data itu dari rencana strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2010-2014. Mereka memproyeksikan pro­duksi ikan nasional tangkap ataupun budidaya, sebesar 22,54 juta ton. Sementara kebutuhan ikan nasional 33,68 juta ton, dengan asum­si konsumsi ikan 38,67 kilogram per kapita sehingga terjadi defisit ikan 11,15 juta ton.
Diperkirakan pada 2014 ada 18 provinsi yang defisit pasokan ikan. Jawa Barat misalnya, produksi ikan 1,63 juta ton, sedangkan kebutuhannya 4,06 juta ton, sehingga defisit 2,43 juta ton ikan. Di lain pihak, sebanyak 15 provinsi kelebihan produksi ikan. Provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawasi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Maluku, Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Maluku Utara, Sumatera Barat, dan Papua Barat. Di sisi lain, beberapa pihak melihat kekurangan pasokan ikan untuk konsumsi dalam negeri semakin parah karena orientasi produksi perikanan untuk ekspor. Padahal, impor perikanan terus naik. Pada triwulan pertama tahun 2010, impor produk perikanan 77 juta dolar AS, atau naik 32 persen dibandingkan 2009, yakni 58 juta dolar AS. 
Peran pemerintah juga diperlukan untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan ikan di dalam negeri. Diperlukan pemetaan produksi dan pemasaran produk nasional, selain menata distribusi produk perikanan antar pulau dan menyediakan infrastruktur perdagangan produk ikan antar pulau. Pemerintah juga perlu memperkuat nelayan dan pengusaha perikanan agar mereka melebarkan wilayah tangkapannya ke wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas. Selain itu, ada jaminan pemasaran produk perikanan ke luar negeri hanya apabila produksi dan pasokan di dalam negeri mencukupi kebutuhan nasional. Ocean Watch Indonesia (OWI) bahkan meminta pemerintah mem­per­ketat regulasi ekspor-impor dan memprioritaskan keamanan konsumsi nasional. Saat ini daya saing nelayan Indonesia relatif ren­dah. Sekitar 90 persen nelayan menggunakan kapal kecil berbobot mati di bawah 30 gross ton (GT). Selain itu, perikanan budidaya ter­kendala permodalan dan mahalnya harga pakan. Direktorat Pemasaran Luar Negeri KKP tidak bisa menutup mata dengan kondisi yang ada. Mereka melihat hal ini terjadi karena ke­bijakan pemerintah. Di mana negara maju menyubsidi sektor pe­rikanannya sehingga produk perikanan mereka menjadi murah. Data World Trade Report (2010) menyebutkan, China menyubsidi sektor perikanannya hingga 4,13 miliar dolar AS. Sebaliknya, pe­merintah Indonesia justru menghapus subsidi bahan bakar minyak untuk kapal nelayan berbobot lebih dari 60 GT. Ironis sekali.
Zona Ekonomi Eksklusif
Berdasarkan konvensi hukum laut 1982, wilayah perairan Indonesia meliputi kawasan seluas 3,1 juta meter persegi terdiri atas perairan, kepulauan seluas 2,8 juta km persegi dan laut sekitar 0,3 juta km persegi Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas berbagai sumber kekayaan alam serta berbagai kepentingan yang melekat pada ZEE seluas 2,7 juta km persegi dan hak partisipasi dalam pengelolaan kekayaan alam di laut lepas diluar 200 mil ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut perairan internasional di luar landas kontinen. Tertuang dalam pasal  192-237 UNCLOS membebankan kewajiban bagi setiap negara pantai untuk mengelola dan melestarikan sumber daya laut mereka. 
Pada 2005 muncul gagasan dari Dewan Maritime Indonesia untuk mem­bentuk Badan Penataan Batas Wilayah dan Zona Eko­nomi Eks­klusif  Indonesia yang bertujuan untuk mempertegas ke­dulatan Negara dan meningkatan keamanan laut. Diketahui Zona Ekonomi Eks­klusif Indonesia adalah daerah di luar Laut Teritorial Indonesia se­bagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-undang No 4/1960 ten­­tang Perairan Indonesia, cakupan yang meluas sampai 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar Laut Teritorial Indonesia diukur.  Di Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia mem­ber­­lakukan hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, pe­ngelolaan dan pelestarian hidup dan sumber daya alam yang tidak hidup dari tanah dan sub-dasar laut dan perairan dan hak-hak kedaulatan berkenaan dengan kegiatan lain untuk eksplorasi ekonomi dan eksploitasi zona, seperti produksi energi dari arus air, dan angin, dan dari segi yuridis yaitu pembentukan dan penggunaan buatan, instalasi pulau dan struktur, penelitian ilmiah kelautan, pelestarian lingkungan laut, dan hak-hak lain berdasarkan hukum internasional.
Hak berdaulat Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 deklarasi ini, Pemerintah, sehubungan dengan dasar laut dan la­pis­an tanah, terus melaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan di Indonesia tentang Perairan Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia, perjanjian internasional dan hukum internasional.
 Dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, kebebasan na­vigasi dan penerbangan dan peletakan sub-kabel laut dan pipa akan terus diakui sesuai dengan prinsip-prinsip baru hukum in­ter­nasional laut. Lalu berikutnya yaitu dimana garis batas ZEE Indo­nesia menimbulkan masalah batas dengan negara berdekatan atau sebaliknya, Pemerintah Indonesia siap, pada waktu yang tepat untuk masuk ke dalam perundingan dengan negara yang bersangkutan dengan maksud untuk mencapai kesepakatan.
Pakar Hukum Laut, Prof Hasjim Djalal mengaku sedih dengan konsep ZEE Indonesia yang tidak berjalan maksimal. Bagaimana ti­dak, dengan posisi strategisnya, Indonesia dianugerahi 17.504 pulau, panjang garis pantai 81.000 km persegi, dua pertiga luas wilayah terdiri dari laut, ditambah dengan wilayah yang berbatasan dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor Leste, Indonesia belum mampu memaksimalkan konsep ZEE. Padahal dengan melihat lokasi Indonesia yang cukup strategis maka ZEE menjadi sangat penting dan  sangat disayangkan jika ZEE kita terbengkalai.
Konsep ZEE mampu memberikan berbagai keuntungan. Misalnya, jika ZEE mampu diterapkan dengan baik, maka keuntungan ekonomi akan mengikutinya karena sumber daya perikanan dan lainnya di daerah tersebut sangat melimpah. Selain itu, keuntungan politis juga bakal diperoleh pemerintah Indonesia, misalnya, hasil exercise penetapan garis batas ZEE di Selat Malaka dapat digunakan sebagai dokumen teknis dalam perundingan batas ZEE di Selat Malaka dan apabila hasil penetapan dipakai sebagai klaim unilateral garis batas ZEE Indonesia di Selat Malaka maka dapat dipakai sebagai batas operasional kapal-kapal TNI AL dalam penegakkan hak berdaulat NKRI di Selat Malaka.
Diketahui, Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut territorial. Zona batas luas tidak boleh melebihi 200 mil dari bibir pantai. Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil akan memberikan 36 persen dari seluruh total area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil yang diberikan menampilkan sekitar 90 persen dari seluruh simpanan ikan komersial, 87 persen dari simpanan minyak dunia, dan 10 persen simpanan mangan. Melanjutkan keterangannya, Prof Hasjim mengatakan ZEE wajib dimasukan dan diberdayakan  dalam bagian perencanaan pe­ngelolaan sumber daya manusia, teknologi dan infrastuktur di­mana semua itu perlu disokong anggaran yang memadai. Tentu­nya kemampuan anggaran yang harus ditingkatkan, baik untukKementerian Keluatan dan Perikanan (KKP), maupun untuk pertahanan laut kita. Sementara itu, anggota Komisi IV, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muradi Darmansyah menilai pengelolaan laut menjadi perioritas utamanya. karenanya ZEE perlu mendapat dukungan, agar ekonomi maritim kedepan bisa terkelola optimal. Mengenai hal itu, kelautan akan menjadi prioritas utama ditahun 2011 mendatang, namun memang hal tersebut perlu dilakukan kajian akademis dari perguruan tinggi secara komperhensif. Dalam kacamatanya, pemanfaatan ZEE masih jauh dari harapan, hal itu disebabkan karena kurangnya SDM yang memadai, ditambah minimnya infrastruktur dan teknologi yang tidak sebanding de­ngan luas laut Indonesia.  Ditambah lagi dengan kondisi tapal batas laut Indonesia yang suatu saat bisa berubah, karena patroli yang dilakukan tidak mak­si­mal, serta infrastuktur lainya yang kurang memadai, seperti pem­bangunan mercusuar yang tidak merata. Tidak hanya itu, Muradi juga meminta kepada pihak terkait untuk s­elalu memperbaharui peta-peta Indonesia. Dengan kondisi saat ini mengenai perubahan iklim, bisa saja adanya perubahan iklim tersebut membuat batas-batas laut kita semakin berkurang. Saat ini kita akan mengacu kepada peta lama jamannya kolonial Belanda, se­harusnya ada perubahan peta, dicocokan dengan kondisi saat ini. Jika ini tidak dilakukan maka, negara-negara tetangga bisa saja menjadi mengklaim. Ditanya mengenai apa saja yang perlu ditingkatkan untuk p­e­nguatan ZEE, Muradi mengatakan, Pendidikan menjadi mo­dal utama, dan pemahaman pejabat akan hak-hak yang ada me­nu­rut hukum laut yang berlaku. Tidak hanya itu, penguatan ke­manan juga perlu ditingkatkan, Muradi memberikan contoh ada­nya kasus kapal-kapal patroli banyak yang tidak beroperasi dise­babkan Global Positioning System (GPS) yang rusak karena batrai­nya habis. Ini sesuatu hal yang seharusnya tidak terjadi. Jangan sampai pengawasan tidak berjalan karena disebabkan hal-hal kecil yang sangat tidak perlu.
ZEE dalam Keterbatasan SDM dan Infrastruktur
Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Se­mentara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang ber­kembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas yurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III. Namun dalam pengembangannya tidak begitu maksimal, karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), Infrastruktur dan Iptek yang dianggap sebagai faktor utama, sehingga dengan mudahnya negara-negara yang berbatasan lang­sung dengan Indonesia masuk kewilayah kedaulatan Indonesia secara bebas.
Pengamat dari Sekolah Tinggi Ilmu Maritim (STIM), Diah S. Koesdinar mengatakan suatu pengelolaan wilayah laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) pertama-tama harus mengedepankan kedaulatan negara untuk dimanfaatkan sebagai cara memakmurkan dan mensejahterakan rakyat dan negara. Tanpa adanya kedaulatan, satu negara tidak ada artinya. Secara prinsip ZEE sudah mencakup berbagai unsur yang meliputi pertahanan negara, pengelolaan sumber daya laut dan pengakuan secara internasional walaupun masih terbatas.
Namun mengingat luasnya wilayah laut ZEE Indonesia dan adanya overlap dengan ZEE negara lain, maka perlu adanya tindakan tegas pemerintah Indonesia dalam menetapkan garis batas ZEE dengan negara-negara yang berbatasan dengan NKRI. “Penetapan batas ZEE ini harus diupayakan dengan aktif dan berkesinambungan untuk menghindari potensi masalah di kemudian hari dengan berbagai negara. Untuk dapat melakukan hal itu, Indonesia dapat melibatkan pakar dalam bidang masing-masing agar dapat membuahkan strategi pengelolaan yang tepat dan bermanfaat bagi Indonesia.
Bicara mengenai SDM, harus diakui tidak mudah mengelola wilayah laut NKRI yang luas dengan dana terbatas dan koordinasi terpadu dari berbagai instansi pemerintah terkait yang belum efektif. Namun pemerintah harus melihat bahwa pembangunan kelautan adalah satu kesatuan dengan pembangunan negara. SDM, infrastruktur dan Iptek yang ada harus dikembangkan dan dibuat lebih efektif dengan master plan jangka panjang yang jelas. Indonesia harus bisa berkonsolidasi dari dalam agar kuat menghadapi ‘serangan’ dari luar dan bisa terus mempertahankan kedaulatan NKRI. Peng­gunaan teknologi yang maju dan canggih dan data satelit yang bisa diakses akan dapat memudahkan penentuan batas-ba­tas yang akurat. Pemanfaatan teknologi ko­munikasi lainnya juga dapat memonitor pengelolaan ZEE secara real time.
Indonesia harus berkomitmen dalam pengembangan kelautan yang m­erupakan bagian penting dalam pembangunan negara secara ke­se­­luruhan. Komitmen berinvestasi tidak hanya diartikan dalam pe­ng­alo­kasian dana, tetapi juga dalam peningkatan SDM dan in­frastruktur didukung Iptek yang maju serta dari segi peraturan per­un­dang-undangan dan penetapan garis batas yang jelas. Faktor terakhir ter­sebut amat penting agar keabsahan penetapan garis batas ZEE tidak ha­­nya diterima sepihak, tetapi juga diakui secara internasional. Iptek yang ada sekarang akan dapat membantu mela­kukan hal itu dengan aku­r­at dan dapat memudahkan komuni­kasi antar negara menjadi lebih mudah dan cepat. Dalam pengelolaan ZEE tersebut, semuanya kembali ke pemerintah apakah upaya yang dilakukan sudah optimal, apakah Indonesia su­dah dengan tegas menerapkan peraturan yang berlaku dan apakah berbagai instansi yang terkait memiliki komitmen yang sama dan sepakat berusaha untuk melakukan yang terbaik. Memang satu pekerjaan rumah yang sangat kompleks dan besar yang tentunya membutuhkan waktu panjang untuk dapat membuahkan hasil. Namun apabila tidak dimulai dengan seksama dan berkesinambungan dari sekarang, Indonesia dan generasi berikutnyalah yang akan merugi. 
ZEE Tanggung Jawab Bersama
Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif  (ZEE) Indonesia diatur dalam Undang-Undang RI No 5/1983. Melalui pertimbangan presiden pada 21 Maret 1980 telah dikeluarkan pengumuman pemerintah RI, tentang ZEE Indonesia, untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan memanfaatkan seluruh sumber daya alam yang ada di dalamnya.
Diatur pula semua kegiatan penelitian ilmiah mengenai kelautan di perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan kepentingan negara. Sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di ZEE Indonesia adalah modal dan milik bersama Bangsa Indonesia sesuai dengan Wawasan Nusantara. Dalam Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga menunjukkan telah diakuinya rezim zona ekonomi eksklusif selebar 200 (dua ratus) mil laut sebagai bagian dari hukum laut internasional yang baru.
Dengan hal tersebut di atas tentunya pengelolaan Zona Ekonomi Eksklusif harus mendapat penanganan serius dari semua pihak yang terkait, Kementerian dan lembaga yang memang dipercaya harus berperan aktif untuk mengembangkan ZEE dan menjadikan kekayaan laut indonesia bisa bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Soe’nan H Purnomo mengatakan konsep ZEE itu tak hanya tugas Kementerian Keluatan dan Perikanan, tapi tugas bersama misalkan, KKP mengenai perikanannya beserta riset kelautan, lalu Kementerian Pertahanan soal pertahanan lautnya. TNI AL, mengenai kemanan lautnya, sementara Kementerian ESDM, bicara mengenai pertambangan, migas dan energi, Kementerian Luar Negeri bicara mengenai batas wilayah, lalu Kementerian PU bicara mengenai kawasan perbatasan. Bicara ZEE, bukan berarti bicara Kementerian Keluatan dan Perikanan, melainkan semua lembaga baik kementerian maupun lembaga lain yang terkait dan semua mempunyai pernan penting.Se­hingga dalam memperkuat ZEE, menurutnya, perlu ada re­strukturisasi disemua lini, termasuk restrukturisasi armada laut, baik untuk segi pertahanan maupun segi pengelolaan ikan, karena sampai saat ini menurut Soe’nan banyak nelayan-nelayan Indonesia yang memang tidak bisa memanfatkan luas laut karena terkendala kapal yang tidak memadai. Hanya beberapa kapal besar yang bisa menjangkau luas laut.  Perlu diakui bahwa saat ini hanya kapal-kapal kecil kita yang hanya berkumpul dilaut yang dekat pantai, untuk wilayah yang jauh hanya beberapa kapal besar, untuk konsep ZEE sendiri memang perlu diperkuat armada-armada yang cukup memadai baik untuk pertahanannya maupun pengelolaan hasil lautnya. Soe’nan pun membantah jika dalam pengelolaan ZEE pihaknya tidak memiliki SDM yang mumpuni. Sebab, 62 persen abknya dibutuhkan oleh perusahaan swasta di negara Jepang. Ini tentunya akan bermanfaat besar bagi pendapatan Indonesia, dan keterampilan bekerja. Selain itu, ini artinya SDM kita benar-benar mumpuni, karena anak-anak muda Jepang memang tidak suka bekerja dilaut, sehingga etos kerja anak-anak muda kita akan terbiasa dengan etos kerja negara Jepang yang penuh disiplin, sehingga SDM kita tentunya tidak akan kalah dengan negara-negara lain.
Program ke depan untuk KKP sendiri, Soe’nan akan mengedepankan in­truksi Presiden yang meminta perkuat ZEE Indonesia, yaitu dengan cara penguatan armada besar, dan penguatan antara lem­baga, dan penguatan ZEE kita baik laut maupun udaranya. 
Sementara itu, Pengamat Kelautan Indonesia, Profesor Sahala Hutabarat me­ngaku jika konsep ZEE Indonesia belum begitu maksimal, baik yang dijalankan oleh KKP dan kementerian lainnya. Sahala menyebutkan, jika lembaga tersebut belum ada koordinasi yang kuat maka, ZEE ini akan sia-sia. 
Potensi devisa di ZEE banyak ‘tercuri’ oleh negara lain baik secara legal maupun illegal, sementara perhatian politik pemerintah atas ZEE memang belum optimal. Menurutnya terlalu banyak ‘pemain’ namun lemah dalam koordinasi, serta kemanan laut masih sangat rawan. Batas wilayah dan Kawasan perbatasan menjadi tidak begitu terkontrol.
Sahala menjelaskan, jika potensi dalam konsep ZEE sendiri se­be­tulnya sangat besar, dan beraneka ragam. Disebutkan ada banyak potensi, pertama Sumber daya non hayati yang didalamnya mencakup Migas, Energi Keluatan dan Sumber Mineral Keluatan. Selain itu terdapat sumber daya hayati dan jasa yang juga di­dalamnya ada industri Bioteknologi kelautan dan pengembangan pulau buatan, lalu yang terakhir potensi sumber daya perikanan. Sehingga sangat tepat jika, penanganan ZEE tidak hanya KKP, melainkan kementerian lain juga turut ikut serta dalam pengelolaan potensi ZEE.  Dewan Maritim Indonesia sendiri, melalui Sekretaris Bidang Sosialisasi, Ir Abdul Alim Salam dalam keterangan tertulisnya mengenai strategi pengelolaan ZEE Indonesia menyebutkan ada beberapa konsep ZEE Indonesia, yang terbagi menjadi dua alternatif, diantaranya alternatif pertama pengelolaan secara terpusat oleh negara. Alternatif kedua yaitu kerjasama pengelolaan dengan negara lain dan juga dengan pe­merintah daerah atau antar sektor.  Alternatif pertama untuk urusan pengawasan pemanfaatan SDA ha­yati dan non hayati, pengamanan laut dan pulau-pulau per­ba­tasan, dan pengurusan wilayah maritim, sementara alternatif ke­dua mempunyai pengertian bahwa di wilayah perbatasan koordinasi bersama untuk penanganan masalah-masalah khusus, seperti keamanan laut, lalu di wilayah teritorial kerjasama penanaman modal dengan swasta asing dan domestik, dan di wilayah ZEEI me­ngenai Special Arrangements dengan negara lain untuk pe­ngelolaan SDA 
Konsep lembaga yang diusulkan oleh Dewan Maritim Indonesia untuk mengelola ZEE ada dua yaitu, lembaga yang ada dengan pertimbangan dan kekuatannya yaitu pertama Unit yang pelaksana sudah mempunyai dukungan administrasistaf dan keuangan dan kedua Optimasi pemanfaatan sumberdaya yang ada. Tentunya terdapat kelemahan yaitu perlu sistem koordinasi yang kuat, lalu sering tidak terhindarkan adanya conflict of interest dan yang ketiga berbagai kelemahan birokrasi yang ada akan tetap melekat.
Dewan Maritim Indonesia juga menilai perlu ada badan khusus yang menangani ZEE, karena kekuatan dari badan khusus sangat optimal, dirancang untuk menangani urusan tertentu kedua mempunyai visi dan misi yang satu, sehingga etos kerja lebih utuh dan padu dalam satu komando. Kelemahannya yaitu dapat menambah birokrasi yang ada apabila tidak dilakukan eliminasi unit kerja di lembaga yang ada. Sebelumnya, meski ketentuan internasional tentang Zona Ekonomi Eksklusif atau UNCLOS 1982 telah diratifikasi dan mulai berlaku pada 1994, 70 persen ZEE Indonesia belum disepakati negara tetangga. Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Sobar Sutisna,  menjelaskan, ZEE yang belum disepakati berada di perbatasan dengan negara Timor Leste, Palau, Filipina, Vietnam, Thailand, dan India. Sejauh ini kesepakatan batas ZEE tercapai dengan pihak Australia dan Papua Niugini. Dalam atau United Nations Convention on the Law of the Sea, ZEE didefinisikan sebagai hak berdaulat atas pengelolaan sumber kekayaan alam pada kolom air.
Selain ZEE, menurut Sobar, yang juga sebagai Ketua Technical Working Group Batas Maritim Indonesia, terdapat dua batas yuridiksi maritim yang belum terselesaikan, yaitu batas laut teritorial dan batas landas kontinen. Meski batas landas kontinen telah ditetapkan berdasarkan Konvensi PBB pada 1958, tetapi proses tersebut belum terselesaikan hingga kini. Untuk landas kontinen sekitar 30 persen yang belum disepakati, yaitu yang berbatasan dengan Filipina, Palau, dan Timor Leste. Selain itu, sampai kini pihak Indonesia belum mencapai kesepakatan tentang batas laut teritorial dengan tiga negara, yaitu Singapura, Malaysia, dan Timor Leste. Panjangnya mencapai 40 persen dari seluruh batas yuridiksi maritim Indonesia. Batas laut teritorial dengan Malaysia yang belum terselesaikan ada di tiga wilayah, yaitu yang berada di Selat Malaka sepanjang 17 mil laut; 12 mil laut di Tanjung Datuk, Kalimantan Barat; dan 18 mil di Sebatik, Kalimantan Timur. Sedangkan dengan Timor Leste, Pemerintah Indonesia belum menyepakati lebih dari 100 mil panjang batas laut teritorial.
Sementara itu, berdasarkan perjanjian pada 1973 tentang batas wilayah antara Singapura-Indonesia telah ditetapkan enam titik pangkal yang berada di sebelah barat hingga timur Pulau Batam. Bila dilihat dari sisi Singapura, titik pangkal itu berada di Sultan Shoul hingga ke timur Singapura atau sebelah barat Changi. Titik-titik ini sudah definit, tidak terpengaruh dengan perluasan wilayah Singapura karena reklamasi.
Bagian yang kini dipermasalahkan adalah ada di bagian barat sepanjang 14 mil. Sedangkan di sebelah timur meliputi garis batas se­pan­jang 28 mil. Pembicaraan penetapan batas wilayah antara Singa­pura dan Indonesia telah dimulai lagi tahun lalu. Pihak Singa­pura ha­nya menyepakati penetapan wilayah barat dan akan dilakukan pem­bahasan lebih lanjut. Untuk pembahasan batas wilayah dengan Singapura, terutama di bagian barat, Indonesia berpegang pada peta yang dibuat tahun 1973. Sedangkan Singapura saat ini meminta dilakukannya survei kembali. Penyelesaian masalah ini diakui tidak dapat ditetapkan target waktunya. Karena harus dicapai kesepakatan kedua belah pihak dan kesiapan negara tetangga. Namun, bila perundingan dengan Singapura tentang batas wilayah tetap buntu, langkah yang mungkin ditempuh Indonesia adalah mengajukannya ke International Tribunal for the Law of the Sea di Hamburg, Jerman. Dalam mahkamah internasional ini bisa salah satu pihak saja yang mengajukan kasusnya.  Di antara perundingan batas wilayah dengan enam negara tetangga, Sobar melihat penetap­an batas wilayah paling cepat dapat terealisasi dengan Filipina, yang telah menyatakan kesediaannya untuk penyelesaian proses ini. Pembicaraan kedua belah pihak untuk penetapan batas wilayah di Laut Sulawesi telah dimulai pada 1994. Sementara itu penetapan batas wilayah dengan Palau belum dapat dilakukan karena Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik dengan negara kecil di Pasifik ini. Saat ini pihak perunding dari Indonesia menunggu persetujuan dari DPR untuk membuka hubungan diplomatik dengan Palau.
Sumber Daya Migas dan Mineral
Laut se lain menjadi sumber pangan juga mengandung beraneka sumber daya energi. Kini,para ahli menaruh perhatian terhadap laut sebagai upaya mencari jawaban terhadap tantangan kekurangan energi di masa mendatang.  Hasil penelitian Richardson pada 2008 menunjukkan bahwa sekitar 70 persen produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam di daratan. Potensi cadangan minyak buminya 11,3 miliar barel dan gas 101,7 triliun kaki kubik. Belum lama ini, ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan biogenik di lepas pantai barat Sumatera, selatan Jawa Barat, dan bagian utara Selat Makassar, dengan potensi melebihi seluruh potensi migas. Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi.  Sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, dan lebih dari se­pa­ruhnya atau sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam. Sementara itu untuk sumberdaya gas bumi, cadangan yang dimiliki Indonesia sampai dengan 1998 mencapai 136,5 Triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan potensi kekayaan tambang dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga, zirconium, nikel, kobalt, biji besi non titanium, vanadium, dan lain sebagainya yang sampai sekarang belum teridentifikasi dengan baik masih  diperlukan teknologi yang maju untuk mengem­bangkan potensi tersebut.
Selain itu, Indonesia dapat memanfaatkan potensi laut sebagai sumber energi listrik. Yaitu, melalui teknologi panas laut, pasang surut, arus laut, angin, gelombang laut serta bioenergi dari ganggang laut. California Energy Commision, misalnya, memperkirakan jum­lah tenaga ombak pecah di dunia dapat menghasilkan 2-3 juta megawatt energi, dimana pada lokasi yang tepat, ombak bisa membangkitkan energi sekitar 65 megawatt per mil panjang pesisir.  Laut juga menyimpan kandungan bahan tambang dan mineral yang bernilai ekonomi tinggi. Sama halnya di daratan, potensi mineral dan tambang terbagi atas tiga kelas sesuai standar indonesia, yaitu A, B, dan C. Yang membedakan adalah masalah teknis eksploitasi dan penambangannya. 
Prof J.A Katili pernah memperkirakan terdapat berjuta-juta ton emas di dasar samudra. Para saintis Jepang di The Japan Marine Science and Technology sudah lama merilis temuan cadangan mineral yang terbesar di dunia yang mengandung emas dan perak, justru terdapat di dasar laut di kedalaman di atas 1.400 meter. Djamil (2004) menuliskan bahwa di dasar laut di lepas pantai Afrika barat daya, khususnya Namibia, perolehan intan mencapai 200.000 karat per tahun, meskipun intan bukan hal umum di lautan. Para peneliti juga sudah mensinyalir adanya timbunan 356 miliar ton mangan dalam bentuk nodul di dasar samudra Pasifik. Jumlah tersebut setara dengan penggunaan mangan di seluruh dunia selama 400.000 tahun. Tentu saja, kemampuan eksplorasi dan pemahaman tentang beragam potensi ini hanya bisa didalami lebih lanjut apabila ada perspektif dan keseriusan mengelola sumber daya kelautan. 
Pariwisata Bahari
Negara bagian Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai 2.100 kilometer, mampu menghasilkan devisa 2 miliar dolar AS dari sektor pariwisata pada tahun 2002. Sementara negara kepulauan Seychelles yang amat kecil di Madagaskar berhasil mendapatkan 70 persen pendapatan nasionalnya dari wisata bahari, dan menyokong GDP per kapita (pada 2000) sebesar 7.700 dolar AS yang jumlahnya berlipat dari Indonesia. Hal ini menimbulkan keirian, mengapa Indonesia yang memilki garis pantai 81.000 km tidak bisa mengembangkan pariwisata ba­hari, walau minimal nilainya mendekati apa yang diperoleh ne­gara bagian Queensland tersebut. 
Berdasarkan perhitungan PKSPL IPB, peningkatan kontribusi pa­riwisata bahari terhadap PDB nasional pada 2005 mencapai 1,46 persen. Angka ini sebenarnya bisa meningkat signifikan.  Ber­dasar­kan kajian ini juga, diperoleh proyeksi bahwa pada 2007 hingga 2010 seharusnya kontribusi pariwisata sektor maritim dapat meningkat hingga 0,1 persen setiap tahun. 
Asumsi utama yang digunakan adalah sumber daya pulau-pulau kecil yang ada di wilayah nusantara.  Bila upaya pengembangan pulau-pulau kecil dilakukan secara serius, seharusnya dapat mendorong pertumbuhan wisatawan asing berkunjung ke Indonesia. Hasil kajian Kusumastanto (2001) menunjukkan, nilai ekonomi satu pulau kecil di Indonesia bila dikembangkan nilainya bisa mencapai 52.809,37 dolar AS perhektar.  Sehingga sangat beralasan bila pemerintah dituntut serius mengembangkan pulau-pulau kecil sebagai specific marine tourism di Indonesia. Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya me­ngembangkan dan memanfaatkan obyek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Apalagi Indonesia memiliki kekayaan alam dan panorama pantainya yang indah dengan gelombang pantai yang menantang dibeberapa tempat serta keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dengan berbagai jenis ikan hias. Sumber daya hayati pesisir dan lautan Indonesia seperti populasi ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang, pa­dang lamun, hutan mangrove dan berbagai bentang alam pe­sisir atau coastal landscape yang unik lainnya membentuk suatu pe­man­dangan alamiah yang begitu menakjubkan.
Kondisi tersebut menjadi daya tarik sangat besar bagi wisatawan sehingga pantas bila dijadikan sebagai sumber perekonomian wisata bahari. Namun potensi wisata bahari Indonesia yang sangat besar, keanekaragaman hayati, kekayaan alam, dan keindahannya terhampar luas. Sayang, aset berharga bumi khatulistiwa ini belum terjamah seluruhnya. Banyak potensi alam surgawi yang terbengkalai. Hamparan pantai beralaskan pasir putih terbentang sepanjang mata memandang. Langit cerah bertemu birunya samudra hingga ke ujung cakrawala. Pohon nyiur melambai-lambai, mengikuti irama angin. Suasana surgawi ini bukanlah fantasi di siang bolong, melainkan gambaran nyata keindahan maritim Nusantara. Indonesia yang memiliki luas laut 75.000 km persegi, dengan panjang garis pantai 81.000 km persegi, ditaburi lebih dari 17.500 pulau, di dalamnya terdapat 950 spesies terumbu karang, 8.500 spesies ikan tropis, 555 spesies rumput laut, dan 18 spesies padang lamun. Namun, semua itu belum termanfaatkan.
Melihat potensi ini, wisata laut Indonesia bisa dikembangkan lebih luas, antara lain wisata bisnis (business tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism), wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olahraga (sport tourism). Jika dimanfaatkan secara maksimal, sumber dana bagi devisa negara akan mengucur. Diperkirakan 25-30 persen devisa pariwisata sebesar 6,3 miliar dolar AS bersumber dari wisata bahari (Data BPS dan Gahawisri 2009). Dalam 10 tahun ke depan kontribusinya diprediksi akan meningkat hingga 50 persen. Asosiasi Biro Perjalanan Wisata mencatat tren wisata akhir tahun secara nasional masih didominasi berbagai destinasi di Indonesia Barat, dengan jumlah sekitar 80 juta pengunjung. Sementara des­tinasi ke wilayah Indonesia Timur diperkirakan hanya 3-4 persen. Kondisi tersebut tidak lepas dari kurangnya promosi wisata di Indo­nesia timur yang kaya potensi wisata maritim. Selain itu, ada per­masalahan minimnya infrastruktur, khususnya transportasi, yang membuat akses terhadap obyek wisata sulit dan mahal.
Sebagai gambaran, biaya transportasi Jakarta-Wakatobi, Sulawesi Teng­gara, dengan pesawat pergi pulang Rp 4 juta-Rp 5 juta per orang dengan transit di Makassar. Baru ada dua maskapai pener­bangan yang melayani rute Makassar-Wakatobi. Begitu juga ke ka­wasan wisata Derawan. Dibutuhkan biaya Rp 4 juta per orang untuk transportasi dua kali naik pesawat ke Balikpapan dan Berau, kemudian disambung dengan kapal cepat. Biaya itu belum termasuk penyewaan alat selam dan penginapan. Promosi juga menjadi kendala utama di Kepulauan Derawan, Ka­bupaten Berau, Kalimantan Timur. Minimnya promosi membuat dae­rah wisata ini kurang bergaung di level nasional. Kepulauan ini terdiri atas pulau utama Derawan, Kakaban, Sangalaki, dan Maratua. Di sana wisatawan dapat menyaksikan penyu hijau (chelonia mydas), ikan pari (manta ray) di Sangalaki, dan sensasi ubur-ubur tanpa sengat di Kakaban. Sementara keindahan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kabupaten yang sebagian besar wilayahnya berstatus taman nasional itu me­rupakan akronim dari empat pulau utama yang membentuknya, yak­ni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Namun, keindahan pe­mandangan ”permukaan” tersebut baru sebagian dari harta karun ke­indahan yang dimiliki Wakatobi. Keistimewaan sesungguhnya terletak di bawah laut yang menyandang julukan sebagai jantung segi tiga karang dunia. Dari data Kementerian Kehutanan, Wakatobi memiliki 25 gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 kilometer. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili hidup di areal seluas 90.000 hektar perairan Wakatobi. Itu menjadi surga bagi pencinta kehidupan bawah laut. Setidaknya ter­dapat 100 tempat lokasi menyelam (diving) kelas diamond yang tersebar di hampir seluruh bagian kepulauan. Snorkeling pun bisa dilakukan dengan mudah di pantai-pantai terdekat. Perairan Wakatobi juga dipenuhi setidaknya 93 spesies ikan hias. Atraksi lumba-lumba di alam bebas bisa dinikmati sepanjang tahun. Pada Agustus-September, migrasi paus dari Australia yang melintasi Wakatobi menjadi pemandangan yang takkan terlupakan. 
12 Kawasan Wisata Bahari Indonesia
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) baru mempetakan 12 kawasan kepulauan di seluruh wilayah Indonesia sebagai destinasi bahari unggulan, termasuk kepulauan Wakatobi dan Derawan. Keduabelas pulau ini masuk dalam rencana pengem­bangan induk (blueprint) wisata bahari pemerintah. Kepulauan Padaido, Biak, Papua Kawasan wisata bahari ini sangat ideal untuk kegiatan diving, wisata cruise. Program pengembangan wisata bahari di kepulauan Padaido, antara lain diversifikasi kegiataan nelayan dengan pe­ngem­bangan wisata memancing menggunakan perahu tradisio­nal nelayan, paket wisata selam di daerah kapal tenggelam, serta pe­ngembangan cruise regional dengan menggunakan kapal pinisi dan sea plane untuk menjangkau pulau-pulau kecil.
Kepulauan Selayar, Takabone Rate, Sulawesi Selatan  Kawasan wisa­ta bahari ini sangat cocok untuk diving, snorkeling, berlayar, dan memancing. Program pengembangan wisata bahari di Kepulauan Selayar adalah sebagai hub wisata cruise internasional, regional, dan cruise kapal tradisional seperti pinisi Nusantara. Pulau Nias dan Kepulauan Mentawai, Sumatera Utara  Kawas­an wisata bahari di Pulau Nias sangat ideal untuk selancar dengan pengem­bangan­nya ekowisata berbasis komunitas serta olahraga se­lancar. Program pengembangan di kawasan ini le­bih fokus pada penganekaragaman daya tarik wisata dengan me­nam­pilkan budaya daerah. 
Kepulauan Raja Ampat, Papua barat Kawasan wisata bahari di kepulauan ini sangat ideal untuk ke­giatan menyelam. Pengem­bangan kawasan wisata bahari di Kepulauan Raja Ampat dengan pola partnership MNC (Multi National Companies) yang melibatkan pelaku industri wisata bahari, pemerintahan daerah dan masyarakat setempat.
Kepulauan Ujung Kulon dan Anak krakatau, Banten Kawasan wisata bahari ini ideal untuk kegiatan diving dan cuise regional dengan tema pengebangannya ekowisata berbasis konser­vasi. Program pengembangan di Kepulauan Ujung Kulon, antara lain pe­ren­canaan tata ruang yang jelas antara konservasi dengan areal pengembangan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Me­nyediakan fasilitas transportasi menuju obyek wisata dengan ke­giatan kapal pinisi dan sea plane untuk menampung wisatawan domestik dari jakarta. Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur  Kawasan wisata bahari ini ideal untuk kegiatan diving dan wisata cruise. Program pengem­bangan di Pulau Komodo adalah wisata cruise regional dengan fasilitas marina dan yacht. Untuk menjangkau pulau-pulau kecil di sekitar­nya perlu disediakan kapal pinisi dan sea plane.  Teluk Tomini, Kepulauan Tongean, Sulawesi Tengah Kepulauan ini ideal untuk kegiatan menyelam dan snorkeling. Program pengembangan di Teluk Tomini, antara lain penyediaan fasilitas ma­rina, yacht, kapal pinisi dan sea plane dengan kemitraan masya­ra­kat dengan pelaku usaha pariwisata. 
Kepulauan Bali dan Lombok Wisata bahari di dua kepulauan ini ideal un­tuk kegiatan menyelam, selancar, cruise regional, dan internasional. Program pengembangan pariwisata bahari di kawasan ini, antara lain dibangun kemitraan pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan kalangan industri wisata bahari. Menyediakan fasilitas pelabuhan, akomodasi, dan pertunjukan budaya. Balerang, Kepulauan Riau  Kawasan ini sangat ideal untuk kegiatan cruise, yacht dan marina serta selancar. Program pengembangan wisata bahari di Balerang, yaitu pelabuhan wisata bahari yang menunjang limpahan wisatawan dari Singapura menuju daerah tujuan wisata kepulauan Riau. Pengembangan wisata cruise regional sangat ideal karena letaknya pulau ini strategis di selat malaka dan dekat dengan Singapura.
Kepulauan Seribu, Jakarta  Wisata bahari yang sangat ideal untuk di kepulauan Seribu adalah selancar, cruise regional, memancing, dan olahraga bahari. Untuk itu program pengembangan di kawasan ini antara lain perencanaan tata ruang yang sangat jelas antara area konservasi dan pengembangan yang disertai taman nasional. Serta pengembangan untuk fasilitas air adalah marina, yacht, kapal pinisi dan sea plane untuk kegiatan olah raga air. Seluruh kekayaan alam ini, merupakan sebagian kecil dari berjuta potensi wisata laut di Indonesia. Jika tidak mendapat perhatian dan dikelola dengan baik, kekayaan alam yang berlimpah ini hanya akan sia-sia.
Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Kawasan wisata bahari ini ideal untuk kegiatan menyelam dan cruise regional. Program pengembangan wisata bahari di Kepulauan Wakatobi , antara lain cruise international dan regional dengan pengembangan pelabuhan Makassar sebagai hub, serta konservasi ke­kayaan laut dengan pemberlakuan sertifikat penyelam dan pe­negakan hukum.
Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur Kawasan wisata bahari Derawan ideal untuk kegiatan menyelam dan konservasi penyu. Program pengembangan wisata bahari di kepulauan ini selain konservasi habitat penyu sebagai daya tarik wisata, juga untuk konservasi pengembangan budaya di Pulau Kakaban dan Sangalaki dengan pola partnership MNC (Multi National Companies) memanfaatkan tenaga lokal.









BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki kekayaan alam dalam bidang kelautan atau maritim. Kekayaan maritim ini dapat kita olah untuk keperluan Indonesia. Pengolahan maritim dapat memberikan keuntungan berkaitan dengan ekonomi maritime. Berikut pembahasan lebih lanjut mengenai ekonomi maritime Indonesia.

Sejarah Ekonomi Maritim Indonesia

·                     Masa Sebelum Penjajahan
Sejumlah kerajaan di Indonesia pernah menjalankan perekonomian maritim. Salah satu kerajaan maritim terbesar adalah Sriwijaya pada abad ke-5. Kerajaan yang memiliki armada laut besar ini menjadikan Palembang sebagai ibu kota. Selat Malaka menjadi pintu gerbang perdagangan Sriwijaya dengan India dan Tiongkok. Sriwijaya telah mampu memperdagangkan sejumlah komoditas seperti kamper, cendana, dan gaharu. Bahkan, berdasarkan catatan dari Tiongkok, Sriwijaya pernah mengirimkan utusan untuk mendirikan perwakilan dagang di daerah Ch’uan chou (Fukian), Tiongkok.

·                     Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan, Negara-negara Eropa seperti Portugis, Inggris, dan Belanda menguasai perekonomian maritime di wilayah Indonesia. Tujuan bangsa Eropa ini adalah mencari dan menguasai rempah-rempah di wilayah Indonesia. Portugis sempat menguasai  Maluku pada abad ke-16 dan memperjualbelikan rempah-rempah seperti lada. Inggris sempat membangun jalur perdagangan dengan daerah Batavia dan Ambon di Indonesia. Adapun Belanda melalui VOC menguasai berbagai wilayah di Indonesia, termasuk perairannya. Belanda pun monopoli komoditi rempah-rempah dari Indonesia.

·                     Masa Kemerdekaan

o   Masa Presiden Sukarno
Setelah kemerdekaan Indonesia, salah satu tonggak penting ekonomi maritim Indonesia terjadi pada tahun 1957. Saat itu, dideklarasikan Deklarasi Wawasan Nusantara (Deklarasi Djuanda). Berdasarkan deklarasi itu, Indonesia menyatakan bahwa laut Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsep ini kemudian diperjuangkan di PBB. Indonesia juga menasionalisasi sejumlah perusahaan Belanda yang berkaitan dengan perekonomian maritim. Pada tahun 1963, Munas Maritim Pertama dilangsungkan. Setelah munas, dibentuk Kementerian Perindustrian Maritim pada tahun 1954 serta Kementerian Koordinator Kompartemen Kemaritiman Indonesia. Selain itu, pada era kepemimpinan Presiden Sukarno, pernah dibentuk Kementerian Perhubungan Laut, Kementerian Perindustrian Maritim, Kementerian Kemaritiman, dan Kementerian Sumber Daya Ikan.

o   Masa Presiden Suharto
Pada era kepemimpinan Presiden Suharto, Kementerian Perhubungan Laut dilebur dalam Kementerian Perhubungan. Adapun Kementerian Sumber Daya Ikan dilebur dalam Kementerian Pertanian. Tahun 1982, perjuangan Indonesia sebagai Negara kepulauan akhirnya diakui PBB dengan dokumen UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau Konvensi PBB mengenai Hukum Laut, di Jamaika. Hal ini berarti konsepsi Indonesia sebagai Negara kepulauan atau yang kita kenal dengan Wawasan Nusantara, telah mendapat pengakuan internasional.

o   Masa Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Sukarnoputri
Saat B.J. Habibie menjadi presiden ketiga Indonesia, diluncurkan Deklarasi Bunaken pada tahun 1998. Melalui deklarasi ini dinyatakan visi pembangunan kelautan Indonesia. Pengganti Habibie Abdurrahman Wahid membentuk Departemen Eksplorasi Kelautan pada tahun 1999. Departemen ini menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (KKP) pada awal 2001. Selain itu dibentuk pula Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang kemudian berganti nama menjadi Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) pada tahun 2010. Pengganti Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, menyatakan deklarasi maritime dengan nama Seruan Sunda Kelapa pada tahun 2001. Deklarasi ini berisi kebijakan industry maritim nasional.

o   Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihasilkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Melalui Inpres ini, semua kapal yang beroperasi di perairan Indonesia harus dimiliki secara domestik. Hal ini memungkinkan perusahaan pelayaran lokal tumbuh di Indonesia. Selain itu, ditetapkan UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. UU mewajibkan penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional yang beroperasi di perairan Indonesia. Pada tahun 2014 disahkan UU No.32 tahun 2014 tentang Kelautan. UU ini mengatur pemanfaatan laut dan sumber daya yang terkandung di dalamnya.

o   Masa Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden RI pada tahun 2014 untuk masa bakti 2014-2019. Pemerintahan Jokowi menyatakan visi kemaritiman sebagai bagian utama pemerintahan. Hal ini antara lain diwujudkan dengan adanya Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Presiden Joko Widodo juga mencanangkan lima pilar pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia pada KTT Asia Timur, 13 November 2014. Selain itu, di depan forum G-20, kelompok 20 negara ekonomi utama dunia, pada tahun 2014, Presiden Joko widodo juga menyatakan Indonesia akan mengoptimalkan pemanfaatan potensi laut Indonesia dengan ekonomi maritim.


B. SARAN
Menurut saya, masih banyak hal-hal di Indonesia yang perlu diperbaiki demi menyambut era globalisasi. Bidang-bidang dasar khusus-Nya pada bidang kemaritiman  harus banyak mengalami perubahan mengarah kepada yang lebih baik khusus-Nya menambah devisa Negara melalui potensi maritime di Indonesia.

Globalisasi tidak bisa kita hindari, kita juga harus berkembang  tetapi kita perlu untuk tetap menanamkan pengamalan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 demi terciptanya Indonesia yang lebih maju namun tetap mempertahankan ciri ke-Indonesia-an-nya. Saya yakin meskipun secanggih-canggihnya perubahan zaman nanti, apabila kita tetap berpegang teguh terhadap kedua pedoman tersebut, maka kehidupan negara ini akan menjadi semakin baik kedepannya, amin




                                                DAFTAR PUSTAKA


https://dosenekonomi.com/ilmu-ekonomi/contoh-ekonomi-maritim

https://www.kompasiana.com/supiandi/optimalisasi-potensi-ekonomi-maritim-indonesia_5a92401bab12ae7fca09e632

http://simpulanilmu.blogspot.com/2018/02/sejarah-ekonomi-maritim-indonesia.html

https://educationareablog.wordpress.com/2017/05/25/wawasan-kemaritiman-mengenal-potensi-dan-pertahanan-kemaritiman-di-indonesia/

PDF:  SEJARAH MARITIM INDONESIA: menulusuri jiwa bahari bsngsa Indonesia dalam proses integrasi

https://www.academia.edu/8419529/Ekonomi_Maritim

https://www.slideshare.net/AzlanAbdurrahman/4-bab-ii-ekonomi-maritim

http://pmli.co.id/review-book-pembangunan-ekonomi-maritim

https://blog.ruangguru.com/mengembangkan-ekonomi-maritim-dan-agrikultur-di-indonesia

https://dosenekonomi.com/ilmu-ekonomi/contoh-ekonomi-maritim